Satu Sembilan

9 1 0
                                    

Menulislah, dengan begitu, kamu akan mengerti seperti apa dirimu. Lebih tepatnya, kamu akan mengerti apa sebenarnya dirimu itu. Jika kamu masih tidak mengerti, maka jangan berharap kehidupan akan mengerti.

Itulah kata-kata yang kudengar darinya sebelum dia menghilang ditelan gelapnya sang malam. Entah sudah berapa tahun sejak hari itu, aku tidak mengingatnya. Namun, aku tidak pernah lupa dengan apa yang dia katakan malam itu.

Sejak hari itulah aku mulai menulis. Banyak hal yang sudah aku tulis, mulai dari yang aku lihat, dengar, dan rasakan. Dan malam ini aku menyempatkan untuk membaca tulisan tanganku yang mungkin menurut orang lain tidak layak dibaca. Aku tidak peduli.

Apa itu teman?

Ayah dan ibu mengatakan bahwa tidak ada yang berniat menyakitiku, baik itu di rumah, di sekolah, atau di mana pun itu. Semua orang menyayangiku, itulah yang sering dikatakan ibu.

Tentu saja, seharusnya memang begitu. Aku tidak pernah melakukan kesalahan, juga tidak pernah menganggu orang lain. Aku mengerjakan tugas sekolah dengan baik, bahkan beberapa kali mendapat peringkat. Namun, mengapa mereka memandangku dengan tatapan seperti itu? Apa karena aku sendirian dan tidak punya teman? Jika memang begitu, itu bukan salahku. 

"Om Seno tidak datang hari ini." kata ayahku.

Aku hanya diam, masih memandang taman di seberang rumah dari balik kaca jendela.

"Kamu ingin bermain di taman?"

"Ada orang di sana," kataku sambil terus mengamati orang itu.

Ayah mendekat, sangat dekat, hingga pipi kami saling menempel. "Dia mirip Lily."

Bukan mirip, tapi orang yang berjongkok di sebelah ayunan itu memang Lily. Apa ayah akan hilang ingatan jika tidak memakai kacamatanya?

Lily adalah adik kelasku. Aku memang sering melihatnya bermain di taman itu, sendirian.

"Ayah dengar, dia juga tidak bunya banyak teman. Mungkin kalau kamu ke sana, lalu bermain dengannya, kalian bisa menjadi teman."

"Apa untungnya punya teman?" Sebenarnya itu bukan pertanyaan untuk ayah. Tapi entah mengapa ayah tiba-tiba menghela napas sambil mengusap kepalaku.

"Dia pulang," bisikku saat melihat Lily perlahan-lahan berjalan menuju rumahnya yang juga berada di seberang jalan sana.

"Mungkin dia dipanggil ibunya."

"Aku boleh ke taman?"

Ayah tersenyum. "Tentu saja boleh. Terakhir kali kamu bermain di taman itu adalah saat kamu masih berumur satu tahun. Mau ayah temani?"

Aku menggeleng.

Sambil duduk di kursi kayu, aku mengamati sekelilingku dengan cermat. Taman di komplek perumahan ini tidak besar, dan tidak banyak wahana permainannya. Hanya ada satu jungkat-jungkit, dua ayunan, dan dua benda yang entah apa namanya itu. Namun taman ini di kelilingi pohon yang sepertinya memang sengaja dibiarkan tumbuh hingga sangat besar dan rindang. 

Semua yang ada di taman terlihat normal. Tapi tunggu ... Apa yang ada di dalam kardus di sebelah ayunan itu?

Ada sesuatu yang bergerak di dalam kardus itu! Tak berselang lama terdengar suara dari dalam kotak tersebut. Ternyata hanya seekor anak kucing. Aku turun dari kursi, lalu menghampiri kardus itu.

Ketika diamati dari dekat, ternyata kardus tersebut memiliki lubang di belakangnya. Belakang atau depan? Entahlah. Intinya, seseorang sengaja melubangi kardus itu supaya anak kucing itu bisa bersembunyi di dalamnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 17, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sick WordTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang