Game

25 4 0
                                    

"argh!" Aku meremas gawai gemas.

Pletak!

Hantaman benda padat membentur kepalaku.

"Aduh, nyeri atuh, Mak!"

"Game deui, game deui! Euweuh sumanget pisan, guay geura ka kebon!" Serunya seraya pergi keluar kamarku.

Emak memang begitu, tiada ampun untuk anaknya. Kumaha mun tingar kalongeun? (Gegar otak) Dia berlalu setelah melempar centong ke kepalaku. Dobel sakitnya! Udah kalah main game, kena lempar diomelin pula.

Terpaksa kuambil centong yang dilemparkan emak dan membawanya ke dapur.

"... Aduh sujang meuni bageur pisan!" Kudengar samar suara Emak di depan, ia berterima kasih pada seseorang, siapa?

"Sami-sami, Mak!" Alah geuning! Itu dia suara paling merdu sedunia. Akang Mahmud!

Secepat kilat aku berlari ke depan, mengintip dari balik gorden. Masha Allah! Gantengnya masa depan! Aku harus siap-siap, ekhem! Suaraku terdengar normal, kan?

"Ini sayur masih seger, Mak."

"Euleuh, itu di kebun lagi panen?"

"Iya, masih luas yang-" Kang Mahmud berhenti bicara, ia menengokku yang keluar dari pintu, kami saling mengangguk sebagai sapaan.

"Kang, itu lagi panen, ya? Kenapa gak ngajak?" Ucapku basa-basi.

Emak memukulkan kemoceng ke wajahku, bicara sedikit ditekan, "Kamu dari tadi molor waé, mentang-mentang hari Minggu! Udah Emak suruh ke ladang malah maen game!" Ia mencubit perutku.

"Hiss, sakit, Mak?" Bisikku.

"A-anu, kalau begitu saya permisi dulu."

"Eh, iya. Sekali lagi hatur nuhun, ya, Jang!"

Kang Mahmud pergi dengan motor bututnya yang tinggal kerangka, meski udah bobrok aku mau kok dibonceng. Hihiw!

"Eh, Mak! Itu sayur dari kang Mahmud, apa aja?"

Emak mengintip kantong plastik di tangannya. "Wortel, kentang, hui, kol, jeung naon nya nu héjo téh? Pakcoy!" Katanya. Hui itu ubi, makanan kesukaanku itu!

"Mak, biar aku aja yang masak!"

"Ai kamu kunaon Ezra? Kenapa? Tiba-tiba mau masak."

"Emak mah ari tadi dititah guay, ayeuna kalah ditatanya. Plin-plan Emak mah!" Heran Emak mah, giliran anaknya mau kerja malah aneh. "Udah sini." Kuambil plastik di tangan Emak dan membawanya ke dapur.

"Tapi Emak udah masak, Zra!" Teriaknya.

Ah sudahlah, biar aku masak untuk diri sendiri. Sayur akang Mahmud pasti rasanya beda, penuh cinta! 

Secuil kisah di sore ini, manis-manis asem, asemnya gegara Emak manisnya senyum kang Mahmud. Duh aing mah!

Namaku Ezra, tentu laki-laki, memang ada Ezra Saputri? Ezra Walian baru ada, pemain bola. Ya, wajahku tidak kalahlah sama pemain timnas tersebut, bedanya yang ini cetakan Sunda tidak ada unsur bule-nya.

Aku tidak memberi tahu siapapun sebelumnya, kenyataannya aku tidak normal. Maksudnya, aku memang pria tulen tapi aku tidak merasa tertarik pada wanita, tidak begitu ngebet, karena sejak empat tahun lalu aku cinta mati sama kakang yang tampan dan gagah itu. Kang Mahmud!

Saat ini aku masih duduk di bangku SMA, kelas XI. Memiliki lingkaran pertemanan yang normal, selera yang normal dan kenakalan yang normal. Tapi entah bagaimana awalnya, aku mulai sadar bahwa perasaanku pada kang Mahmud tidak normal. Rasa sukaku tidak seperti suka sebagaimana hanya perasaan kagum antar pria.

Kucoba searching di internet, dan dari tanda-tanda yang dijelaskan gelagatku ini mengarah pada orientasi seksual 'homoseksual'. Ngeri, ya!

Awalnya aku shock, ini membuatku takut dikucilkan, memikirkannya saja membuatku malu. Namun akhirnya aku mencoba meredam kekhawatiranku dengan tidak menanggapi serius hal tersebut. Menyukai kang Mahmud dalam diam membuat hariku berwarna, aku sangat menikmatinya. Jadi tidak perlu merusak kebahagiaan dengan hal-hal yang belum tentu benar.

Sekian perkenalannya.

Tiba-tiba terpikir membuat brownies ubi, karena aku sangat suka ubi jadi aku selalu belajar berbagai olahan dengan tanaman akar satu ini. Jadinya aku familiar dengan masak-memasak, gimana, cowok idaman kan aku ini? Tapi hatiku tetap milik akang Mahmud.

Kang Mahmud itu usianya hampir 30 tapi dia masih sibuk dengan pendidikannya, sekarang saja lagi studi S3. Dia guru di SMP-ku dulu. Dari sanalah rasa suka itu muncul. Selain itu dia juga suka ngajar ngaji dan profesi paling diminatinya adalah petani. Ia sudah bertani sejak berumur enam tahun, kata Emakku setiap hari kang Mahmud ikut neneknya ke ladang.

Apalagi kalau bukan idaman? Sekarang kang Mahmud punya lahan pertanian belasan hektar yang ditanami tanaman pokok dan palawija setiap tahunnya.

"Kamana, Za?" tanya Emak yang sedang menjahit celana sekolahku.

"Ka kebon."

Aku berniat pergi ke kebun untuk memberikan brownies ubi yang kubuat barusan, masih hangat.

"Burit ari kamu, lihat, sudah senja!"

"Belum gelap ini." Aku masih ngeyel.

"Sieun sanekala!" Ancamnya kemudian.

(Sanekala, kata ini sering dipakai untuk memperingati anak-anak untuk masuk rumah ketika senja menjelang oleh orang tua Sunda zaman dulu)

"Siga parawan waè!"

Tak lama Emak buru-buru keluar menghampiriku, tanpa basa-basi menjewer telinga. "Kamu kalau dibilangin orang tua nemal wae, ngelawan terus!"

"Atatata, sakit, Mak!"

Emak menyeretku masuk kembali ke rumah, dia masih mengomel sampai bapak pulang dari ladang dengan bau keringatnya.

"Aya naon? Sore-sore gini udah noroweco ngomel, takut sanekala!" Bapak mencoba menengahi.

"Tuh, tadi sanekala sekarang sanekala, sebenarnya sanekala itu apa?" Ucapku sambil menggosok telinga dengan telapak tangan.

"Banyak tanya! Udah sana mandi, ikut bapa ke mesjid!" Jawab Emakku sambil berjalan ngambil air untuk Bapak minum.

Padahal niatnya kan mau cari perhatian sama kang Mahmud. Rumahnya sih cuma kelewat tiga rumah tapi tadi tidak terlihat motor bututnya di halaman jadi kupikir dia masih di ladang. Ah sudahlah, besok aja kuberikan.

____________

Bersambung

Akang Mahmud!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang