Manusia adalah makhluk munafik. Wajah penuh derai air mata ditutup rapi menjadi sebuah kebahagiaan yang tidak terkira. Ketika kemalangan menghampirinya, maka semesta yang akan disalahkan.
Namun, meski begitu, manusia makhluk penuh cinta. Di balik t...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Remang-remang silaunya lampu tertangkap indra penglihatan. Entah berapa lama kesadarannya hilang, yang pasti ini masih malam karena gemintang bisa ia lihat lewat fentilasi udara di kamarnya. Mila berupaya bangun, namun ketika tangannya dipegang untuk diberi bala bantuan, seketika gadis itu terjingkat kaget.
“Kamu tidak apa-apa?” Suara berat menyadarkan Mila untuk kembali ke kenyataan.
Dengan tanpa sengaja, Mila mendorong bahu pria berkemeja hitam lengan panjang itu sampai terjerembab jatuh ke belakang. “Kamu ... bisa bicara?
“Bisa.”
“Kok—bisa bicara, sih?” Gagu ia bertanya.
“Karena punya mulut.”
“Tapi, kan, kamu kucing—ralat, maksudnya jelmaan kucing?”
Pria itu mendesah panjang. Ia beranjak bangun, lantas duduk di tepi kasur. “Aku memang jelmaan kucing atau lebih tepatnya manusia yang dikutuk jadi kucing.”
“Kok, bisa? Siapa yang kutuk dan apa penyebabnya?” Tidak terencana, pertanyaan tersuara.
“Kakakku sendiri pelakunya, karena aku telah durhaka terhadap Ayah,” jawabnya sendu. “Waktu itu aku manusia biasa seperti kamu dan aku sekarang ini, tapi malam itu kemalangan menimpaku. Aku akui jika memang aku salah telah menyebabkan kekacauan besar.”
Mila kini jauh lebih tenang dan mulai santai, bahkan cara duduknya sudah ia ubah menjadi bersila. “Apa itu?”
“Aku hampir melenyapkan nyawa Ayahku dengan ilmu sihir yang aku pelajari dari sekolah karena mengira jika Ayah hanya menyayangi Kakak.” Wajah lelaki itu langsung muram, sarat akan penyesalan. “Padahal Ayah tidak pernah membeda-bedakan anak-anaknya, aku saja yang merasa begitu karena Ayah lebih sering memuji kekuatan sirih Kakak yang lebih hebat dari kekuatan sihirku.”
Ia mulai terhanyut dalam kisah sedih yang diceritakan lelaki itu. “Kalau begitu, namamu siapa? Dan kenapa ada di dalam kamarku?”
“Namaku Reval dan untuk alasan mengapa aku bisa berada di kamarmu, sepertinya aku terjebak.” Reval memandang Mila. “Kamu tahu, aku bukan berasal dari dunia ini.”
“Maksud kamu apa?”
“Aku berasal dari dimensi lain. Duniaku dan duniamu jauh berbeda. Di duniaku lingkungannya masih sangat asri, tidak banyak polusi seperti di sini. Di duniaku juga di pimpin oleh Raja, Raja Delfargo yang kekuatan sihirnya begitu hebat dan begitu ramah kepada para warganya,” jelasnya.
Mila ingin menolak percaya, tetapi dilihat dari cara Reval bercerita seperti sungguh-sungguh dan benar adanya.
“Ah iya, namamu Mila, bukan?” tanya Reval, si pemilik nama mengangguk.
“Jika tidak salah, aku mendengar kamu seperti sedang bertengkar dengan seseorang. Tetapi, aku perhatikan dari tadi hanya ada kamu seorang diri sambil menempelkan benda itu di telinga.” Reval menunjuk ponsel Mila di atas kasur. “Kalau boleh tahu, kamu sedang berbicara dengan siapa?”