Hari ini sekolah sudah dimulai, aku yang pelupa ini harus berangkat lebih awal dari yang lain. Karena selain harus mengingat jalan menuju ke sekolah, aku juga harus mencari tempat yang cocok untuk bersembunyi.
Dan benar, ternyata aku adalah orang pertama yang datang ke sekolah, bahkan belum ada satu pun guru di sekolah ini.
Ku susuri koridor sekolah ini, mulai dari ruangan guru, laboratorium, sampai toilet pun aku sambangi.
Seakan tak bosan, kedua kakiku ini masih terus berjalan. Hingga aku kembali berada di depan ruangan yang bertuliskan 'ruang 1'. Ku raih handle pintu yang terlihat tidak dikunci itu dan benar saja.
Ruangan yang dalamnya sangat berantakan ini seolah sedang menggambarkan hidupku yang memang belum pernah tertata rapi, rasanya miris sekali jika masih berada dimasa itu.
Aku menarik sepasang meja dan bangku, sambil duduk aku membuka tasku, aku meraih benda yang sering ku bawa dalam Tas. Ku baca beberapa kali, kemudian aku melihat terjemahannya.
Tetes air mata mulai membasahi kedua pipiku, bukan karena tersentuh dengan apa yang ada didalam terjemah. Melainkan aku merasa perutku sakit, tapi rasa sakitnya bukan seperti sakit mag.
Beberapa menit berlalu, sakit perutku berangsur-angsur hilang. Beberapa guru dan siswa pun juga mulai berdatangan.
Ah, aku tidak suka suasana asing ini. Semuanya terlihat sangat berbeda dimataku. Orang-orang baru, lingkungan baru, perilaku dan kebiasaan mereka yang berbeda membuat aku malas untuk berbaur dengan mereka.
Aku menjauh dari kerumunan siswa, mencari tempat tersepi yang bisa aku singgahi.
Tapi sayangnya sekolah ini terlalu ramai, aku tidak menemukan tempat yang sepi itu. Kalau sudah seperti ini, apalagi yang bisa ku lakukan?
Aku berjalan ke arah parkiran, disana tempat yang sepi. Meski disana tidak nyaman, karena pasti ada banyak kendaraan siswa lain yang memenuhi parkiran, ditambah motor yang aku bawa sekarang berada dibarisan belakang.
Ah, inilah hal yang tidak menyenangkan jika datang ke sekolah terlalu awal.
Belum lama aku duduk di atas motorku, suara pemberitahuan dari pengeras suara terdengar.
"Seluruh Siswa-siswi baru SMK NEGERI SATU PETA, dimohon untuk segera berkumpul di lapangan. Akan ada informasi mengenai pembagian kelas berdasarkan jurusan masing-masing dan beberapa informasi lainnya yang akan disampaikan oleh kepala sekolah. Demikian informasi yang dapat Saya sampaikan, terima kasih atas perhatian dan kerja samanya."
Walau enggan, ku paksakan diriku kembali ke sana, mendekati kerumunan orang-orang asing itu.
Barisan paling belakang adalah barisan yang paling banyak disukai siswa-siswi, termasuk aku. Ya, disinilah aku, dibarisan paling belakang.
Lima belas menit berlalu, tapi kepala sekolah masih terus menjelaskan tentang sekolah ini, apa saja peraturannya, dan semua syarat yang berlaku selama kami menempuh pendidikan di sekolah ini.
Rasanya panas terik matahari sudah semakin menyengat ubun-ubunku, aku khawatir aku tidak mampu menahan diriku lebih lama lagi.
Saat sedang lemas-lemasnya menahan panasnya terik matahari, seorang siswa bertubuh tinggi menepuk bahu kananku, jelas saja aku langsung menoleh ke arahnya.
Aku tidak tahu sejak kapan dia ada di belakangku, tapi ya sudahlah, bukan urusanku.
Tapi sepertinya aku tahu siapa dia, ya hanya sekedar tahu. Saat pendaftaran sekolah beberapa hari yang lalu, aku tidak sengaja melihatnya diparkiran sekolah bersama seorang gadis.
"Kalau nggak kuat, ke UKS sana. Nanti ngerepotin yang lain kalau pingsan di sini." Ujarnya dengan gamblang.
Kenapa ya? Siswa yang satu ini begitu menyebalkan dimataku?
Aku adalah orang yang paling tahu dengan kondisi tubuhku. Kalau aku masih memutuskan berdiri di sini, itu artinya aku masih sanggup.
Aku berbalik badan, menghadap sepenuhnya ke arah siswa bermulut rawit ini. Aku sudah menahan emosiku di rumah sejak dua hari yang lalu, dan hari ini kebetulan sekali ada orang yang bisa aku jadikan pelampiasan emosiku.
Tapi sayangnya, belum sempat aku memberinya kalimat ajaib. Siswi di depanku tadi mendorong tubuhku ke arah siswa mulut rawit ini, ah sial sekali.
Beruntungnya, siswa itu tidak mencuri kesempatan. Dia sedikit mundur dan kedua tangannya memegang kedua lengan atas milikku sebagai penopang.
Dan sayangnya lagi, saat aku akan protes pada siswi di depanku tadi, aku baru menyadari satu hal. Dia bukannya sengaja mendorongku, karena ternyata dia pingsan dan itulah mengapa tubuhku yang tanpa aba-aba ini langsung terhuyung ke arah siswa mulut rawit ini.
Beberapa siswa berlari menghampiri siswi itu dan sudah pasti membawanya ke ruang UKS.
Oh baiklah. Karena sudah kepalang malu berada di dalam posisi ini, aku memberinya kode untuk melepaskan tangannya dari lenganku melalui mata.
Tapi dengan bodohnya dia tidak melihat kode dari mataku. Menyebalkan.
"Masih kuat, kan?" Tanya siswa yang lainnya padaku, aku tidak kenal tapi kurasa dia adalah anggota OSIS.
Aku mengangguk mengiyakan. Apakah aku terlihat sangat pucat? Sampai-sampai dia menanyaiku seperti itu.
"Nggak, Caca bohong, Kak. Dia udah lemes dari tadi."
Dari siapa siswa mulut rawit ini tahu namaku? Nametag? Tidak mungkin, seragam kami saja belum dibagikan, jelas saja atribut yang lain juga belum dibagikan.
"Kamu sebagai temannya, kenapa nggak bawa dia ke UKS? Udah sana temenin dia ke UKS."
"Kenapa nggak Kakak aja yang bawa?"
"Saya ada urusan lain, udah diujung ini." Ujar anggota OSIS itu sambil memegang perutnya.
Aku terus memperhatikan anggota OSIS itu sampai tubuhnya tidak terlihat karena masuk ke dalam toilet. Wajahnya seperti tidak asing dimataku. Apakah kami pernah bertemu?
"Tuh, dengerin. Ayo ke UKS." Ujar siswa mulut rawit ini sambil menarik pergelangan tanganku.
"Nggak perlu. Masih kuat kok." Ku tolak pelan ajakannya, rasanya tenagaku tidak akan cukup jika ku habiskan untuk mengomelinya.
"Ya udah." Putusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healed
Non-FictionKisah ini membosankan. Benar, kisah ini membosankan bagi siapapun yang (tidak) pernah mengalaminya. Tidak banyak perasaan bahagia didalam kisah ini, karena tawa tak pernah benar-benar ada bagi si tokoh utama. Silahkan baca lebih lanjut ➡️