Karena terburu-buru, Fitri tidak memerhatikan langkahnya hingga ia tersandung lubang di jalan aspal. Untung saja ia dapat menjaga keseimbangan tubuhnya, tetapi ponsel yang sedang sibuk ia gunakan itu kini tergeletak di atas aspal. Fitri memekik, lalu segera mengambil ponselnya dan meminta maaf pada pembicara di panggilan teleponnya. Ia kembali berjalan cepat menuju tempat tujuannya. Orang di panggilan teleponnya terdengar tidak sabar, sehingga Fitri perlu mengatakan kata-kata penenang padanya, bahwa ia tidak akan mengecewakannya atau membuatnya kalah.
Panggilan telepon itu berakhir ketika Fitri telah berdiri di tempat tunggu terminal bus yang ramai oleh para pekerja subuh-subuh. Ia menyipitkan mata, memeriksa keadaan layar ponselnya. Terdapat keretakan kecil tak kasat mata ketika ia meraba-raba layar ponsel yang baru dibayar lunas kemarin itu. Ia mendecakkan lidah, ada saja kesialan yang menimpanya di pagi buta ini. Sebenarnya Fitri sudah hapal sekali dengan jalanan aspal yang rusak dan berlubang itu karena setiap hari ia melewatinya. Namun kesialan tetap saja menimpanya. Seharusnya ia memang jauh lebih hati-hati, pekerjaan dan jalan berlubang itu bukan sesuatu yang bisa dikendalikan oleh orang sepertinya.
Fitri menguap lebar, tidak bisa menyembunyikan kantuk yang menyerangnya. Hari masih gelap dan tidak ada yang memedulikan betapa kacau kondisinya, karena semua orang yang berada di sini sama sepertinya. Lelah, mengantuk, setengah sadar, membayangkan diri masih di atas kasur yang empuk, sedangkan pada kenyataannya mereka harus menunggu keberangkatan bus pertama. Demi menghidupi diri dan keluarga, manusia rela bangun pada subuh yang dingin dan bekerja jauh dari tempat tinggalnya. Bangun pagi sih hal yang kecil bagi mereka, bahkan omelan atasan sudah menjadi sarapan bagi mereka jika datang terlambat ataupun membuat kesalahan. Tahan banting, itu kuncinya.
Omong-omong soal tahan banting, orang yang menelpon Fitri sekaligus kerap membuatnya selalu ingin membanting benda-benda adalah atasannya di kantor. Atasannya senang sekali menghantui karyawannya dengan menelpon untuk menagih dan meneror proyek yang sedang dikerjakan bawahannya. Aku harus trending nomor satu ngalahin si itu, terornya setiap kali menelpon atau bertemu. Dia tidak pernah repot-repot mengatakan kita, dan hanya menggunakan aku sebagai tujuan dari proyek yang dikerjakan. Fitri tidak pernah mengelak, atau lebih tepatnya karena ia tidak punya kesempatan, karena ia memang bekerja untuk memenuhi keinginan atasannya dan mendapatkan uang sebagai balasannya. Simbiosis mutualisme yang melelahkan.
Bus pertama di subuh yang penuh kantuk itu datang. Semua orang yang menunggu berebutan untuk mendapatkan kursi. Fitri berhasil mendapatkan kursi dekat jendela yang ia buka sedikit, angin menembus melalui celah yang terbuka dan menampar ringan wajahnya. Angin yang berhembus berhasil menghilangkan sedikit kantuknya, membuat kedua matanya kini berair. Sabar.. sabar.. Sebentar lagi weekend.. hiburnya dalam hati. Weekend nanti akan ia habiskan dengan malas-malasan dan pergi sebentar ke tukang servis ponsel, itu pun jika tidak ada teror dari atasannya di weekend nanti. Semoga saja.
***
Fitri berjalan lunglai dengan tumpukan map dipelukannya. Hasil pekerjaannya itu tidak sesuai dengan pendapat atasannya. Maka seharian ini, ia dan anggota timnya mencoba untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan proyek mereka, tetapi delapan jam di kantor ternyata tidak cukup. Ia pun membawa pulang pekerjaannya dan sudah dipastikan weekend ini akan dihabiskan untuk bekerja, bekerja, dan bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Manusia dan Masalah (Kumpulan Cerita Pendek)
Short StoryTentang Manusia dan Masalah. Penulis menulis cerita-cerita pendek dengan berbagai macam masalah yang dihadapi para tokoh, mulai dari hal sepele hingga berat. Selamat membaca.