File : 001 - Tristesse

845 37 7
                                    

Betapa tenangnya malam ini bagi Marcus, menikmati sesapan Pinot Noir[1] 1980 sembari mendengarkan alunan lagu Tritesse memang hal yang Ia sukai, terutama saat sedang dilanda banyak pikiran.

Well, Ia memang sedang menghadapi masalah yang kompleks, namun Ia berusaha melupakan itu dan fokus memanjakan dirinya dengan wewangian anggur merah kesukaannya.

Alunan piano dalam lagu Tristesse ciptaan Frédéric Chopin yang menggema mampu membuat dirinya rileks, walaupun bernada sedih dengan tempo pelan, Ia justru merasa ketenangan yang kekal merasuki dirinya hingga tanpa Ia sadari sebilah pisau menggores perlahan leher pria berumur 31 tahun itu.

Matanya yang terpejam sontak terbelalak ketika rasa perih nan menyengat itu mulai Ia rasakan, namun sudah terlambat, darah mulai keluar perlahan, membuat dirinya lemas seketika dan gelas yang sedari tadi Ia genggam pecah berserak di lantai.

Ia jatuh tertelungkup, namun masih berusaha merangkak menuju foyer[2] seraya mencari bantuan walau darah terus mengalir.

Dirinya mulai kehilangan kekuatan dan kesadaran ketika langkah kaki mendekati dirinya, Ia tetap berusaha merangkak sambil menutup sayatan di lehernya.

Langkah kaki itu berhenti diikuti sepasang tangan yang kini memegang kepalanya dari belakang. Ia sudah tak tahan dengan rasa sakit yang bertambah ketika kedua tangan itu mengangkat kepalanya dan dengan tenaga yang kuat, diputarlah kepalanya hingga wajahnya yang kini pucat menghadap pemilik kedua tangan itu. Pemilik tangan dingin yang kini melepas genggamannya dan keluar dari ruangan.

Alunan Tristesse masih menggema di penjuru ruang, dan rasanya alunan instrumen yang kini memasuki interlude itu memang cocok menggambarkan Marcus dengan tubuhnya yang sudah dingin tak bernyawa.

****

Ia menyesap habis Asian Dolce Latte miliknya dan membuangnya-sembarangan-sebelum masuk ke dalam lobby sebuah apartement elite di kawasan Dharmawangsa.

Walau telah menghabiskan satu cup tall latte favoritnya itu, Ia masih merasa kekurangan asupan cafein.

Dan nuansa megah lobby berlapis marmer yang kini Ia masuki juga masih tak mampu mengindahkan keinginannya itu.

"Maaf pak ada yang bisa kami bantu?" Tanya seorang petugas lobby-seraya menghalangi jalannya ketika Ia melangkah melewati meja reseptionis.

Dengan berdecat pelan Ia hanya mengambil tanda pengenal dari sakunya dan menunjukannya ke depan wajah sang petugas tanpa ekspresi.

Si petugas langsung terdiam dan memberi gestur 'silahkan' yang bagi nya merupakan kemenangan telak.

Ia melanjutkan langkahnya ditemani sang perugas lobby menuju lift yang kini membawanya ke lantai 25. Ketika lift terbuka garis polisi langsung menyambutnya, pemandangan biasa baginya ketika segerombolan polisi memenuhi TKP yang masih berbau amis darah.

"Pagi pak." Sapa seorang pemuda berkacamata.

"Pagi." Jawabnya singkat sembari menganalisa ruang tengah tempat sesosok tubuh terbujur kaku dengan posisi kepala terputar kebelakang lengkap dengan genangan darah yang berujung menyebar di depan kursi santai berwarna putih. Setidaknya kursi itu bersih, ucapnya dalam hati.

"C. O. D.[3]?" Tanyanya yang langsung direspon pemuda itu dengan membuka sebuah file dan membacakannya.

"Korban kehilangan cukup banyak darah karena sayatan yang hampir mengenai nadi leher, namun penyebab utama kematian adalah pergeseran tulang leher akibat dorongan kuat di bagian kepala hingga terputar 95° dan menyebabkan saraf serta aliran darah tertekan." Jelasnya ketika mereka berdua telah berada tepat di depan tubuh korban.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 03, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Game OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang