"Mohon perhatian, sesaat lagi kereta api Pasundan akan tiba di stasiun Bandung. Bagi anda yang akan mengakhiri perjalanan di stasiun Bandung kami persilahkan untuk mempersiapkan diri. Periksa dan teliti kembali barang bawaan anda jangan sampai ada yang tertinggal. Untuk keselamatan anda tetaplah berada di tempat duduk sampai kereta berhenti dengan sempurna. Terima kasih atas kepercayaan anda menggunakan jasa layanan kereta api Indonesia, sampai jumpa pada perjalanan berikutnya." Pengumuman yang terdengar di seluruh gerbong itu membangunkan Laras dari tidurnya dan ia langsung membereskan barang-barangnya dan memakai lagi jaket parka yang tadi ia lepas untuk ia gunakan sebagai bantal.
Laras mengangkat ranselnya dan beranjak dari tempat duduknya, sebelum berlalu ia melihat lagi tempat duduk yang ia tempati, memastikan bahwa tidak ada lagi yang tertinggal. Lalu pandangannya beralih ke wanita paruh baya yang duduk di sebelahnya kemudian ia tersenyum ramah hingga terlihat lesung pipit di kedua pipinya. Laras jengah saat ia baru saja mau melangkah dan melihat antrian orang-orang yang berebut untuk keluar seakan jika mereka tak buru-buru, kereta akan melaju lagi. Setelah Laras berhasil keluar dari kereta, ia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar stasiun kemudian pergi ke warung kopi yang tidak jauh dari stasiun Bandung.
Ia melihat warung kopi sederhana itu dari depan dan ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu saat Saka, tunangannya memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. Sudah enam bulan namun Laras tetap saja tak bisa melupakan kejadian itu. Ia masuk kedalam warung kopi sambil membunyikan lonceng yang tergantung di pagar kecil dari bambu. Kemudian pelayan warung kopi yang ia kenal itu berjalan sambil tergopoh dan saat pelayan itu melihat bahwa Laras lah yang datang ia pun terpekik kaget seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Loh mbak Laras kok tiba-tiba disini, kok nggak ngabarin saya dulu? Kalo ngabarin kan bisa saya jemput di stasiun" Kata Iwan dengan logat jawanya yang kental sambil menuntun Laras ke salah satu meja. Iwan adalah tetangganya di Solo yang putus sekolah waktu SMA, dan Laras lah yang membawa Iwan ke Bandung dan mencarikan pekerjaan untuk Iwan.
"Kan deket, Wan." Kata Laras tersenyum simpul.
"Ya nggak papa toh mbak. Biar ada yang nemenin, zaman sekarang itu laki-laki nggak pernah mikir panjang mbak, nanti kalau ada apa-apa kan juga Budhe yang bingung."
"Kamu kan juga laki-laki, Wan." Laras terkekeh.
"Waduh, saya lupa kalau saya itu laki-laki." Iwan tertawa sambil menepuk jidatnya seakan lupa.
"Ya sudah, Mbak. Saya buatkan minum dulu." Lanjutnya kemudian berlalu.
Laras mengambil rokok dari dalam ransel miliknya dan menyalakan rokoknya kemudian dihisapnya pelan. Sambil menyelami pikirannya, Laras menjejalkan earphone ke telinganya.
Enam tahun yang lalu di Kota Bandung, semuanya di mulai dan di tempat ini pula semuanya berakhir. Tanpa Laras sadari, ia meneteskan air mata untuk pertama kalinya setelah enam bulan berlalu. Saat ia sedang asyik menyelami pikirannya tiba-tiba seseorang mencabut paksa earphone yang ada di telinga kanannya. Kemudian dengan refleks ia menoleh dan kaget dengan apa yang ia lihat saat ini.
Saka kemudian duduk di depannya sambil menampakkan cengiran khasnya, seakan ia tidak pernah bersalah, seakan peristiwa enam bulan yang lalu itu bukan hal penting. Saka tetaplah Saka, tidak ada yang berubah dari Saka yang dulu miliknya. Dengan banyak peluh yang ada di dahinya Laras bisa menduga apa yang Saka habis lakukan.
"Habis main drum?" Tanya Laras menghilangkan suasana canggung yang tiba-tiba.
"Jadi itu yang ada di pikiran kamu setelah enam bulan kita nggak ketemu?"
Laras terkekeh malu, "Aku nggak tau mau tanya apa, ada beberapa hal yang memang aku ingin tanyakan. Tapi aku nggak mau ngebahas itu sekarang." Jawabnya sambil mematikan rokok yang hanya tersisa puntung nya.
"Kenapa kamu mutusin aku? Kenapa kamu tega? Apa kamu selingkuh? Siapa yang jadi selingkuhan kamu? Anak band brengsek semua, gampang banget selingkuh. Itu kan yang mau kamu tanyain ke aku?" tanya Saka to the point.
Saka beranjak dari kursinya kemudian menarik tangan Laras yang membuatnya terpaksa harus mengikuti kemauan Saka. Saka berjalan kearah motornya yang ia parkir di samping warung, kemudian menyerahkan helm kepada Laras. Laras pun menurut apa yang Saka perintahkan. Dengan kecepatan sedang motor Saka melaju ke arah puncak, saat di tengah perjalanan ia mampir ke toko bunga, dan membeli satu tangkai mawar yang kemudian ia berikan untuk Laras.
"Aku nggak suka bunga." Kata Laras sesampainya mereka di puncak.
"Aku tahu, itu bukan buat kamu. Tapi buat aku." Tandasnya membuat Laras heran.
"Ngapain kamu bawa aku kesini?"
"Lihat bintang. Percaya, nanti aku akan jadi bintang. Jauh, susah dijangkau. Bahkan kamu nggak bisa menjangkau."
"Bintang kan memang nggak bisa dijangkau, tapi kamu masih disini. Belum ke langit."
"Kamu nggak tau aja, aku sudah terbang dari jauh hari."
"Kok tumben puitis gitu. Kayak bukan Saka. Ini mawar, katanya untuk kamu." Laras menyerahkan mawar yang sedari tadi ia pegang.
"Aku sayang kamu, Laras. Sejak enam tahun lalu dan sampai nanti akan tetap begitu." Saka mengamati wajah Laras dengan seksama, kemudian tersenyum. Dengan lembut ia menyelipkan poni panjang Laras ke belakang telinga. Saka mengecup kening Laras dan kemudian mencium bibirnya pelan, mereka menyelami rasa bersama, mengungkapkan rindu yang belum sempat di ungkapkan. Rasa hangat mengisi hatinya. Saka miliknya kembali lagi bersamanya.
Saat Laras sedang menikmati waktunya bersama Saka tiba-tiba ada seseorang menepuk-nepuk pelan pundaknya yang membuatnya terlonjak kaget. Laras mengerjapkan matanya agar bisa melihat lebih jelas dan mendapati dirinya yang terbangun dan masih di dalam kereta yang menuju ke Bandung. Di ujung matanya ada air mata yang mengering. Ini sudah kesekian kalinya ia menangis, karena kabar yang ia terima kemarin sore harus membuatnya langsung bergegas pergi ke Bandung. Kabar yang tidak ingin ia dengar, kabar yang tidak seharusnya ia dengar untuk saat ini. Sila, adik Saka kemarin menelponnya dan ia bilang bahwa Saka meninggal dunia akibat penyakit Lupus yang ia derita. Laras bahkan tidak tau kalau Saka memiliki penyakit Lupus.
Sesampainya di rumah Saka, orang tua Saka mengatakan kalau Saka sudah di kuburkan di pemakaman dekat kompleks. Tak ingin berlama-lama di rumah Saka, Laras langsung pergi ke tempat pemakaman di mana Saka dimakamkan. Sambil membawa satu buket bunga mawar yang ia beli di perjalanan. Laras tahu apa yang ia mimpikan di kereta tadi, Saka hanya ingin berpamitan kepadanya. Dari Sila juga Laras tahu apa alasan Saka untuk mengakhiri hubungan mereka enam bulan yang lalu. Disinilah Laras mengeluarkan apa yang ia tahan dari kemarin sore. Laras menangis sejadi-jadinya."Sayonara Saka, it's been nice to love you" Laras beranjak dari tempatnya kemudian melangkahkan kakinya keluar pemakaman.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mawar Untuk Saka
Short StoryAkhirnya Laras kembali menginjakkan kakinya di Kota Bandung setelah enam bulan perpisahannya dengan Saka, tunangannya. Apakah mereka akhirnya kembali bersama? Semoga sukaa yaaaa, salam kenal dari aku!!!:)))