Rumah Baru

12 1 0
                                    

Terlihat sebuah mobil memasuki salah satu perumahan yang terkenal elit di kawasan kota. Berjalan lambat melintasi beberapa unit rumah dengan luas tanah yang cenderung sama. Lajunya terhenti seiring seorang supir bergegas ke pintu belakang guna memberikan akses keluar bagi sang penumpang.

Cakara yang pengertian, berniat membukakan pintu untuk gadisnya yang sepanjang perjalanan tidak mengeluarkan suara barang sedikit pun itu. Namun aksinya gagal, mengingat Runa justru telah lebih dulu sampai di muka bagasi. Maka secepat kilat, Cakara segera mengambil alih tugas menurunkan barang bawaan tersebut.

Pengelihatan Runa menerawang jauh, menyapu bersih pemandangan di hadapannya. Sedang Cakara hanya tersenyum simpul, memperhatikannya seksama. Sebuah rumah tampak siring bernuansa putih yang memiliki desain geometris. Pagar beton bermotif kayu menjulang tinggi menambah kesan hangat, sekaligus sejuk.

"Ini punya kamu sekarang." ucap Cakara membuat netra keduanya beradu.

"Yuk, masuk!" serunya seraya melintasi pria jangkung bernama Pak Barus, supir kepercayaan keluarganya sejak puluhan tahun lalu.

"Makasih ya, Pak. Nanti mobil diparkir aja, jadi Bapak bisa langsung istirahat." Pak Barus menunduk hormat sebelum hengkang dari hadapan sang majikan.

Memasuki area pelataran, terdapat sebuah mini garden (taman kecil) dengan rerumputan hijau yang dipotong rapi menyesuaikan kontur tanahnya. Sebuah carport (emper mobil) tak luput dari perhatian Runa. Kanopinya menggunakan kaca film yang memungkinkan cahaya matahari masuk sebagai penerangan alami.

Pintu dibuka, Runa disuguhkan dengan interior rumah yang didominasi warna monokrom, seperti putih, abu-abu dan hitam. Ceiling (langit-langit) terbuat dari material vinyle, sedangkan lantainya terbuat dari material marmer. Runa mungkin tidak sadar bahwa sedari tadi mulutnya dibiarkan terbuka menikmati setiap penjurunya.

Nuansa minimalis terlihat jelas dari lantai dan furniture-nya. Penggunaan floating cabinet (kabinet melayang) membuat ruangan terasa lebih lega. Begitu pun furniture lainnya yang dibuat cenderung lebih rendah agar tidak menghalangi masuknya cahaya. Banyaknya bukaan bertujuan memastikan sirkulasi udara berjalan baik.

"Dari dulu, aku selalu pengen punya rumah sendiri. Kebetulan pamanku, Om Ren, sarjana design interior. Jadi, aku minta bantuan dia buat bikin ini." jelas Cakara dengan senyum tipis di akhir katanya.

Sesaat Runa menghentikan kegiatannya menelisik seisi ruangan, lantas melirik Cakara yang berada persis di sampingnya itu. Sepersekian detik, ia terpejam dan menghela nafas panjang. Memiringkan kepala, Runa menatap lekat seseorang yang kini menyandang status sebagai suaminya itu.

"Sayang, ya. Rumah impian yang dibikin susah payah ini malah berakhir dihuni sama orang yang samasekali nggak mencintai lo." bisiknya menghapus senyum di bibir Cakara.

"Eh, gimana stool bar ini? Aku buat sendiri, lho." secepat kilat Cakara mengalihkan pembicaraan untuk menetralisir sakit hatinya akibat perkataan Runa barusan.

"Mau sesuka apa pun gue sama semua perabotan di rumah ini, nggak akan bikin bahagia kalau tinggalnya bareng lo." tukas Runa mengambil koper bawaannya.

"Nggak papa. Akan ada saatnya kebahagiaan itu jadi milik kamu dan aku."

Runa yang semula berniat pergi, kembali memutar badannya seratus delapan puluh derajat. Memandangi sosok di hadapannya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Perlahan, langkah kakinya mengayun ke depan menyisakan jarak mereka yang tinggal sejengkal. Ia terkekeh kecil sebelum akhirnya kembali angkat bicara.

"Caka, baiknya lo tanya dulu, gue mau bahagia bareng lo atau nggak."

Di sinilah Runa sekarang, duduk di atas kasur putih berukuran queen size. Pandangannya terkunci pada sebuah wardrobe (lemari pakaian) besar dengan material kaca berwarna hitam. Mungkin pencahayaan merupakan hal paling penting, mengingat masih terdapat banyak bukaan seperti pada ruangan sebelumnya.

Anta(R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang