Misi Bertemu

1 0 0
                                    

“Punya anak suka bener bangun siang! Jian, bangun!” Mama datang dengan suara nyaring yang melengking, sembari memukul punggung Jian yang masih bergelung di belakang guling, memeluk erat-erat seakan tidak ingin terpisahkan. Pukulan Mama cukup keras kala itu, cukup membuat Jian mengerang sakit. Alih-alih merasa dibangunkan, Jian merasa Mamanya seperti baru saja melakukan KDRT padanya.

“S-sakit, Ma. Iya, Jian bangun. Jian bangun, Ma.” Sedikit meringis, lelaki berusia 18 tahun itu memaksa dirinya bangun. Rasa-rasanya tubuhnya remuk. Sekujur tubuh terasa kaku sebenarnya, tapi tetap ia paksakan bangun sembari menahan satu rasa sakit di punggung kanannya.

Jian baru saja lulus SMA. Sembari menunggu pendaftaran kuliah, ia tetap berusaha melanjutkan bisnis kecil-kecilannya, berjualan roti bakar di pinggir jalan dari petang hingga tengah malam. Bukan tanpa alasan ia bangun kesiangan, semua itu karena kelelahan yang ia alami. Banting tulang untuk sekolahnya sendiri, karena baginya tidak ada yang dapat diharapkan lagi dari Mama semenjak bercerai dengan Papa.

“Bekas kemarin saja belum hilang, sekarang ditambah punggung yang nyeri.” Jian berdiri menghadap cermin di kamarnya. Ia buka pakaiannya dan terlihat jelas bekas-bekas merah –bahkan kebiruan menghiasi perut kirinya. Hanya helaan napas yang dapat ia keluarkan, hingga suara ponsel menginterupsinya. Raut wajah yang semula sedih dan lelah berubah menjadi sumringah.

“Jangan lupa, sore ini, Kak Jiandra” Begitu pesan yang tertulis diponselnya. Buru-buru Jian mengetik untuk membalas pesan itu. Sejurus kemudian, ia langsung menyabet handuk dan bergegas mandi.

***

Jena memutar-mutar ponselnya dengan gelisah, seakan menunggu sebuah pesan yang sangat penting. Sesekali ia menghela napas dan mengaduk-aduk omelet telur di atas piringnya. Hingga akhirnya sebuah pesan yang sepertinya ia tunggu datang. Belum sempat ia buka ponselnya, Papa turun dari tangga, merangkul seorang wanita asing yang baru saja ia lihat.

“Pagi, Jena,” sapa Papa, masih dengan tangan yang merangkul bahu wanita berusia sekitar awal 30-an itu.

Tatapan mata Jena yang awalnya antusias hendak membaca pesan diponselnya, berubah menjadi raut yang tak dapat dijelaskan. Seakan ada rasa risih, jijik, muak, dan marah menjadi satu.

“Oh, dapat jablay baru, Pa?”

“Jena!”

“Tante, sudah digilir berapa sugar daddy? Papa saya udah main sama banyak cewek, udah nggak kehitung berapa cewek yang Papa bawa nginep ke rumah, loh!”

“Jena! Kamu yang sopan sama tamu Papa!”

“Ngapain Jena sopan sama cewek jalang? Hati-hati kena penyakit!”

“Kamu- kamu kurang ajar, ya, sekarang sama Papa?! Semua ini Papa lakukan demi kamu, tapi semua selalu kamu tolak.”

“Demi aku atau demi Papa sendiri yang kesepian perlu belaian wanita? Kalau demi aku, nggak ada Papa seenak jidat bawa nginap wanita gajelas! Kalau demi aku, ya, Papa kenalin mereka ke aku baik-baik, bukan kenalinnya tiap habis Papa bawa nginap di rumah, di hotel, dimana-mana. Menjijikkan!”

Sebelum Papa sempat menjawab ucapan Jena, gadis itu segera pergi keluar dari rumah. Raut wajahnya penuh emosi dan rasa kecewa. Ia menahan tangisnya. Memaksa menarik napas panjang dan ia hembuskan kasar. Sembari mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya, ia buka pesan yang masuk beberapa saat lalu yang belum sempat ia balas.

“Iya, sesuai kesepakatan, kira bertemu sore ini di sana. See you soon, Jennaira.”

Sesungging senyum di balik wajah sendunya muncul. Jena berhasil menahan air matanya untuk jatuh dan segera bangkit, bergegas menuju terminal bis.

***

Jian memilih meliburkan usaha roti bakarnya hari ini. Ia ada janji bertemu dengan sosok yang selama 10 tahun ini dirindukannya. Ia bergegas keluar, sengaja tidak izin kepada Mama, karena baginya sangatlah sia-sia dan hanya membawa amukan murka yang baru. Membawa sabetan-sabetan kekerasan yang baru.

Tiket kereta api sudah Jian pesan sedari jauh-jauh hari. Ia sangat antusias dengan pertemuan ini. Lost contact 10 yahun cukup membuatnya stress, ditambah dengan perlakuan Mamanya yang emosinya tidak terkendali semenjak bercerai.

Tiba di tempat pertemuan, Jian berjalan santai, menyusuri deretan jalanan stasiun. Perasaannya campur aduk. Antara senang, sedih, gelisah, dan bingung. Apa yang harus ia lakukan ketika mereka bertemu?

“Kak Jian!!!” Sebuah suara nyaring menginterupsinya dari seberang jalan. Seorang gadis yang baru saja turun dari bis itu langsung mengenalinya. Gadis itu melambai sumringah dengan sesungging senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Jena!”

Mereka berdua saling bertemu dan berpelukkan. Tanpa sadar air mata mereka berdya mengalir. Pelukan mereka semakin erat seakan tidak mau terpisahkan. Sepasang saudara kembar itu saling berbagi luka dan rindu dalam pelukan mereka.

“Aku kangen banget sama Kak Jian. Kangen banget, Kak...,” lirih Jena sendu, masih dalam dekapan Jian.

“Kakak juga, Jena. Kaka juga,” balas Jian.

Petang ini mereka pilih untuk menghabiskan waktu bersama. Berjalan menyusuri jalanan kota itu, membeli cemilan, makan siang bersama, dan diakhiri dengan berbincang sembari menyusuri jembatan.

“Jena capek. Papa bolak-balik bawa wanita nggak jelas untuk menemaninya. Sudah nggak kehitung berapa kali Jena nggak sengaja liat Papa bermesraan dengan wanita-wanita itu. Rasanya malu banget, Kak.”

“Kakak juga. Mama emosinya tidak stabil. Sering melakukan kekerasan ke Kakak dan menyalahkan Kakak atas semua hal, bahkan nyaris tidak membiayai Kakak sama sekali, sampai-sampai Kakak harus banting tulang sendiri mencari biaya untuk sekolah. Mau lihat beberapa belas yang masih tersisa?”

Jian membuka sedikit kaosnya di bagian perut kiri. Lebam, memar, dan goresan-goresan yang masih tersisa di sana nampak dengan sangat jelas. Jena menahan tangis melihat luka-luka ditubuh kakaknya. Jemarinya menyentuh luka-luka itu dengan gemetaran. Rupanya mereka berdua sama-sama hidup dalam kesengsaraan dan kesedihan. Sama-sama tersiksa akibat ulah kedua orang tua mereka. Sama-sama menjadi korban dalam perceraian rumah tangga. Hingga dipertemuan ini, rasa sesak mereka berdua sama-sama tidak bisa terbendung lagi. Sudah cukup sabar mereka menahan semua itu selama 10 tahun.

Langit semakin menggelap. Kendaraan semakin jarang lalu lalang. Mereka berdua duduk dengan kaki menggantung di pinggir jembatan. Saling bertatapan dengan mata yang berkaca-kaca. Rasanya memang ini salah, tapi rasa muak dan sakit yang mereka rasakan bertahun-tahun ini membuat mereka membulatkan tekad. Ponsel yang sedari tadi mereka non aktifkan, kini mereka nyalakan, mereka taruh di sisi alas kaki mereka.

“Mau mundur?”

“Nggak. Kita sudah terlalu capek, Kak.”

Satu anggukan dari mereka masing-masing menjadi penguat. Dengan tangan yang saling bergandengan dan mata yang mereka pejamkan, mereka jatuhkan tubuh mereka dari ketinggian puluhan meter bersamaan dengan ponsel mereka yang sama-sama berbunyi.

Mama. Tertera pada ponsel Jian.

Papa. Tertera pada ponsel Jena.

Our Way to LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang