Thanatos' Temptation

72 13 0
                                    

15 Agustus.

Saat ini, matahari telah terbenam, namun, keringat tetap bercucuran ketika diriku sedang menaiki tangga.

“Selamat Tinggal.”

Pesan darimu hanya meninggalkan sebuah kata, dan aku mengerti apa maksudnya.

Walaupun liburan nasional berlangsung di hari ini, tapi aku tidak dapat berlibur dari pekerjaanku. Aku mengambil barang-barangku dari tempat itu dan berlari ke apartemen kita.

Di saat aku sampai. Kulihat dirimu yang sedang berdiri di tepi atap gedung.

Matamu memancarkan aura suram.

Ini keempat kalinya, aku melihat dirimu yang mencoba untuk bunuh diri dengan melompat dari atas gedung ini.

Kau pernah berkata bahwa terdapat dua jenis manusia di dunia ini. Mereka yang mengikuti takdir untuk hidup—Eros. Dan juga yang mengikuti takdir untuk mati.

Hampir semua manusia termasuk ke dalam jenis pertama. Namun, engkau 100% termasuk yang kedua.

Aku juga tahu bahwa dirimu sudah dikendalikan oleh Thanatos sebelum kita berpacaran. Karena saat itu—sama seperti hari ini—dirimu mencoba untuk bunuh diri di hadapanku, aku juga yakin bahwa diriku akan menyelamatkanmu sama seperti saat itu.

Wajahmu imut, matamu bulat dan bibirmu mengembang, dan aku mencintai hal-hal itu. Dapat dikatakan kalau diriku mencintaimu dalam pandangan pertama.

Kau adalah malaikat untuk kehidupanku yang buruk ini. Aku sangat senang ketika kita dengan cepat akrab setelah hari itu. Kau menghilangkan rasa kesepian dalam hidupku.

Tapi, aku masih memiliki pertanyaan untukmu. Kenapa kau membiarkan diriku muncul di hadapanmu, seperti saat ini? Kupikir-pikir. Akankah bagusnya jika kau tidak memanggil diriku di saat kau ingin mencoba bunuh diri seperti biasanya? Bukankah kau bisa bunuh diri tanpa diganggu olehku… Namun, aku sadar. Aku adalah penyelamatmu ketika kau memiliki perasaan untuk mati.

Sama seperti saat ini, dari lubuk hatimu. Kau ingin aku menyelematkanmu.

Itulah yang membuatku berlari menaiki tangga, lalu mengambil kembali nafas yang sudah terbuang sesampainya di atap gedung.

Kunaikkan kepalaku dan melihat dirimu yang sedang berdiri di sisi lain pagar atap gedung ini.

“Tunggu.”

Kulompat pagar itu dan mencapai tepi gedung. Tanpa rasa takut karena di sebelahku adalah kematian. Diriku mengenggam tanganmu.

Dingin. Itu yang kurasakan ketika menggenggam tanganmu.

“Biarkan aku pergi.”

Kau mengatakan hal itu dengan suara indahmu. Aku juga mencintai suaramu, kau tahu.

“Mengapa kau terus-menerus melakukan hal seperti ini!?”

“Karena aku ingin mati. Aku ingin mati sekarang juga.”

“Kenapa?”

“Kematian sedang memanggilku.”

Kau pernah bilang bahwa dirimu bisa melihat dewa kematian. Dan itu adalah kemampuan langka bagi barang siapa yang dikendalikan oleh Thanatos.

“Itu tidak benar, itu tidak mungkin ada!”

“Kenapa kau tidak bisa mengerti!? Tolong mengertilah diriku.”

Kita sering mendebatkan hal ini. Pada akhirnya kau hanya marah dan menangis.

Kau pernah berkata bahwa Dewa kematian bisa menjelma menjadi siapa saja. Dewa kematian-mu adalah orang yang pernah dilihat olehmu dari dalam mimpi.

Kau melihat hal itu (yang tak bisa kulihat) seperti seorang gadis yang baru saja jatuh cinta.

Aku membenci ekspresimu itu.

“Jangan lihat dia. Lihatlah aku.”

“Tidak!”

Kau ingin melepaskan genggaman ini. Karena tidak mau itu, akupun meremas tanganmu dengan sangat kuat.

“Sakit.”

“Maafkan aku.”

Tapi itu salahmu, bukan? Kau menghiraukan perkataanku.

“Jika itu dia. Maka dia tidak akan melakukan hal ini padaku.”

Pandangan di sekitarku menjadi menghitam.

“Kenapa?”

Kenapa kau tidak mau melihat wajahku. Meski kau tahu aku sangat mencintaimu.

Sesuatu dari dalam hatiku berkata bahwa akan jadi sangat konyol jika aku cemburu pada sesuatu yang tidak mungkin ada. Tapi, itu tidak masalah jika aku dibilang konyol.

“Aku sudah cukup dengan ini,” katamu.

Aku juga.

“Aku sudah sangat lelah dengan ini.”

Aku juga.

“Aku ingin mati.”

“Aku ingin mati juga!”

Saat itu juga, kau menatapku. Dirimu tersenyum untuk pertama kalinya di hadapanku.

Ketika kulihat senyumanmu.

Warna hitam dari ujung pandanganku menjadi lenyap.

Tunggu dulu. Apakah ini berarti…

“Pada akhirnya kau paham, kan?” katamu.

“Yup, aku paham.”

“Ah, benarkah? Aku sangat senang.”

Ah, aku mengerti.

Alasan mengapa dirimu yang terus-menerus memanggilku ketika ingin bunuh diri, bukanlah karena kau ingin aku menolongmu.

Kau ingin mati bersamaku.

Dewa kematian milikku menjelma menjadi wanita ini.

“Baiklah, apakah kita harus pergi?”

“Ya, kita harus pergi.”

Kita saling mengenggam tangan. Kau dan aku.

Seperti saat kita yang ingin lari dari dunia yang menyedihkan ini. Kita pun berlomba di malam hari.

The Temptation Of ThanatosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang