Berbulan-bulan aku tinggal di rumah ini, tapi masih saja Ayah dan istrinya seolah menganggap aku adalah orang asing.
Mereka tidak pernah bertanya bagaimana hari-hariku di sekolah, berapa nilaiku, dan apakah aku memerlukan bantuan mereka.
Percayalah mendapat teguran dari orang tua adalah nikmat yang jarang disyukuri oleh sebagian anak-anak, ya... meski memang banyak anak yang tidak suka dimarahi orang tua mereka.
Tapi diabaikan seperti ini, padahal tinggal di satu rumah yang sama adalah hal yang lebih tidak menyenangkan. Dan juga hal yang paling tidak aku sukai.
Terkadang aku iri melihat teman-teman yang lain masih mendapat teguran dari orang tuanya, sedangkan aku? Tidak perduli apapun cara yang kulakukan untuk menarik perhatian Ayah, ia tidak akan pernah menyadarinya.
"Kamu di rumah sendirian berani, kan?" Tanya Ayah yang sudah sedang berdiri di depan pintu kamarku.
"Berani sih, emang Ayah mau ke mana?"
Kulangkahkan kaki mendekat ke arah Ayah, bukan untuk menyalaminya, aku hanya ingin menutup pintu kamarku.
"Ke rumah nenek, kamu di rumah aja. Nggak usah ikut." Ucap Ayah sambil berjongkok membenarkan jaket yang dipakai Adnan.
"Aaa gitu, ya udah. Lagian tugas sekolahku juga banyak, nggak bisa ditunda." Jawabku sambil menutup pintu kamar.
Padahal sebenarnya aku sudah menunda mengerjakan tugas sekolahku sejak tadi, yaaa beginilah aku ketika sedang malas atau memang semua pelajar seperti aku?
Setelah mereka benar-benar pergi, aku keluar dari kamar. Melihat ke arah luar dari jendela ruang tamu, ternyata diluar sangat sepi untuk ukuran siang hari.
Sepinya lingkungan perumahan ini, sepertinya tidaklah lebih sepi dari sepinya hidup yang aku jalani saat ini.
Hidup bersama anggota keluarga kecil yang lengkap, tanpa aku bedakan kandung atau pun tiri. Ternyata tidak menjamin aku juga tidak dibeda-bedakan.
Terlalu banyak berpikir membuat rasa laparku meningkat, aku berjalan ke arah meja makan dan berharap masih ada makanan yang bisa aku makan.
Setelah selesai makan, aku kembali ke kamar. Sekedar menggulir beranda akun sosial media milikku, sampai akhirnya perhatianku teralihkan pada notifikasi sebuah pesan dari nomor yang tidak aku kenal.
+62-858-xxxx-xxxx: Ca, mau tanya. Boleh?
Iyaa, siapa yaa?
+62-858-xxxx-xxxx: Ranggala
Ah, benar. Aku lupa kalau Ranggala dan aku berada di kelas yang sama. Haah... Inilah akibatnya jika tidak mudah berbaur dengan lingkungan sekitar.
Oh, ya udah tanya aja.
+62-858-xxxx-xxxx: besok jadi ekskul? Atau libur?
Kurang tau, tunggu kabar dari pembimbing aja yaa:)
+62-858-xxxx-xxxx: Oke, thanks Ca.
Iyaa
Setelah itu percakapan antara aku dan Ranggala berakhir begitu saja.
Dalam kisah ini, aku harap kalian tidak salah paham dan tidak berharap lebih antara aku dan Ranggala. Karena pada kenyataannya, selama di lingkungan sekolah bahkan didalam kelas pun, aku dan Ranggala tidak pernah saling menyapa satu sama lain. Kami hanya bicara saat butuh.
Tanpa kusadari, aku tertidur setelah tadi kembali menggulir beranda akun sosial mediaku selama beberapa saat, hingga kemudian ketika terbangun ternyata waktu sudah menunjukkan hampir maghrib, ternyata cukup lama juga aku tertidur hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Healed
Non-FictionKisah ini membosankan. Benar, kisah ini membosankan bagi siapapun yang (tidak) pernah mengalaminya. Tidak banyak perasaan bahagia didalam kisah ini, karena tawa tak pernah benar-benar ada bagi si tokoh utama. Silahkan baca lebih lanjut ➡️