[Lima] Lelah

209 36 0
                                    

Hadit berjalan ke arah Radit yang menuntunnya ke arah belakang sekolah.

"Lo ngapain disini?!" Hadit berhenti saat Radit juga berhenti di sebuah gudang.

"Gue cuma mau liat keadaan lo"

Hadit menatap bingung Radit di hadapannya, lalu Hadit memijat keningnya yang tiba-tiba pening.

"Lo gak sekolah?"

Radit tersenyum, ia sangat senang Hadit menanyai tentang dirinya.

Radit menggeleng, "gue lagi ngisi formulir buat keberangkatan gue ke luar negeri, makanya gue gak sekolah. Gue seneng lo nanyain gue"

Hadit menghembuskan napasnya, "tapi lo make seragam?"

Radit menatap dirinya yang memakai seragam.

"Sebenernya gue masuk ke sini diem-diem. Jadi gue harus pake seragam biar gak dicurigai"

"Alasan lo gak etis"

Radit menatap kosong kearah Hadit.

"Hadit, gue tau perasaan lo sekarang"

Hadit menatap Radit tidak minat, ia melihat setiap gerak-gerik yang Radit ciptakan.

Radit memegang dadanya, "disini kosong" tunjuknya dan menatap Hadit, "gue gak tau seberapa dalam lo nyimpen semua ini. Tapi, gue tau gimana rasanya sekarang"

"Hadit, mulai sekarang gue bener-bener bakal pergi" Hadit menatap Radit dengan alis yang diangkat.

"Hadit, setelah lo inget semua ini, gue cuma mau bilang. Bukan salah lo, gue udah semaksimal mungkin buat nebus rasa sakit hati lo. Sampai saat itu tiba, gue akan tetap ada di samping lo, sampai kapan pun"

"Lo!" Hadit menatap kembali Radit dan menghela napasnya, "padahal lo cuma ke luar negeri. Tapi kayak mau kemana aja" gumam Hadit.

Radit tersenyum tulus, sangat-sangat tulus sampai Hadit bisa merasakan kehangatan di hatinya. Rasanya nyaman, sangat-sangat nyaman.

Hadit tidak menyadari bahwa itulah hangat dari kasih sayang seseorang.

"Gue balik dulu ya Hadit, inget lo harus istirahat yang cukup. Jangan terlalu dipikirin perkataan orang lain tentang lo dan gue. Karena kita emang beda, lo gak bisa jadi gue dan sebaliknya gue gak bisa jadi lo. Hadit lo harus nepatin janji lo, jangan ngerokok dan selalu makan-makanan yang baik buat lo"

Hadit hanya menatap Radit.

Radit tersenyum tipis, lalu pergi dari hadapan Hadit. Saat Radit sudah pergi, kepala Hadit sakit.

Sangat sakit, sampai-sampai ia tidak bisa menahan berat badannya. Darah keluar dari hidung dan mulutnya.

"Kenapa ini?"

Hadit tidak bisa berbicara dan terus mengeluarkan darah. Ia terjatuh, hal terakhir yang ia ingat adalah teman-temannya yang berlari ke arah dirinya dengan tatapan khawatir dan panik. Tatapan yang tidak pernah ia lihat dari satu orang pun.

♤♤♤

"Gimana keadaan anak saya?" Ucap Harun saat tiba di rumah sakit dan melihat wali kelas Hadit bersama teman-temannya.

Hadit yang jatuh dan berlumuran darah dari dalam tubuhnya, langsung membuat seisi sekolah heboh. Karin memberitahu wali kelas Hadit, sedangkan Jordan menelepon ambulance

Zakki menelepon keluarga Hadit, dan seperti itulah mereka sampai di rumah sakit.

"Kalian langsung ke sekolah lagi, ini masih jam pelajaran, terimakasih sudah mau membantu Hadit, kalau tidak ada kalian mungkin Hadit..."

"N-nggak, saya mau disini pak" sedari tadi air mata Karin tidak berhenti menetes, ia terus menangis melihat Hadit yang dalam keadaan pingsan terus mengeluarkan darah dari mulutnya. Jordan dan yang lainnya pun tidak bisa menyembunyikan kesedihan mereka dan meneteskan air mata.

Hal ini sudah mereka lihat sebelumnya, ketakutan itu menyelimuti mereka lagi sekarang.

"Hadit akan baik-baik saja, sekarang kalian ke sekolah lagi, biar bapak yang disini, lagipula sudah ada orang tua Hadit. Kalian bisa kembali kemari kalau sudah pulang sekolah"

Mau tidak mau, teman-teman Hadit meninggalkan rumah sakit dan kembali ke sekolah mereka.

Olivia terus menangis dalam dekapan Harun, saat menerima telepon jika Hadit terjatuh dan berlumuran darah, Olivia hampir pingsan dibuatnya, ia tidak bisa melihat anaknya seperti ini untuk kedua kalinya.

"Bapak, ibu saya akan ke depan sebentar. Jika ada apa-apa bisa panggil saya" ucap wali kelas Hadit.

"Terimakasih banyak bapak sudah mau menunggu disini" wali kelas Hadit mengangguk dan pamit untuk ke depan rumah sakit.

"Pah... Hadit gimana pah?" Isak tangis Olivia tidak bisa dihentikan. Harun sedari tadi juga meneteskan air matanya.

"Tuhan... jangan lagi, jangan ambil Hadit dari kami" Harun terus menangis dalam diam.

"Pah.... Hadit..., mamah gak kuat" Olivia luruh menangis melihat ruang ICU. Harun ikut berjongkok dan menguatkan istrinya.

"Mamah harus kuat yah? Papah yakin Hadit bisa melewati ini semua, demi kita mah"

Olivia hanya mengangguk ia tidak kuat melihat ruang ICU yang ramai dengan para dokter.

"Sekarang yang dibutuhkan Hadit adalah kekuatan kita, ayo kita beroda mah untuk keselamatan Hadit"

Olivia mengangguk dan duduk menghadap ruang ICU. Ia menunduk dan berdoa dalam hati.

"Tuhan, jika memang ini adalah balasan dari segala dosa yang saya buat. Saya tidak kuat untuk menopangnya. Tidakkah engkau terlalu memberikan hamba cobaan yang sangat besar? Hamba minta, tolong selamatkan Hadit. Cukup satu kali saya kehilangan seseorang yang saya sayangi. Jangan untuk kali ini. Saya berjanji akan menjaga anak saya dan selalu membuatnya bahagia"

Dokter keluar dari ruang ICU. Olivia berdiri bersama dengan Harun.

"Bagaimana dengan anak saya dok? Apakah..."

"Tenang pak, anak bapak baik-baik saja. Jantungnya tiba-tiba saja bocor, saya juga tidak tahu penyebabnya apa. Tapi setelah operasi saya pastikan anak bapak dan ibu akan baik-baik saja"

Harun dan Olivia bernapas sedikit lega.

"Kalau begitu, lakukan operasi dok"

Dokter itu pun mengangguk lalu membawa Hadit yang tidak sadarkan diri ke ruang operasi.

"Sekali ini saja, saya ingin menembus semua kesalahan saya kepada anak saya"

■■■■■■

Hilang || HARUTO (Short story) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang