05

95 8 1
                                    

Seito duduk termenung di tepi ranjang, hawa kamarnya terasa mencekam, menciptakan suasana yang lebih mirip kuburan ketimbang ruang pribadi. Seina telah menghilang hampir dua minggu lamanya tanpa sekalipun memberi kabar. Hati Seito berdegup tak menentu, terjepit di antara rasa khawatir akan keselamatan adiknya, dan ketakutan akan akibat dari keterlibatan dirinya dalam kaburnya Seina ke Jepang-setelah keduanya berkomplot menggadaikan tanah warisan dari sang nenek.

"Ito! Kesini sebentar." Suara tegas Papa Fathlim dari ruang keluarga membuyarkan lamunan pria berumur 27 tahun itu. Getaran ketakutan melanda tubuhnya saat ia bersiap-siap untuk menghadapi pertanyaan yang tak terhindarkan dari sang ayah.

Seito bergerak ragu-ragu menuju suara panggilan yang menantang itu. Setiap langkahnya ditempuh dengan ketegangan dan kekhawatiran. Di ruangan itu, ayah dan ibunya sudah menunggu untuk membicarakan hal yang berulang-ulang terkait kepergian Seina.

"Kamu serius tidak tahu kemana Nana pergi?" tanya Papa Fathlim dengan serius. Sejak kepergian Seina, Seito telah didera pertanyaan ini lebih dari sepuluh kali sehari, membuat rasa ketidaknyamanan melintas di dadanya setiap kali mendengarkan pertanyaan tersebut.

"Aku beneran nggak tahu," jawab Seito berbohong, tatapannya seolah menutupi kegelisahan dalam dirinya.

Papa Fathlim menatap Seito dengan tajam penuh intimidasi, merasa bahwa anak sulungnya itu mengetahui lebih banyak dari apa yang ia tunjukkan. Keputusasaan yang terpancar dari sorot matanya-nyatanya-tidak membuat Seito goyah. Pria itu tetap berusaha menjaga rahasia tentang keberadaan adiknya.

"Jujur saja, Nak. Kamu jangan menyembunyikan apa pun," desak Papa Fathlim dengan suara penuh keingintahuan.

Seito merasa tekanan semakin bertambah di dadanya ketika tatapan tajam dari Papa Fathlim menerobos ke dalam batinnya. Meskipun terombang-ambing antara keinginan untuk menutupi kebenaran dan kebutuhan untuk jujur kepada keluarganya, namun ia tetap memilih menyimpan rahasia tentang keberadaan adiknya. Bagaimanapun, ia sudah membuat kesepakatan dengan Seina.

"Nggak! Aku mau ngajar, nanti telat," jawab Seito singkat, ia segera pergi meninggalkan orang tuanya yang masih berada di ruang keluarga.

Sedangkan Mama Sari-dengan tatapan yang terpaku pada kehampaan di depannya, ia meratapi kesalahannya yang telah menyebabkan pelarian putri bungsunya. Sepucuk surat yang ditinggalkan Seina tidak memberi petunjuk apa pun tentang kemana gadis itu pergi. Suasana di ruang keluarga terasa terkungkung dalam keheningan yang semakin dalam, memperlihatkan keretakan yang semakin jelas dalam keluarga yang kini dipenuhi oleh misteri tak terpecahkan dari hilangnya Seina.

"Kita sudah nanya keluarga, kerabat, dan temen-temennya ... tapi tak ada satupun yang tau di mana Nana. Sepertinya kita memang harus lapor polisi," kata Mama Sari dengan suara putus asa, seiring dengan air mata yang merembes di pipinya.

Mendengar permintaan sang ibu, Seito langsung melompat keluar dari kamarnya sedetik setelah menutup pintu, membuat kecurigaan sang ayah kian memuncak karena gelagatnya yang cukup aneh.

"Udahlah, Ma. Nana itu udah gede, nanti pulang sendiri kok. Di suratnya juga tertera kalau dia pergi cuma mau nenangin diri aja. Mama yang tenang, ya ..." ujar Seito dengan eskspresi serius, berusaha meyakinkan wanita paruh baya itu dengan menegelus-elus pundaknya.

"Tuh kan?! Dari awal Nana hilang, kamu selalu tidak setuju kita lapor polisi. Jujur sekarang, kemana Nana pergi? Kamu pasti tahu sesuatu!" kata Papa Fathlim dengan wajah tak kalah serius, menyerang Seito dengan pertanyaan yang sama, hanya beda nada bicara saja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Victim Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang