Overnight adalah cerita pendek pertama yang mengawali kisah-kisah untuk menemukan makna dari cinta.
Semoga suka, ya.
Sepasang kaki diseret, dipaksa untuk tetap melangkah, meski rasa penat begitu menggerogoti seluruh ruang di dalam tubuh. Kelopak mata yang pagi tadi tampak cantik dengan sapuan eyeshadow, kini terlihat sayu; ia benar-benar lelah. Tenaga seakan terkuras habis, padahal tidak habis melakukan aktivitas fisik.
Dua puluh satu tahun lalu, perempuan bersurai hitam lurus panjang sampai punggung itu terlahir di dunia. Rumah Sakit di Jakarta menjadi naungan pertama bayi itu mengeluarkan tangisannya. Mila, itu namanya, si pemilik sifat keras kepala yang bahkan sebongkah batu pun akan kalah kerasnya dari tekad Mila.
Brak.
Mila meletakkan kasar tas jinjing berisi beberapa buah buku tebal. Nasib mahasiswa semester akhir, otak tidak mau diajak diam; memikirkan skripsi yang tak kunjung ditanggapi, padahal sudah dua judul yang Mila ajukan. Pun perihal isi dompet yang semakin lama semakin didiamkan, akan semakin kosong, berakhir menambah beban pikiran.
Perlu diketahui, Mila memutuskan angkat kaki dari rumah dan memilih tinggal di kost-kost-an. Bukan tanpa sebab, ia melakukan itu bukan ingin terlihat lebih mandiri, namun untuk menghindari melihat interaksi harmonis Ayah dengan keluarga barunya.
Mila begitu muak, kehadirannya di rumah seakan tidak dianggap, dengan mudahnya Ayah menikah lagi sebelum restu tersuara dari mulut Mila. Egois, itulah kata yang tersemat untuk Ayah dari lubuk hati gadis itu.
Drrttt. Drrttt.
Mila baru saja akan menerjang ranjang ukuran sedang, namun deringan ponsel berhasil menggagalkan rencananya. Gadis itu dengan rasa malas menarik benda pipih bersegi panjang dari dalam tas. Nama Ayah terpampang jelas di layarnya, Mila hanya berdecih sebelum akhirnya mengangkat panggilan.
Berpikir jika dirinya dahulu yang membuka suara, nanti Ayah akan mengira jika Mila sudah lapang dada. Maka dari itu, ia biarkan senyap menyapa panggilan suara dari dua insan sedarah yang terpisah jarak.
“Halo, Nak.” Akhirnya Ayah yang lebih dahulu mengalah untuk bersuara.
“Iya.” Dengan nada malas, si anak menyahut.
“Mmm begini ... Ayah cuma kepingin dengar suara kamu. Sudah satu minggu Ayah belum dengar kabar kamu.”
“Lalu ... memangnya kenapa kalau Ayah belum mendengar kabar Mila? Bukannya ketiadaan Mila di rumah bukan hal besar, Yah?” tanya Mila, suaranya terdengar pongah.
“Kamu salah paham, Nak. Ayah—“
“Bagian mana, Yah, yang salah Mila pahami? Bagian saat Ayah janji ke Bunda nggak akan kasih hati ke wanita lain, tapi pada akhirnya Ayah mengingkari? Atau bagian saat Ayah dengan bangganya mengenalkan Istri baru Ayah ke Mila, padahal bukan itu yang Mila mau?” serobot ucapan Mila mampu menghentikan perkataan Ayah. “Ternyata lima bulan ini, Ayah belum sadar juga,” lanjutnya kecewa.
“Ayah tidak mungkin berpisah dengan Hani, kamu harus mengerti, Mila.”
Mila mengangguk-angguk. “Oooh, jadi namanya Hani. Kalau begitu, selamat berbahagia bersama Hani yang sudah sukses rebut Ayah dari hidup aku.” Setelah itu panggilan terputus.
Tubuh merosot tanpa tenaga menghantam permukaan kasur. Rasanya ingin menangis, tetapi teguh ia tahan. Mila enggan mengeluarkan air mata barang satu tetes pun hanya untuk menangisi Ayahnya itu.
Pada akhirnya, plafon menjadi pusat pandangan. Beberapa menit termakan dengan sia-sia, Mila memutuskan untuk membersihkan diri.
“Meow....”
“Lho, kok, ada kucing?” Mila heran saat hendak membuka pintu, terdapat kucing meringkuk di pojok bingkainya.
Tak acuh, Mila hanya perlu keluar bersama handuk terselempang di bahu tanpa mengurusi kucing berbulu lebat warna putih yang bagian kaki kanannya terdapat luka entah karena apa dan tidak tahu milik siapa.
Sepuluh menit berlalu, mandi pada malam hari ternyata begitu menyejukkan, terlebih jika menggunakan air dingin. Karena kost kebetulan tengah kosong, Mila tidak perlu memakai pakaian di kamar mandi.
Dengan langkah ringan, Mila masuk ke kamar, menarik setelan piyama ungu muda dari dalam lemari satu pintu untuk siap terpakai di tubuh berbobot 47 kg itu.
“Meow.”
Ternyata kucing tadi masih di dalam kamar. Mila yang mengenakan pakaian menghadap tembok berbalik badan. Sepasang mata membola lebar, dilanjut teriakan memekik keras.
“AAAAA!!! Dasar cowok mesum! Ngapain kamu ada di kamar aku?!”
Tepat di depan daun pintu yang tertutup, sesosok lelaki berdiri tengah menatapnya. Begitu gagah dengan pakaian serba hitam.
Mila memundurkan langkahnya hati-hati, harap cemas jika terjadi sesuatu yang tidak terduga. Sampai ... brak!. “Ah, sial,” umpatnya pelan ketika punggung bertemu dengan tembok.
“Kamu siapa, sih? Nggak sopan, ya, masuk kamar cewek sembarangan.” Suara Mila bergetar, ia ketakutan. “Pasti—pasti kamu teman cowoknya teman kost aku nih, iya, ‘kan?”
Lelaki itu terus diam, satu kata barang sedikit pun tidak terucap. Hanya memandang lurus tanpa berkedip ke arah Mila.
“Kayaknya kamu salah kamar deh.” Tubuh Mila menyerong, bersikap jaga-jaga.
“Kamu mau ketemu Vina atau Tari? Biar aku tunjukin kamarnya. Tapi sebelum itu, aku mohon kamu keluar dulu, ya, dari kamar aku,” pintanya memberi tawaran.
Mila semakin bersikap awas, kepalanya seketika pening berhadapan dengan lelaki yang terus menatapnya awas, seakan ia adalah mangsa yang siap untuk disergap.
Perhatikan Mila beralih ke pergelangan kaki lelaki tersebut. Lamat-lamat ia pandangi, luka yang pria itu miliki sama persis dengan luka kucing tadi.“Kamu nggak mungkin kucing tadi, ‘kan? Nggak mungkin. Mana ada kucing jadi manusia, atau jangan-jangan ... manusia jadi kuc—ing?” Setelah itu kesadaran Mila hilang, ia ambruk pingsan akibat terlalu terkejut.
A/N:
Gimana? Penasaran? Tenang, belum selesai kok.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Sederhana Untuk Cinta Yang Sempurna (Cerpen)
Historia CortaManusia adalah makhluk munafik. Wajah penuh derai air mata ditutup rapi menjadi sebuah kebahagiaan yang tidak terkira. Ketika kemalangan menghampirinya, maka semesta yang akan disalahkan. Namun, meski begitu, manusia makhluk penuh cinta. Di balik t...