Prolog: I Will

2.1K 230 37
                                    

Who knows how long I've loved you.

You know I love you still.

Will I wait a lonely lifetime.

If you want me to, I will.

---

Love you forever and forever.

Love you with all my heart.

Love you whenever we're together.

- I Will. The Beatles.

...

...

...

"Filantropi Prabaswara Catra, my Bae.."

Meski delapan tahun sudah kami lalui bersama, namun setiap kali mas Radit memanggil nama lengkapku, dan menatapku seperti ini, aku seperti merasakan tubuhku melumer.

Aku terpaku pada tatapan penuh binar cinta dari wajah seriusnya.

"Dalem mas.." Aku menjawab panggilannya menggunakan bahasa jawa.

Mas Radit tersenyum, aku membalasnya dengan senyum semanis mungkin.

Digenggamnya kedua tanganku dan diremas kuat, seakan ia membutuhkan kekuatan untuk menyampaikan sesuatu yang penting.

"Mas sayang sekali sama kamu."

"Dari pertama mata ini melihat ke arahmu yang lebih tertarik sama alat peraga planetarium."

Aku terkekeh, namun sama sekali tidak memberikan sangkalan pada kalimatnya yang seribu persen salah itu.

Aku juga jatuh cinta sama dia di hari yang sama kok, saat pertama kali bertemu.

"Dan sayang itu bertambah besar setiap harinya, sampai detik ini dan mungkin akan bertambah terus hingga nanti mas menghembuskan nafas terakhir."

Duh..

Biasanya obrolan kami jarang mendayu-dayu seperti ini. Kalimat I love you memang sering diucapkan, tapi tidak dalam suasana serius begini.

Kemana pembicaraan tentang cinta ini akan bermuara?

"Filan juga sayang sama mas. Forever. Every single day of forever." Aku membalas tak kalah cheesy, mencomot kalimat yang dulu pernah dikatakan oleh Edward Cullen pada Bella Swan.

Cup.

Mas Radit memajukan wajah agar bisa mengecup bibirku sekilas.

Singkat dan selalu manis.

Setelahnya ia melepaskan genggaman pada tanganku dan mengambil sesuatu dari saku belakang celananya.

Jantungku rasanya berhenti berdetak ketika mas Radit beberapa detik kemudian menyodorkan sebuah kotak beludru biru berisi sepasang cincin platinum kehadapanku.

"Maafkan mas yang terlalu greedy karena ingin memilikimu lebih jauh, Bae." Ia melanjutkan speech.

"Mas tahu hubungan seperti kita ini jarang yang menemukan titik terang. Tapi, mas tetap ingin melakukannya denganmu."

"Mas ingin memiliki kamu, all of you, officially."

"Maukah kamu.. bersama mas selamanya, sampai maut memisahkan?"

"Maukah kamu.. tinggal sama mas dan mengarungi badai kehidupan berdua hingga salah satu dari kita nanti dipanggil pulang sama sang pencipta?"

"Maukah kamu menghabiskan sisa hidupmu untuk merawat mas, dan mungkin anak-anak kita nanti?"

"Maukah kamu.. menikah sama mas?"

Hiks..

Aku speechless dong.

Meski hubungan kami selalu adem ayem dan aku tahu pasti didalam hati mas Radit hanya ada namaku yang bertahta, tapi tiba-tiba dilamar seperti ini membuatku shock dan tidak bisa berkata-kata.

Seperti yang mas Radit tadi bilang, hubungan nggak normal seperti yang kami miliki ini jarang memiliki titik terang.

Paling mentok sampai di komitmen yang diucapkan bibir, disimpan rapat-rapat dalam hati.

Aku tidak pernah menyangka bahwa kami akan berada di titik ini.

Aku sama sekali tak pernah membayangkan mas Radit akan melakukan hal seperti ini, memintaku menikah dengannya.

Hiks..

This is too good to be true.

Boleh muterin kostan sambil nari selebrasi ala pemain bola nggak sih?

Atau guling-guling di lantai ala kucing keenakan habis kawin?

"Aku mau mas.." Aku menjawab se-kalem mungkin, tanpa melakukan hal absurd yang tadi kusebutkan.

"Mau banget."

"Tapi..."

Senyum yang tadinya sudah merekah di bibir tebal kekasihku mendadak sirna karena konjungsi koordinatif yang aku tambahkan di akhir kalimat.

Aku menghela nafasku pelan, tak berani menatapnya.

Seberapapun inginnya aku menikah dengan mas Radit, namun aku.. memiliki hati lain yang harus kujaga.

Yang kucintai sama besar seperti aku mencintai mas Radit.

Aku tidak ingin mengecewakan beliau jika nantinya memilih jalan hidupku bersama mas Radit.

Jika aku melakukannya, itu harus sepengetahuannya, dengan restunya. 

"Aku.. mau banget menikah sama mas Radit, hidup selamanya bareng mas. Itu mimpi terbesarku sedari dulu." Aku mengklarifikasi cepat, karena tak ingin mas Radit salah tafsir kalimatku.

"Tapi.. maaf, aku belum bisa mengiyakannya."

"Tidak, sebelum aku meminta restu sama ibu tentang hubungan kita."

Yah.. jangan salah sangka.

Aku nggak seperti mas Aris dalam sinetron layangan putus yang punya dua cinta dalam hidupnya.

Hati yang kujaga sepenuh jiwa raga itu adalah milik ibuku, my beautiful angel.

Wanita terhebat yang membesarkanku seorang diri hingga aku menjadi Filantropi Prabaswara Catra yang sekarang.

Sebenarnya ibu kenal baik kok sama mas Radit. Mereka sering mengobrol akrab jika bertemu.

Kedua orang tua mas Radit pun kenal dekat dengan ibu meski kami bukan tetangga satu kelurahan.

Namun, kami menyembunyikan hubungan ini rapat-rapat dari beliau dalam kedok persahabatan karena aku belum siap melihat respon ibu.

Kurasa ini saatnya untuk mengaku.

Meski pernikahan kami nanti tanpa digembar-gemborkan pada semua orang, malah cenderung di tutupi, namun jika melakukannya aku ingin hal itu seijin ibu.

"Maukah mas menunggu jawabanku, setelah aku mengobrol sama ibu?" Aku bertanya memastikan.

Mas Radit kembali tersenyum, wajahnya lebih lega karena alasan penolakanku adalah restu ibu.

"Tentu Bae. I will."

"Selama apapun itu, aku akan tetap menunggumu. I love you."

Aku membalas senyum mas Radit. Dia dan semua pengertiannya yang membuatku terus jatuh cinta.

"I love you more mas." Aku menjawab pernyataan cintanya, merasa bahagia.

...

...

"Jadi, kita pulang weekend besok untuk minta restu ibu?"

"Sure. Wish me luck."

--------------- TBC -----------

St. Elisabeth Hospital, 20 December 2021.

Words Count 848.

-Unconditional Love- (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang