Hari ini aku lewat jalan yang sama untuk pulang sekolah. Aku tidak ingin lewat jalan ini, namun aku merasa sangat lelah untuk memutar arah karena akan lebih jauh. Sebenarnya bukan karena ada yang menggangu, aku tinggal di desa yang warganya masih ramah dan rajin bermasyarakat sehingga sangat jarang ada yang saling mengganggu. Satu-satunya hal yang mengganggu ku setiap pulang melalui jalan ini adalah aku harus melewati rumah Pak Rahmad.
Biar ku ceritakan padamu mengenai Pak Rahmad. Dia adalah tetua yang cukup disegani di kampung ini. Dia sering memberi sumbangan jika ada pembangunan. Dia menyumbangkan uang yang cukup besar untuk membangun pos kamling dan mushola dikampung kami. Dia terkenal sangat murah hati. Istrinya, Ibu Ranti adalah perempuan yang sangat lembut. Tipe perempuan yang selalu nurut dan manut. Ibu Ranti masih terlihat cantik diusianya yang ku taksir sudah sekitar 35 sampai 40 tahun-an dan yang aku tahu mereka tidak memiliki anak. Tidak seperti Pak Rahmad, Bu Ranti sangat jarang keluar rumah. Seringkali hanya Pak Rahmad sendiri yang menghadiri undangan atau peresmian yang ada dikampung. Rumah mereka terlihat sangat besar dengan halaman yang luas dan terletak paling ujung dari gerbang masuk desa. Rumah mereka terdiri dari dua lantai. Terdapat teras dilantai dua dan sebuah tangga yang menghubungkan halaman dengan teras tersebut. Rumahku juga terletak sedikit lebih diujung, aku sering memutar dari belakang dan melewati rumah Pak Rahmad untuk pergi dan pulang sekolah.
Pernah suatu kali ketika aku berangkat ke sekolah dengan sepeda, aku mendengar suara sesuatu dibanting dengan tiba-tiba. Aku berhenti karena terkejut. Suaranya terdengar dari arah rumah Pak Rahmad. Aku bisa melihat dengan jelas Pak Rahmad sedang bersiap untuk melemparkan sesuatu ke lantai yang disana Ibu Ranti terduduk sedang membersihkan pecahan kaca. Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena jarak dari pagar ke teras rumah mereka cukup jauh. Selanjutnya aku melihat sesuatu yang menurutku sangat mengejutkan. Pak Rahmad terlihat menampar Bu Ranti yang baru saja berdiri, kemudian mendorongnya hingga terjatuh. Kemudian Pak Rahmad menyeret Bu Ranti masuk kedalam rumah dengan menarik belakang bajunya. Aku terkesiap. Ku kayuh kembali sepedaku dengan begitu banyak pemikiran.
"Itu adalah urusan rumah tangga orang. Kita jangan ikut-ikutan" Itu adalah kalimat yang disampaikan Ibu saat aku menceritakan apa yang ku lihat. Aku tidak berani membantah. Bapak ku pun hanya diam saja sambil terus mengisap rokok surya dalam-dalam.
"Lebih baik kamu jangan lewat dari situ lagi, gaenak sama Pak Rahmad kalau kejadian lagi" Sambung Bapak. Aku hanya mengangguk. Aku tidak pernah membantah Bapak dan Ibu. Apalagi setelah mereka bersedia dan mengizinkan aku melanjut ke jenjang SMP. Dikampung ku anak-anak biasanya hanya bersekolah sampai SD. Setelah tamat teman-temanku biasanya disuruh kerja menanam padi di sawah atau diminta untuk mengurus ladang kebun. Atas perintah Bapak, aku tidak lagi pulang lewat depan rumah Pak Rahmad, kecuali hari ini.
Hari ini aku merasa sangat lelah. Kami menjalani ujian matematika dan hari ini ada pelajaran olahraga. Aku benar-benar tidak sanggup kalau harus memutar untuk masuk dari gerbang desa. Aku berusaha mempercepat kayuhan ku saat hampir melewati rumah Pak Rahmad namun entah kenapa rasa penasaran juga memenuhi kepalaku. Akhirnya aku memutuskan untuk menjalankan sepedaku dengan kecepatan yang normal yang mungkin akan menjadi penyesalan seumur hidupku. Kulihat Bu Ranti terpojok diujung tangga lantai 2 dengan Pak Rahmad berdiri di hadapannya. Pak Rahmad kemudian menampar pipi Bu Ranti. Bu Ranti masih bisa bertahan dan berpegangan pada tangga sebelum akhirnya Pak Rahmad menendangnya, tebakan ku mungkin di perut atau tepat dulu hati. Bu Ranti yang masih berpegangan pada tangga akhirnya ambruk, kemudian kulihat dia terguling jatuh dari tangga hingga tergeletak di halaman. Aku menutup mulutku dengan tangan, mencegah diriku untuk berteriak. Terdengar suara Bu Ranti mengerang dan tangannya masih bergerak memohon pertolongan. Pak Rahmad dengan santai masuk kembali kedalam rumahnya. Aku yang ketakutan memilih untuk mengayuh sepeda dan segera kembali ke rumah.
Awalnya aku ingin diam, namun setelah satu jam kemudian aku mendengar sirine ambulan, aku tidak sanggup lagi.
"Bu Ranti meninggal, katanya jatuh dari tangga" Kata Pak Asep yang kebetulan lewat menuju rumah Pak Rahmad.
Mendengar hal itu aku pun menceritakan kejadian itu pada Ibu dan Bapak. Mereka tampak tidak terkejut.
"Nanti kalau ada yang tanya tentang ini kamu jawab saja tidak tau apa-apa ya" Kata Ibu kemudian setelah Pak Asep pergi.
"Benar tidak perlu berkata yang lain" lanjut Bapak kemudian.
"Itu urusan rumah tangga orang lain, kita tidak boleh ikut campur" Kata Ibu mencoba meyakinkan saat melihat keraguan di wajahku.
Aku tidak pernah membantah, kali ini entah kenapa aku sangat ingin melakukannya.
******
10 tahun berlalu kematian Bu Ranti masih diputuskan sebagai sebuah kecelakaan. Pak Rahmad menikah lagi 6 bulan setelah Bu Ranti dimakamkan. Semenjak aku mengetahui bahwa Bu Ranti meninggal karena terlambat dibawa ke rumah sakit aku selalu dibayangi rasa bersalah. 'Bagaimana jika seandainya saat itu aku memilih jalan yang berbeda? Bagaimana jika aku memilih untuk membantah Ibu dan Bapak kemudian menceritakan mengenai apa yang kulihat pada petugas polisi yang didatangkan jauh dari kota? Bagaimana jika aku memilih untuk menolong Bu Ranti saat dia jatuh dan segera membawanya ke rumah sakit? Lebih lagi, bagaimana jika tidak kuaminkan perkataan Ibu mengenai 'jangan ikut campur urusan rumah tangga orang lain' ? Apakah aku bisa terbebas dari kutukan Bu Ranti ini?' Pikir ku sambil melihat bekas luka di pelipis buah tangan dari suamiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan dalam cerpen
Short StoryKehidupan perempuan dalam bersosial dan bermasyarakat yang banyak dianggap kelas-2