BAB I

16 1 0
                                    

Happy Reading 😊

"Tidak! Tidaak!" Keringat bercucuran membasahi kening Laras. Dadanya terasa sesak.

"Laras bangun sayang. Mama ada di sini, jangat takut. Kamu tenangnya." Wanita paruh baya itu mencoba menenangkan anak gadia semata wayangnya.

Mendengar suara yang sangat di kenalnya, Laras membuka matanya dan berhambur ke pelukan ibunya.
"Mama!" Laras memeluk erat tubuh ibunya.

"Iya sayang, ini mama. Kamu mimpi buruk? Tanyanya lembut.

Laras menganggukkan kepalanya
"Ya sudah, sekarang kamu tidur."

Dengan berat Laras melepaskan pelukannya dan kembali berbaring. Ibunya mengecup kening Laras dengan penuh kasih sayang. Saat ibunya hendak beranjak dari tempat tidur, Laras menggenggam erat tangan ibunya tak ingin perempuan itu meninggalkannya.

"Baiklah mama akan tidur di sini."

Laras menggeser tubuhnya ke bagian tempat tidur yang kosong memberi tempat ibunya.

"Nah sekarang kamu tidur lagi, anak kuliah  gak boleh kurang tidur." Ucapnya
Laras menatap wajah ibunya dalam.

Wajah itu selalu memberikan senyuman yang begitu hangat, tapi Laras tahu di balik senyuman itu tersimpan rasa sakit yang amat dalam. Laras tersenyum, ia masuk ke dalam pelukan ibunya dan mencoba menutup matanya.

Ia kembali teringat masa-masa di mana ia begitu bahagia ketika ayahnya masih bersama dengan mereka tapi hal itu kembali membuat dadanya terasa sesak. Laras berusaha menerima kenyataan bahwa ayahnya telah meninggalkan mereka.

Laras memeluk erat tubuh ibunya dan mencoba melupakan semuanya. Tapi setelah kecelakaan itu, Laras selalu mendapat mimpi buruk dan itu benar-benar mengganggunya.

****

"Hei! Kenapa melamun?" Tari mengejutkan Laras yang baru tiba dan duduk di samping Laras.

"Hm? Aku? Gak kok!" Laras mencoba mengelak tapi percuma.

"Jangan bohong! Mimpi buruk lagi?"

Laras menghembuskan napasnya berat, ia menyandarkan tubuhnya dan menatap langit-langit perpustakaan kemudian menutup wajah mungilnya dengan buku yang ia pegang. Laras memang tidak bisa berbohong pada sahabatnya ini. Tari orang yang sangat peka, mungkin karena mereka sudah berteman sejak duduk di bangku SD.

"Aku bingung Tar harus gimana." Jawabnya dari balik buku.

Tari memegang bahu Laras, "Lo gak mau coba ke psikiater lagi ras?" Tanyanya.

Laras menggeleng. Tari mengerti akan hal itu, ia tidak bisa memaksa sahabatnya.

"Oya Ras, gue mau ngomong sesuatu yang penting." Tiba-tiba Tari mengalihkan pembicaraan.

"Ngomong apa?"

"Lo tau gak dua kelompok cowok-cowok ini?"

Laras mengangguk mengiyakan. Ia sering mendengar cerita tentang anak-anak itu di kampus.

"Jangan pernah berurusan dengan mereka, mereka itu udah punya banyak korban." Tari menghela napasnya. "Seharusnya orang seperti mereka di keluarkan dari kampus."

Perfect, Hold My HandsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang