🦋01: Silam

31 9 0
                                    

Jemari menyusuri rak buku yang berada tepat di samping kanan tempat tidur. Aku menarik sebuah buku dari sana, membawanya menuju meja kerja. Ganjalan besar pada halaman buku itu membuat halamannya refleks terbuka sendiri. Menampilkan bunga yang sudah dua mingguan kudekam di dalam sana. Aku mengambil bunga yang terlapis wax paper itu, benar-benar terlihat sangat cantik. Setengah mengagumi bunga yang kukeringkan, tangan yang lain mengambil buku jurnal dari tumpukan buku tebal lainnya.

Ya, penaku masih menari tentangnya. Tentang dia yang tidak pernah ada habisnya. Entah sudah berapa kata rindu yang kutulis di sana. Tulisanku masih setia tentang dia. Aku mendongak, menatap insektarium yang tergantung di dinding kamar.

"Dasar serangga jahat!" Mengumpat sendiri. Memperkarakan rasa sakit hati yang sebenarnya kubuat sendiri. Jadi siapa yang jahat di sini? Dia yang pergi atau ekspektasiku?

Aku menghela napas, kembali meratapi jurnal yang ada di hadapan. Mulai menyobek-nyobek kertas bergaya vintage itu, menempelkannya dengan lem dan menyusunnya dengan indah. Juga stiker-stiker cantik menempel di sana ikut meramaikan. Aku mulai merangkai kata singkat di sana.

Hari di mana awan berduka adalah hari di mana kunang-kunang menutup nyalanya, bersamaan dengan hilangnya kamu di tengah jelaga.

Aku menutup jurnal itu setelah selesai menempelkan bunga Daisy kering di sana. Beberapa detik merenung. Ya, mungkin ini sudah saatnya. Aku meraih laptop yang berada di sudut meja. Membuka halaman kosong pada microsoft word.

Mungkin sudah saatnya untuk mengambil kenangan itu kembali, menyimpannya di halaman-halaman kosong itu. Membiarkan diri terlempar ke masa lalu. Satu tarikan napas menjadi helaan panjang, aku menyakinkan diri terlebih dahulu untuk kemudian siap menyibukkan jemari di atas keyboard.

***

Suatu hari di tahun 2004 ....

Langkah malas itu melompat dari mobil bak terbuka. Netra menatap rumah berukuran sedang dua lantai dengan warna hijau pastel itu. Aku menggendong boneka lebah di tangan. Untuk anak usia sembilan tahun, pindah ke tempat baru bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Kembali beradaptasi membuatku sedikit frustrasi. Ini bahkan yang ketiga kalinya aku pindah sekolah.

"Yah, kenapa sih mesti pindah-pindah rumah begini?" Hal itu kembali kutanyakan.

Lelaki paruh baya itu tersenyum seperti biasa, ia menyejajarkan tinggi badannya denganku. "Kita ini 'kan keluarga siput, bawa rumah ke mana-mana." Ia menjawil hidung mancungku yang tentu saja diwarisi darinya.

Ia kemudian menyibukkan diri dengan kardus-kardus berat. "Sana gih, lihat-lihat kamar sama Bang Arash," ucapnya sembari berlalu masuk ke rumah.

"Sudah, jangan cemberut terus. Nanti juga dapat teman baru." Anak laki-laki yang beda tiga tahun dariku itu merangkul bahuku.

"Abang mah enak, udah masuk SMP!"

Ia terkekeh. "Makanya cepet gede."

Dengan ekspresi wajah yang masih kecut, kami masuk ke rumah. Menyusuri tangga menuju lantai dua. Bang Arash membuka pintu kamar, bibir sontak ber-waw ria.

Aku berlari kecil-kecil menghampiri jendela besar yang langsung menghadap ke arah jalanan. Tersenyum melihat pemandangan indah di depan sana. "Aku suka kamar yang ini!"

"Tapi 'kan Abang yang ketemu duluan," rajuknya duduk di pinggir kasur.

Aku menggoyang-goyangkan telunjuk di depan wajah. "Abang 'kan lebih tua, jadi harus ngalah." Aku memeluk Bee, si boneka lebah kuning-hitam.

Love BugTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang