22. Tiga Harapan Sebelum Kepergian

47 5 10
                                    

HARI ini, seratus hari kepergianmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

HARI ini, seratus hari kepergianmu.

Jelas, aku belum sepenuhnya baik-baik saja. Tapi, kurasa aku sudah berusaha sebisaku untuk baik-baik saja.

Semua sudah terbuka, kebohongan besar itu sepenuhnya sudah selesai. Dan, hadiah ulang tahunmu itu benar-benar spesial. Walau tahun paling menyedihkan, tapi aku bersyukur, Tuhan masih memberikanku manusia-manusia terbaik, bahkan Jae sekalipun, walau usianya telah usai, masih saja ia mengisi hari-hariku dengan kenangan-kenangan menyenangkan.

Aku sudah berjanji, Jae. Berjanji akan selalu baik-baik saja. Walau rindu itu selalu saja menyiksa, dan aku tetap belum terbiasa, tapi, kamu tenang saja, Jae. Semuanya akan baik-baik saja.

"Gya. Sudah jam sepuluh, masuklah ke kamarmu, Gya."

Suara oma memecahkan heningku bersama malamku di saungan taman halaman belakang rumah oma.

Aku mengangguk menuruti, membalas oma dengan senyuman hangat.

Menatap sejenak langit cerah di atas sana, kemudian mengikuti perkataan oma. Malam ini, aku menginap di rumahnya. Usai dari makam Jae tadi sore, bersama anak-anak 6Hari.

Menyakitkan. Tapi, aku bangga pada diriku yang tak menangis di hadapan Jae tadi. Dan, tetap bisa menahannya sampai sekarang. Walau sebagai balasan, dadaku tetap terasa sesak.

"Kamu pasti bahagia, kan, Jae? Karena bangga padaku?" 

Aku terkekeh kecil, membayangkan senyuman yang tersuguh di bibir Jae sembari ia mengelus lembut puncak rambutku.

Baru sampai ambang pintu, sebuah kejutan sampai padaku.

Pukul sudah jam sepuluh malam lewat, tapi sosok di belakang oma dengan santainya menampakan deretan giginya.

Oma menggeleng-geleng kecil ke arahku, sebab mendapatkan sosok Keshi dan Dhipta yang berjalan mengiringnya.

"Keshi? Dhipta? Ada apa?"

Keshi mengerutkan bibir kecil, sedang Dhipta masih tersenyum, "Gue mau nginap, Gya."

"Kamu?" tanyaku pada Dhipta yang membawa dua kantung berukuran sedang yang berisi penuh dengan camilan di tangannya,

"Gue ngantar aja , Gya. Manja emang anaknya."

Aku terkekeh, menggeleng-geleng sebab ulah mereka berdua yang terkadang memang tak terduga.

"Dhipta, nggak nginap juga aja? Sudah malam ini." ucap oma dari meja makan,

Dhipta memiringkan kepalanya sedikit agar oma terlihat, "Nggak usah, Oma. Belum malam ini, baru jam sepuluh. Laki-laki, biasa."

Ucapannya berhasil mendapatkan sebuah pukulan cukup kencang di lengannya dari Keshi.

"Udah, sana pulang! Ntar tambah malam, lagi." usir Keshi, membuat Dhipta berdecih sebelum pamit untuk pulang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seutas KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang