prolog

353 71 31
                                    


Sial!

Satu kata penuh kekesalan yang lolos dari bibir merah muda seorang gadis untuk mengawali pagi. Rasanya jika dipikir lagi, ia ingin sekali melempar wajah mesum si tukang bual itu dengan kotoran anjing kesayangannya. Bahkan kotoran Bombom pun masih terlalu berharga untuk wajah cabul pria tua itu, pikir Jiyeon.

Ya ... Gadis yang tengah kesal itu bernama Park Jiyeon. Putri kedua dari Park Seojoon dan Park Minyoung, si pengusaha berlian dan designer lokal.  Alih-alih memanfaatkan posisi sang ayah untuk menyelesaikan masalahnya, Jiyeon memilih diam saja saat dirinya dimutasi ke rumah sakit di Seoul.  Bukannya ia tidak menyukai kota itu, tapi keputusan Park Chanyeol, kakak laki-lakinya, yang menyuruhnya untuk menempati kamar yang dulunya milik Chanyeol sebelum pria itu terbang ke Amerika karena pekerjaannya. Jiyeon bisa tinggal di sana selama beberapa bulan selagi Chanyeol berada di luar negeri.

Masalahnya, Jiyeon harus berbagi apartemen dengan teman kakak laki-lakinya itu. Memang Chanyeol sudah tidak waras, batin Jiyeon semakin kesal, bagaimana bisa pria itu mempercayakan adiknya sendiri untuk tinggal bersama seorang pria dewasa.

Dengan kalimat tajam di ujung sambungan, kemarin malam Chanyeol sudah memberi penegasan jika Jiyeon tidak bisa dibiarkan tinggal sendiri tanpa pengawasan. Chanyeol terlalu protektif untuk ukuran kakak laki-laki, padahal Jiyeon sudah 25 tahun, ia merasa memiliki hak penuh akan keputusannya sendiri tanpa perlu melibatkan penilaian Chanyeol. Tapi apa boleh buat, Jiyeon sebenarnya adalah gadis yang sangat penurut, ia mengutuk sifatnya yang satu itu. Ia tumbuh dengan arahan orangtua dan kakak laki-lakinya hingga ia bisa seperti sekarang. Menjadi seorang dokter bedah yang patut diperhitungkan. Meski skandal yang menimpanya cukup berpengaruh akan persepsi orang kepadanya.

"Argh! Kesal sekali rasanya!" gerutunya sambil menutup kasar jendela kamarnya. Ia berjalan ke sudut kamar, mengambil koper, bersiap mengemas beberapa pakaian dan buku-bukunya.

"Jiyeon? Mau ibu bantu membereskan pakaianmu?"

"Tidak perlu, Bu. Aku bisa sendiri." Tangannya memasukan beberapa helai baju, pakaian dalam dan buku-buku yang ia perlukan. Tidak repot-repot membuka pintu kamarnya, karena pintu sama sekali tidak ia kunci, ibunya bisa menerobos masuk seperti biasa.

"Ayah dan ibu akan mengantarmu ke Seoul, kau pasti lelah nanti jika menyetir sendirian."

Ada apa dengan ibunya itu? Jiyeon mengernyit heran, orangtuanya sama sekali tidak khawatir saat ia keberatan dengan keputusan Chanyeol mengenai tempat tinggal yang akan ia bagi bersama pria yang bukan siapa-siapanya.

Kenapa Jiyeon masih mempertanyakan? Memang orangtuanya sering kali bertindak aneh dan tidak masuk akal. Sama seperti kakak laki-lakinya, Chanyeol pernah mengutarakan niatnya untuk melamar janda muda yang tinggal di sebelah rumah mereka karena pria itu sangat suka dengan anak lima tahun yang memanggilnya papa. Untung saja tidak jadi karena pria itu baru tahu jika anak lima tahun yang ia sukai memang memanggil semua pria dengan sebutan papa, siapa lagi yang menyuruh anak itu kalau bukan ibunya yang sering membawa pria ke dalam rumahnya.

Lalu orangtuanya pernah bertindak tidak waras dengan mengganti cat rumah dengan merah menyala untuk merayakan keberhasilan Chanyeol yang menjadi produser musik terkenal di negara mereka. Menurut mereka, warna merah melambangkan semangat yang membara, hingga warna yang membuat Jiyeon sakit kepala itu bertahan selama beberapa bulan sebelum diganti ke warna sebelumnya.

Bahkan ayahnya sempat memelihara harimau putih untuk dilepas di dalam rumah karena menurut pria itu harimau sangat menggemaskan. Itu membuat Jiyeon tidak pulang ke rumah satu bulan penuh dan memilih menginap di rumah sakit.

Sudahlah, kalau diingat-ingat lagi, kepala Jiyeon ingin pecah rasanya. Ia menyelesaikan mengepak barang dan meraih baju hangat dari gantungan. Menyampirkannya pada lengan kiri dan tangan kanannya menyeret koper silvernya keluar kamar.

Ibunya dengan wajah ramah penuh senyum menyambutnya di ruang tengah, bersama sang ayah yang duduk dengan secangkir teh yang baru saja diletakkan di atas tatakannya.

"Kami akan mengantarkanmu, nanti kami bisa naik pesawat untuk pulang."

"Tidak perlu," penolakkan Jiyeon tidak melunturkan senyum di bibir Minyoung. "Aku akan menghubungi Ayah dan Ibu setelah sampai di sana." Matanya melirik Bombom, anjing maltipoo dengan bulu krem yang lebat dan berantakan, kedua telinganya yang layuh bewarna cokelat muda, menghampiri Jiyeon dengan cepat dan mengibas-ngibaskan ekor pendeknya yang memiliki warna yang sama dengan telinganya. "Aku akan membawa Bombom."

Anjing itu tampak senang, berputar di kaki Jiyeon, menjulurkan lidah dan mencoba berdiri dengan dua kaki belakangnya demi menopang kedua kaki depannya pada koper Jiyeon.

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik ya. Ayah akan ke sana sesekali untuk berkunjung." Seojoon memeluk putrinya, disusul Minyoung yang tak mau kalah mendekap suami dan anak perempuannya.

Sebelum terjadi drama air mata ala ibunya, Jiyeon segera melepaskan diri dan berjalan keluar rumah, menyeret koper dan Bombom yang setia mengikutinya menuju mobil putih dan melesat pergi meninggalkan rumah mewah yang menjadi saksi bisu akan pertumbuhanya.

...

Sandra
12/11/21

roommateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang