Bab 1
Cuaca pagi ini cerah, semenarik bunga matahari yang baru mekar. Langit juga tak memberi tanda jika hari ini akan turun hujan. Seharusnya di pagi hari seseorang memulai aktivitasnya dengan semangat, tanpa menyeret pikiran tentang masa lalu yang tak bisa dikembalikan.
Seorang kakak sesekali memperhatikan wajah adiknya dari kaca spion motor, tak ada sedikit pun keceriaan yang terpancar. Saudari kecilnya itu berubah sejak hari di mana ia gagal mendapatkan beasiswa di sekolah favoritnya.
Karena itu, laki-laki bernama Tres selalu mengebut ketika mereka melewati sekolah Seni Galaksi. Bahkan, ia selalu berandai ada jalan lain agar adiknya—Mel—tak perlu menatap sekolah itu dengan tatapan sedih, kecewa, dan terkadang kosong. Dan mungkin saja di rute yang berbeda perlahan bisa merelakan impian kecil yang tak akan pernah terwujud.
"Mel, udah sarapan 'kan?" Laki-laki jangkung itu mencoba mengalihkan mata sang adik dari tempat itu. Tetapi, ia hanya diam tanpa merespon.
"Itu, kamu bawa buku nggak?" Tres menggigit bibirnya karena pertanyaan random yang ia katakan.
Gadis itu menepuk keras pundak Tres. "Kalo bawa motor tuh fokus!" katanya dengan ekspresi wajah yang semakin merengut, sedangkan pemilik pundak hanya bisa meringis.
Setelah dua puluh menit perjalanan, mereka sampai di gerbang SMA Satu Kota tempat Mel belajar. Sekolah yang dikelola oleh pemerintah setempat diutamakan muridnya dari keluarga sederhana dan tidak mampu, tempat menuntut ilmu yang cocok untuk anak-anak seperti Mel tanpa harus memikirkan biaya sekolah.
Mel turun dari motor, tanpa berpamitan dengan kakaknya.
“Mel, itu bukan milik kita!” Gadis itu malas berbalik, karena nanti harus mendengarkan ocehan panjang Tres—nasihatnya tentang mengikhlaskan hal-hal yang bukan kepunyaan kita.
Tres mengejar sang adik yang sudah melewati gerbang, kemudian menarik lengannya. Berdiri tegak berhadapan, kedua tangan Tres memegang helm yang di pakai Mel. “Ini helm punya mbak Ani, nanti dia ngamuk kalo nggak dibalikin.”
Ah, ternyata helm ... Mel kira akan ada ceramah sebelum masuk sekolah, maka dari itu ia menggaruk dahinya yang tidak gatal setelah helm dilepas.
Bibir Tres melengkung, lalu menepuk bahu saudari kecilnya sembari berkata. “Semangat belajar!”
Setelah itu, Mel memperhatikan kakaknya hingga menghilang dari jangkauan mata. Ia malas dengan ocehan Tres bukan berarti mengabaikan kata-kata bermakna itu.
Mel memikirkan perkataan Tres tentang merelakan sesuatu, berhenti memaksa mendapatkan keinginan yang sebenarnya tidak akan bisa diraih. Namun, bagaimana kalau suatu hal itu ternyata sudah menjadi milik seseorang, tapi orang lain mendapatkannya dengan cara curang.
Minggu, 24 April 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
MEL
Teen FictionGadis itu sama seperti remaja lainnya memiliki sebuah impian yang ingin dicapai. Marah dan kecewa pada harapan yang tidak sesuai keinginan, semua remaja pun mungkin pernah merasakannya. Apa boleh buat, gadis itu hanya perlu mensyukuri apa yang ia m...