Si Penyulut Cemburu

4 1 0
                                    

Cakara mengurungkan langkahnya tepat setelah pintu bergerak mundur. Seorang pria jangkung berdiri di muka pintu dengan topi baseball hitam yang menutupi hampir sebagian paras tampannya. Menyunggingkan senyum, ia bergegas menjabat tangan sang tuan rumah dengan ramah.

"Apa kabar, Bro?" sapanya membuka dialog.

"Kok bisa nemu? Gue baru aja mau keluar." heran Cakara menautkan alis.

"Nanya tukang ayam bakar depan."

"Ta??"

Suara lembut cenderung lirih berhasil memecah percakapan keduanya. Cakara berbalik, mendapati Runa berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Tanpa diminta, ia menepi menyilakan sang istri menyambut tamu yang tak pernah diharapkannya itu. Sebisa mungkin Cakara menahan diri kala harus menyaksikan adegan dua orang di hadapannya saling melepas rindu.

"Kok lama?" tanya Runa di balik dada bidang yang dibalut kaos putih polos itu.

"Maaf, ya. Tadi jalanan macet." jawab sang empunya sembari mengurai pelukan sesamar mungkin.

Dipta tentu menangkap ekspresi tak suka dari mimik wajah Cakara yang sedari tadi bersembunyi di balik seulas senyum tipisnya. Ia sadar, tidak ada yang bahagia seutuhnya disini. Baik Cakara maupun dirinya, sama-sama harus mengorbankan kebahagiaannya masing-masing.

"Oh iya, aku bawa klappertaart kesukaan kamu!" Dipta menyodorkan sebuah paper bag bertuliskan kedai kue langganan Runa.

"Kamu tau aja aku lagi bete. Makasih, ya."

"Tamunya disuruh masuk dong, Na. Masa udah dikasih buah tangan, dibiarin berdiri aja di luar?" celetuk Cakara agak sarkastik.

"Nggak usah pake diajarin juga gue tau kali." sinis Runa memutar bola matanya.

"Masuk, Ta. Aku bikin minum dulu bentar." Runa bergegas ke dapur tanpa mengindahkan keberadaan Cakara di belakangnya.

"Gue boleh masuk nih, Bro?" tanya Dipta basa-basi.

"Tergantung, kalo lo mau bawa kabur bini gue, nggak gue izinin."

Selanjutnya, tawa tercipta seiring keduanya berjalan beriringan menuju ruang tamu yang tak jauh dari pintu masuk. Alih-alih duduk, Dipta dengan kepala mendongak mengamati rumah Cakara yang mungkin jauh dari kata sederhana. Sedang si empunya hanya diam tak mau mengganggu.

"Perasaan terakhir kali gue ke sini, belum sebagus ini, deh."

"Gue cuma pengen kasih yang terbaik buat Runa. Seenggaknya kalo gue belum bisa bikin dia nyaman, rumah ini bisa." jawaban Cakara membuat Dipta mengambil posisi duduk di seberangnya.

"Makasih ya, Bro. Lo udah izinin gue buat tetep berhubungan sama Runa. Padahal lo sendiri tau, ke depan pasti bakal banyak hal yang bikin lo nggak nyaman."

"Nggak papa. Toh sesuai permintaan lo, 'kan?" merasa canggung, Dipta hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.

"Ngomong-ngomong, gimana nyokap lo? Apa ada kabar baik dari dokter?" Cakara cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan sebelum suasana makin tak nyaman.

"Sejauh ini sih belum, tapi gue selalu minta mereka kasih yang terbaik, asal Mama bisa sembuh total kayak dulu."

"Pasti sembuh, Ta. Setiap doa yang dipanjatkan nggak akan pernah kembali dengan tangan kosong."

"Makasih, Bro."

Runa datang dengan nampan berada di kedua tangannya. Berjalan ke arah Dipta dan menyuguhkan segelas es kopi lengkap dengan sepiring kue sus cokelat ke hadapannya. Ia mengambil posisi persis di samping Dipta, mengamati lekat-lekat sosok yang paling banyak memenuhi isi kepalanya akhir-akhir ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 01, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anta(R)asaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang