Dua Amplop Bayaran

15 2 0
                                    

Aku mematutkan diri di depan cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mematutkan diri di depan cermin. Sosok kurus kering menatapku dalam tatapan sendu kurang tidur. Aku menggosok-gosok mataku, membersihkan belek, dan memakai sepasang kacamata kesayanganku. Aku meraih krim rambut di atas meja dan membuka isinya. Sial, sudah hampir habis. Aku mengorek sisa-sisa krim dengan ujung telunjukku dan mengaplikasikannya pada rambut keriting yang tak pernah mau lurus.

"Lu mau diapain juga bakalan tetep jelek, bang."

Aku menoleh dan melihat adik-tanpa-sopan-santun itu berdiri bersandar pada tiang pintu. Dia memakai baju kesayangannya yang dulunya bergambar beruang, tetapi motif itu telah memudar karena terlalu sering cuci-pakai.

"Yang sopan napa sama abang tuh, ketuk pintu kek, " ujarku kembali bercermin.

Dia tertawa sinis. "Apa yang mau diketuk coba, kamar kaga punya pintu juga."

Ah, ya, aku lupa. Kamarku tidak memiliki pintu, yang ada hanyalah lubang besar persegi yang ditutupi oleh gorden batik. "Ya ketuk dinding kek."

"Bang, apa lu nggak takut bikin penonton lain kebauan gitu?" Dia mengalihkan pembicaraan, "Lu kan kaga mandi, pasti bau asem deh."

"Kan ada ini, " aku mengambil minyak wangi dalam botol roll-on dan mengoleskannya pada sekujur tubuhku, "masih banyak nih, lu bisa pake, " aku menyerahkan botol kecil itu pada adikku, "gue berangkat ya, jangan lupa pancing lagi tuh air sumur biar bisa naik."

Adikku mendengus jengkel. "Gue lagi, gue lagi! Males ah, bang.."

"Terus mau lu yang ngegantiin gue?" Aku menyipitkan mataku, terlihat sekali dari ekspresinya, adikku pasti tidak akan mau. "Kan kita udah sepakat, gue yang cari duit, lu yang jaga rumah. Bye!"

Aku menyampirkan ransel hitamku dan melangkah keluar kamar. Sekilas aku melirik televisi kembung yang sedang menayangkan acara talkshow di saluran terkenal. "Nanti abang muncul di tv, jangan lupa nonton ya."

"Ogah!" Seru adikku, mengeluyur pergi masuk ke kamarnya.

"Tv nggak ditonton tuh matiin, " aku meraih remote dan mematikan televisi. Aku beranjak keluar rumah dan berjalan di antara gang-gang sempit yang sudah aku lalui selama lebih dari dua puluh tahun ini. Setelah kira-kira berjalan selama lima belas menit, aku berdiri menunggu di sebuah halte bus. Halte bus itu cukup ramai, banyak pria maupun wanita dari kalangan usia berdiri dalam diam, menunggu kedatangan bus jurusan mereka.

Bus berwarna merah terang itu datang dan para penumpang bersiap untuk mendapatkan tempat duduk. Bus berhenti tepat di depan dan pintu pun membuka. Dengan buru-buru, aku menaiki bus tanpa peduli dengan orang yang lebih tua di sampingku. Aku beringsut duduk di barisan kedua dan langsung membuka jendela sedikit. Angin sepoi-sepoi yang sudah tidak segar lagi itu menerpa wajahku yang berkeringat.

Perjalanan menuju tempat tujuan itu memakan waktu kurang lebih satu jam. Aku menghabiskan waktu dengan menggunakan ponselku untuk browsing. Ini kali pertamaku, sehingga aku mencari tahu pengalaman-pengalaman orang lain yang pernah mengikuti acara tersebut. Di salah satu blog yang aku temui, orang itu bercerita bahwa kau perlu berpenampilan heboh agar menjadi pusat perhatian. Aku meringis sedih, aku tidak akan bisa menarik perhatian, karena penampilanku ini sangat terlalu biasa.

Tentang Manusia dan Masalah (Kumpulan Cerita Pendek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang