Mrs. Ullys yang tetap diam di istana menimbang-nimbang, tepatkah keputusannya untuk niat pemberitahuannya tentang apa yang ia ketahui pada Ratu. Apakah ini saat yang tepat? Tak berlebihankah aku? Bagaimana ya? Sekarang atau nanti? Tapi, sudah gatal mulutku menahan apa yang kuketahui ini, ingin kugaruk otak ini sebab semuanya ini sudah sangat jelas di otakku. Segala yang harus kukatakan sudah sungguh jernih terlihat.
Dengan langkah tersapu dan pelan, Mrs. Ullys memutuskan untuk mengetuk pintu kayu besar yang menutup kamar Ratu. Cukup lama sampai dirinya mendapat balasan dari dalam.
"Siapa itu?" terdengar suara Empress terbindeng dan lirih dalam tenggorokan kering, dari dalam dengan tak cukup keras membuat Mrs. Ullys harus menempelkan benar daun telinga kanannya ke pintu, meratakan daun telinga itu dengan pintu.
"Ini, saya Srennda Ullys, Yang Mulia... Bolehkah saya masuk ke dalam?" jawab Mrs. Ullys dengan perlahan, mencoba untuk tidak menggangu Empress.
"Baiklah, buka perlahan pintunya, aku tak ingin angin bertambah banyak masuk di sini." balas pula suara dari dalam.
Mrs. Ullys melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Masuk dan membuka pintu dengan sungguh perlahan, memastikan angin tak bertambah masuk banyak dan memadamkan lilin-lilin yang sudah sejempol pendeknya itu.
"Apa yang ingin kau sampaikan, Srennda?" tanya Ratu. Kondisi Ratu sudah benar-benar kacau saat itu. Di sebelah kirinya terdapat buku, buku yang biasa ia bacakan untuk Matilda, terbuka pada suatu halaman, masih cukup basah tintanya. Telah menulis beberapa sajak tentang kesedihan hatinya Ratu ini. Cukup dramatis dapat terlihat dari bagaimana huruf-huruf syair pendek yang berjudul "Terlepas" itu melengkung dan ada beberapa bagian yang pudar terkena air, yang vertikal, pasti ini dari air mata jatuh yang sudah mengering.
Ratu duduk dengan wajahnya yang memerah dan hidungnya yang terlebih dahsyat merahnya. Terduduk ia di atas kasur, menghadap jendela yang terbuka membawa angin dingin malam tak menyehatkan bertamasya di dalam kamar yang kian lama kian meredup gelap itu. Kedua kakinya ditutup di selimut tebal dan rambutnya hanya tergerai panjang tak terikat sama sekali, menambah bayangan kacau pada Ratu. Mrs. Ullys yakin Ratu telah menghabiskan waktunya di kamar dari tadi pagi untuk menangis saja, dengan mungkin beristirahat sebentar menulis sajak-sajak dan puisi-puisi baru yang sama sendunya dengan perasaannya itu.
"Aku ingin menyampaikan, antara kau dan aku saja, ya... Sebenarnya, aku sudah tahu Matilda tak ada di istana ini sejak pagi. Aku masuk ke kamarnya seperti biasa, membuka korden dan membangunkan Matilda dengan cahaya matahari pagi yang akan masuk menembus tempat tidurnya. Ketika aku masuk, semuanya tampak rapi. Kasurnya sungguh bersih dan rapi tak berjejak, belum terlalu kutaruh kecurigaan pada saat itu. Yang terlintas di benakku hanyalah, bisa jadi dia telah terbangun lebih pagi, merapikan kamarnya dan keluar ke sungai atau taman istana dan bermain di sana, apalagi memang pagi ini begitu cerah matahari bersinar, dan Matilda sungguh menyenangi suasana seperti itu".
"Lalu, kuputuskan untuk meninggalkan ruangan itu dan aku akan memasak untuk sarapan pagi. Lalu di tengah jalanku kesana, aku bertemu dengan Trudent, si tukang kebun istana kecil itu, dan kutanyakan. Apakah ada ia melihat Maudi disana, katanya tidak, ia hanya melihat Vitto. Setelah itu, kuputuskan sendiri bahwa Maudi mungkin ada di sini, di kamar ini menemani Empress. walau jarang terjadi, kuperkecil kemungkinan imajinasi berlebih ku. Kemudian, aku bertemu Vittoria dan bisa kulihat ia memang berbau bunga, jadi pasti baru dari taman. Aku lalu cukup pusing sedikit, linglung dan bersin, aku duduk di dekat ruang makan. Setelah kutunggu dan Maudi tak kunjung datang juga kuputuskan untuk mulai merisau lebih sebab meninggalkan sarapan pagi bukan pertanda baik".
" Kudengar suara teriakmu setelah itu. Dan setelah kupikir lebih lanjut lag, aku menyusun skenario kemungkinan. Mungkin ia diculik? Atau pergi belum pulang atau apa. Aku hanya menimbang-nimbang segala kemungkinan. Setelah sampai pada petang hari dan tak seorangpun di istana menemukan jejaknya, aku bertemu dengan Vittoria yang sedang bermain piano, dan dari pernyataannya dapat kusimpulkan suatu hal. Satu kunci utama, malam itu pintu hanya berdebum dua kali, harusnya. Sekali saat Ratu keluar kamar setelah membaca, dan kedua saat aku masuk mematikan lilin. Sumpah ku katakan, Maudi sudah tidur saat itu, tak mungkin belum. Jadi, debum yang ketiga pastilah hanya didengar beberapa orang, mungkin bahkan 2-3 orang saja. Besar kemungkinan, debum ketiga malam itu terjadi di tengah malam, saat lonceng berbunyi keras, jadi suaranya agak tak terdengar dari ruangan yang jauh, tersaru dengan suara lonceng itu. Kamar Vitto hanya berjarak beberapa langkah dari kamar Maudi, jadi maih bisa mendengarnya dengan jelas".
"Seharusnya, pintu hanya bedebum 3 kali selama kurun waktu tidur malam itu, bukan 3 kali dalam malam saja. Dan dalam hal ini, aku percaya pada Vittoria, ia bukan tipe penceroboh yang akan salah dalam berkata, ia dapat dipercaya dan semua kata yang ia keluarkan dari mulutnya tertaut bagai rantai. Besok akan kutanya lagi padanya..." cerita Mrs. Ullys, sudah disingkat hingga tak terlalu panjang benar ceritanya itu, dengan akhir keputusan dirinya akan menanayi lebih lanjut pada Vittoria esok pagi.
Setelah mendengar cerita Mrs. Ullys, perasaan di ruangan yang telah cukup terang kembali setelah Mrs. Ullys terpaksa menyalakan lilin baru itu menjadi pucat pasi. Kosong tak terdengar apapun. Hanya suara aliran sungai malam hari yang terdengar di kejauhan sana.
Dapat dilihat oleh Mrs. Ullys, Ratu hanya menatap ke arah jemarinya, menutupnya dan air mata perlahan jatuh tertitik. Air mata membasahi wajah Ratu, lagi untuk yang kesekian kalinya hari itu, kemungkinan lebih deras dari sebelumnya.
Melihat itu, Mrs. Ullys memutuskan untuk meninggalkan ruangan kamar yang tak menyehatkan bagi siapapun itu.
Biarlah yang mulia Ratu istirahat dulu malam ini, sudah terlalu banyak guncangan yang menimpa dirinya hari ini, kata Mrs. Ullys dalam hati.
Sudah terlalu banyak, guncangan kaget dan air mata yang Ratu Andellise kuras dari dalam dirinya sendiri, meratapi entah apa yang terjadi pada putri semata wayang yang dicintainya luar dalam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kemana Perginya Putri Matilda? - Part 1
FantasySejarah apapun itu bisa tertuang dalam keabadian seni yang mistis dan kritis. Seorang mahasiswi muda yang sangat mencintai seni suatu hari secara tak sengaja menemukan sesuatu yang membuatnya begitu jatuh cinta. Lukisan, yang tidak seperti biasanya...