Jika yang lain menyukai weekend, sebaliknya Gisha membenci hari sabtu dan minggu. Sabtu dan minggu adalah hari yang tidak pernah ingin Gisha hadiri. Namun, berbeda kali ini. Rumah yang ditempatinya terlihat kosong dan sunyi. Tidak, biasanya juga akan kosong dan sunyi. Hanya saja biasanya ada dua makhluk didalamnya, Gisha dan Makha, dan sedikit keributan. Makha adalah suaminya, satu-satunya orang yang bisa Gisha jadikan suami. Pun begitu dengan Makha.
Seharusnya Gisha senang karena tidak ada Makha di rumahnya. Dia tidak perlu mendengarkan amarah Makha. Gisha berusaha menepis rasa khawatirnya. Lagi pula ini bukan pertama kalinya Makha tidak pulang ke rumah. Gisha mengecek ponselnya, tidak ada pesan masuk dari Makha. Gisha lupa, bahkan Makha tidak menyimpan nomor Gisha diponselnya. Gisha makin keras mengigit bibir bawahnya ketika nalurinya berkata bahwa Makha sedang bersama Alessa. Buru-buru Gisha mengambil air minum dan meneguknya. Siapa Makha pantas untuk dikhawatirkan?
Suara mobil membangunkan Gisha dari tidurnya. Ya, sejak tadi Gisha memikirkan dimana keberadaan Makha hingga tanpa sadar dirinya tertidur di meja makan. Gisha menoleh ke jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Gisha bangkit dari duduknya ketika Makha datang dan membuka pintu. Gisha menatap Makha, meminta jawaban kenapa dia baru pulang malam ini. Bukan jawaban yang dia dapat, Makha malah melemparkan jasnya kepada Gisha.
Makha mendengus tau apa yang dimaksud Gisha, "Lain kali mungkin aku bakal pulang lebih malam atau mungkin nggak pulang," Ujarnya, lalu menuju ke kamarnya.
"Kha!" Ucap Gisha sebelum Makha berhasil memasuki ruang kamar. Makha menoleh.
"Boleh aku minta kamu batasin hubungan kamu sama Alessa?" Ucap Gisha hati-hati namun berhasil membuat mata Makha menatap tajam kearah sang lawan bicara.
"Kha, aku tau. Kamu lebih dulu sama Alessa. Tapi kalau sampai mamah papah tau hubungan kalian, gimana?" 6 jam yang lalu, selagi Gisha menunggu kepulangan Makha, ia mendapat pesan dari Ibu mertuanya yang mengatakan bahwa temannya melihat Makha bersama Alessa di sebuah restaurant gaya Italia.
"Aku nggak lagi salah dengar kan Sha? Kamu nyuruh aku jauh dari Alessa? Sha! Kamu kenal aku baru tahun lalu dan sekarang kamu mau ngatur-ngatur hubungan aku dengan Alessa?"
"Dari awal, aku udah pernah bilang, harusnya hari itu kamu nggak pernah datang!" Ucap Makha lagi mengingat hari yang selalu dikenang Makha sebagai hari terburuknya.
"Kamu selalu gini Kha. Kamu selalu ngerasa aku yang salah dari awal, kamu yang paling tersakiti di sini. Tapi pernah kamu posisiin diri kamu jadi aku? Aku juga capek Kha sama hubungan ini, bukan cuma kamu. Aku juga ngerasa sakit Kha,"
Makha mengepalkan tangannya dan membenturkannya ke pintu kamar menimbulkan dentingan suara yang keras, Gisha mengedipkan matanya, kaget. Lalu, menghela nafas panjang. Gisha tau, Makha akan marah. Gisha selalu salah di mata Makha. Berada dihubungan pernikahan tanpa dilandaskan cinta selama 6 bulan ini, cukup membuat hidup Gisha dan Makha dibuat berantakan.
"Dan bisa kamu bayangin gimana posisi kamu kalau jadi Alessa, Sha?! Dia masih nunggu aku sampai hari ini. Padahal jelas aku udah nyakitin dia dengan menikah sama kamu. Harusnya kamu sadar siapa kamu!" Ucap Makha, lalu menutup pintu kamarnya dengan keras.
Hari itu, memang seharusnya Gisha tidak datang ketika diundang oleh orang tua Makha. Harusnya Gisha lebih bisa membujuk Ibunya agar tidak menghadiri undangan orang tua Makha. Tapi, hari itu, Gisha gagal ketika ia melihat surat diagnosa penyakit yang diderita Ibunya. Gisha tidak bisa menolak ajakan Ibunya. Jadi, Gisha memutuskan untuk mengikuti kemauan Ibunya untuk mendatangi kediaman keluarga Makha. Padahal Makha sudah bilang untuk tidak datang dan Gisha mengingkari itu. Berawal dari situ, semuanya berakhir seperti sekarang. Gisha dan Makha yang dijodohkan. Alessa yang menjadi korbannya. Benar kata Makha, andai hari itu Gisha tidak datang. Mungkin hari ini tidak akan ada persilihan diantara mereka. Makha yang masih akan tetap menjadi milik Alessa seperti apa yang diinginkannya. Semua memang salah Gisha kan?
------------------------------------------------------------------------------
Gisha menopang tangannya di dagu, ragu-ragu untuk masuk ke dalam kamarnya... dengan Makha. Rumah yang dibeli orang tua Makha sebagai hadiah pernikahannnya hanya memiliki satu kamar. Sebenarnya, ada satu kamar lagi yang diisi alat-alat olahraga Makha. Oleh karena itu, mau tidak mau Gisha harus berada dalam kamar yang sama dengan Makha. Gisha menarik napas panjang. Sejak Makha pulang sampai pukul 11 dini hari, Makha belum juga makan malam atau mungkin dia sudah makan malam diluar. Seharusnya Gisha tidak perduli soal ini. Gisha menarik napas, sebelum akhirnya memantapkan diri untuk membuka pintu.
"Maaf..." Satu kata yang selalu Gisha ucapkan jika terjadi perselisihan antara dia dan Makha, karena Gisha akan selalu memilih mengalah.
Makha sedang duduk di ruang kerjanya, sibuk dengan lembaran kerja, menoleh ketika kata itu keluar lagi dari mulut wanita didepannya yang sedang duduk disofa tidurnya sembari menundukkan wajahnya. Mungkin sudah ribuan kali Gisha meminta maaf kepada Makha. Makha bosan.
"Ada kata selain maaf yang bisa kamu ucapin Sha?"
Gisha menggelengkan kepalanya, "Maaf.. soal tadi, nggak seharusnya aku ngomong kayak gitu,"
"Udah lah Sha! Tidur! Aku lagi malas ribut." Makha menutup file yang sedang dibacanya dengan keras, lalu pergi keluar kamar meninggalkan Gisha.
Makha pasti masih marah dengannya. Setelahberanjaknya Makha dari kamar, Gisha memilih menidurkan dirinya di sofa panjangyang dibeli Makha ketika tau bahwa rumah ini hanya memiliki satu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seatap
ChickLitMakha bilang Gisha itu petaka, takdir buruk yang seharusnya tidak pernah bertemu. Dan kini harus berakhir dalam seatap yang sama.