Tetangga

22 2 0
                                    

Suara Rana tertahan di tenggorokan. Hanya matanya yang membulat dengan sempurna setelah melihat siapa yang ada di belakangnya.
"Panca. Ngapain kamu di sini?" tanya Rana setelah menemukan suaranya.
"Saya. Saya tinggal di sekitar sini," ucap Panca sambil melihat ke kanan dan ke kiri.
"Mbak Rana tinggal di daerah sini juga?" Panca menatap Rana dengan wajahnya yang masih tegang di bawah sinar lampu milik warga yang dipasangan di dekat pagar.
"I-iya." Rana menjawab dengan ragu. Ada hal yang membuatnya melakukan itu. Walaupun ia kenal Panca. Tetapi ada sebagian hatinya yang menyuruh Rana untuk diam.
"Mbak Rana pulang kerja jam segini setiap hari? Sendirian."
"Ah, enggak. Ini karena lembur aja." Rana melangkahkan kaki. bergerak dari tempatnya.
"Kamu tinggal di mana? Kok saya baru lihat kamu?"
Dalam diam Rana mengigit bibir bawahnya. Ia keceplosan. Bagaimana bisa dirinya yang takut ditanyai macam-macam. Malah menanyakan hal yang tidak ingin ia beritahu jawabannya jika ditodong pertanyaan yang sama.
"Saya." Cukup lama Panca terdiam membuat Rana penasaran hingga gadis itu menoleh ke belakang.
"Saya kalau ditanya tinggal di mana. Bingung jawabnya. Tapi kalau minta dianterin, saya bisa." Panca menjelaskan dengan cengiran diakhir kalimatnya.
"Saya Ke PD-an ya."
Rana mengesah. Beruntung lelaki itu sadar diri.
"Dari gang ini ke kanan atau ke kiri?"
"Kanan."
Rana membulatkan matanya. Itu arah menuju Kontrakannya.
"Abis itu?" Rana makin penasaran.
"Ada rumah susun, cat biru. Di sana tempat tinggal saya."
"Loh, dua rumah dari sana tempat tinggal saya!" Rana begitu antusias mengatakan hal itu, dan detik berikutnya gadis itu menutup mulutnys. Ia sudah membocorkan rahasia negara ter rahasia.
"Oh, kontrakan yang pintunya warna merah bukan?" Panca memastikan.
"Iya." Rana menjawab dengan berat dan diikuti oleh ringisan.
"Ternyata kita bertetangga ya," ucap Panca dan dijawab oleh anggukan.
"Kamu udah berapa lama di sana?" Rasa penasaran datang dan langsung meluncur begitu saja dari mulutnya.
"Belum lama. Baru tiga bulan."
Rana mengangguk sambil memperhatikan langkahnya yang sedikit gelap tepat di ujung gang.
"Lewat sini kan?" tanya Rana yang sebenarnya ia cukup lega karena punya teman ngobrol di tempat yang membuatnya iseng itu.
Tanah kosong dengan pohon kopi yang kadang menguarkan aroma wangi yang menyengat. Membuatnya parno sendiri.
"Mbak Rana suka iseng enggak sih kalau lewat sini?" tanya Panca. Seolah mewakili isi pikiran Rana.
"Hah?"
Rana menghentikan langkahnya tiba-tiba, hingga membuat Panca hampir menabraknya. Untung saja lelaki itu sigap. Salah satu tangannya bertahan pada tralis yang menjadi pagar tanah kosong itu.
"Kamu kenapa ngomong kayak gitu di sini?" Terdengar suara Rana yang gemas.
Panca tersenyum.
"Yuk, jalan. Daripad Mbak Rana main-main sama pikiran sendiri, mendingan dishare kan?!"
Rana memanyunkan bibirnya dan memilih untuk melanjutkan jalannya daripada menjawab pertanyaan yang sensitif di tempat yang sensitif pula.
"Itu tempat tinggal saya," beritahu Panca sambil menunjuk bangunan dua lantai dengan cat biru yang akan terlihat jelas jika dilihat di siang hari.
"Kenapa kamu mau tinggal di sana? Akses jalan ke sana sama ke kantor kan susah?" tanya Rana penasaran. Apakah mereka memiliki jawaban yang sama?"
"Biayanya murah Mbak. Cocok smaa dompet saya!"
Seketika Rana tersenyum. Tidak bisa menahannya.
"Kalau Mbak Rana sendiri?"
"Sama, selain murah juga nyaman. Minus akses jalannya."
Panca mengangguk setuju.
Padahal Mbak Rana bisa dapet yang lebih nyaman, lebih dekat loh."
"Saya ini pelit loh, Pan."
Satu kalimat itu membuat Panca tertawa.
"Baru Mbak Rana loh yang ngaku kalau dirinya pelit," celetuk Panca.
Sementara Rana hanya meringis.
"Selain saya pelit. Saya juga suka tempat itu karena nyaman. Tahu kan gimana rasanya kalau kita berada di tempat yang nyaman itu gimana? Kayak tempat kerja. Milih gajinya gede tapi enggak nyaman atau tempat nyaman tapi gajinya gede?"
"Pengennya sih gaji gede, tempat nyaman."
Keduanya tertawa karena celetukan Panca.
"Kayak tempat ini. Akses susah tapi tempatnya nyaman."
Panca mengangguk.
"Itu kan tempat tinggal kamu?" tunjuk Rana pada bangunan yang letàknya kurang dari sepuluh meter itu.
"Iya. Tapi saya mau ke warung Bu Jamal dulu!"
"Oh." Rana tahu warung itu. Warung kecil yang dijaga oleh pasangan suami istri dengan satu anak berusia 5 tahun bernama Jamal.
Warung yang buka selama 24 jam dengan barang jualan yang lengkap. Lengkap memenuhi kebutuhan para warganya.
"Mau beli rokok?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.
"Enggak. Kenapa harus rokok?"
"Enggak papa. Cuma ya, biasanya kan orang-orang susia kamu belinya kayak gitu." Rana berasumsi.
Panca tertawa dengan tebakan Rana.
"Terus beli apa?" Jiwa kepo Rana mencuat begitu saja.
"Mau beli obat nyamuk!"
"Ah...." Rana mengangguk. Ia pun bermasalah dengan makhluk penghisap darah itu.
sesampainya di warung Bu Jamal, mereka berdua berpisah.
***
Rana merebahkan tubuhnya di atas kasur berukuran 120×200 meter itu dan menatap langit-langit kamarnya. Meluruskan kakinya yang terasa pegal.
Satu hal yang seharusnya ia lakukan.
Seharusnya ia memilih untuk bersih-bersih dulu baru merebahkan diri. Karena jika ia sudah merebahkan diri. Maka yang terjadi adalah mager dan megantuk.
"Males!" gumam Rana. Tetapi perutnya yang terasa penuh mengharuskannya untuk segera ke kamar mandi dan bersih-bersih.
Selesai mandi Rana segera berganti baju dan sesekali ia melirik kotak berisi barang yang dikirimkan untuk diriny.
Alih-alih senang mendapatkan semua itu. Rana malah takut.
"Bener ga sih kata Nana?" tanya Rana pads diri sendiri yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban.
'Kali aja ada sesuatu. Kali aja kamu di guna-guna nantinya. Kalau kamu makan itu, kamu jadi suka sama seseorang yang enggak pernah kamu kenal, kamu tahu.'
Kalimat itu membuat Rana takut dan parno.
Daripada overthinking dengan hal-hal yang terjadi akhir-akhir ini padanya. Rana memutuskan untuk melakukan apa yang seharusny ia lakukan di hari sabtu nanti. Yaitu mencuci baju yang sudah ia timbun selama lima hari.
"Harusnya nyuci dulu baru mandi," gumam Rana yang merasa sudah salah strategi.
Rana membuka daun jendela dengan tujuan udara bis sejenak berganti selama dirinya menjemur. Dan tepat saat gadis itu membuk jendel pandangannya langsung tertuju pada bangunan dua lantai yang sempat ia bicarakan dengan Panca tadi.
Dari tempatnya, Rana bisa melihat balkon gedung itu. Dengan tiga pintu. Yang artinya ada tiga kamar di lantai 2.
"Panca tinggal di bawah atau atas?" pikir Rana tiba-tiba.
Ran terus melanjutkan apa yang sedang ia lakukan. Sampai Feelingnya bekerja. Rana merasa jika dirinya diperhatikan entah oleh siapa.
Namun, tatapannya langsung tertuju pada gedung lantai dua itu. Dan di sana, dengan sangat jelas Ran bisa melihat sosok yang berdiri di tepi balkon, bersandar seolah sedang memperhatikannya yang membuat Rana risih dan ingin cepat-cepat menyudahi kegiatannya.

Bersambung....

Aku sedang MencintaimuWhere stories live. Discover now