Tiga

441 77 11
                                    

“ Arjuna „

.
.
.

"Habis layanin berapa orang gini hari baru pulang?"

"Mas, aku habis ada pertemuan dan baru selesai rekap hasil meeting."

"Halah, bilang aja habis jual diri ke boss."

"Mas jangan sebarangan ya kalau ngomong! Aku-"

Bbrakk!

Suara bantingan dari pintu kamar menghentikan percakapan panas dari pasangan suami istri ini di ruang tamu. Bahkan keduanya tak sadar akan sosok anaknya yang juga baru saja pulang melewati belakang mereka. 

"liat tuh, ibu sama anak sama aja!" malas menanggapi, sang istri pun beranjak dari ruang tamu untuk masuk ke kamar anaknya.  Sosok laki-laki bertubuh ramping itu sedang susah payah membuka seragam, lantaran mendapat beberapa luka di tubuhnya.

"Jun... awakmu kenopo nang?[kamu kenapa sayang?]" sang ibu jelas terlihat panik melihat anak laki satu-satunya mendapat luka yang cukup banyak.

"Jatuh dari motor Bun." jawab anak itu seadanya. Ibunya hanya menghela napas sambil membantu sang anak membuka seragam.  

"bunda tambani disik ya nang. kamu sudah mandi? [bunda obatin dulu ya sayang.]"

"belum Bun, Juna baru pulang."

"Yawes, awakmu adus disik. Bunda mau bersih-bersih juga, nanti bunda kesini lagi,  kanggo nambani awakmu. [yaudah,  kamu mandi dulu.][ buat obatin luka kamu.]"

"mboten usah, bunda langsung tidur aja, istirahat."

"huusss ini harus di obatin. Mosok anak baguse bunda akeh tatu-tatu ngene. Mangke infeksi nang. Awakmu adus disik yo, sesuk yen isih loro bunda ijinin ke sekolah. [Masa anak bunda yang ganteng banyak coreng-coreng luka gini. Nanti infeksi sayang. Kamu mandi ya, besok kalau masih sakit bunda ijinin ke sekolah.]" Juna membalas dengan anggukan lemah. Ia memang tak pernah bisa mengelak dari ucapan ibunya. Meski kadang ia sendiri merasa muak.

Bukan, bukan karena ia membenci ibunya.  Ia hanya muak dengan kondisi keluarganya.

Kalau masalah benci, ia jelas membenci sosok sang ayah yang seolah tak berguna. Pria yang menjadi ayahnya itu tak pernah bekerja, ibunyalah yang selama ini mencari nafkah. Berusaha untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiannya.

Dan hal itu yang membuatnya tertekan. Menjadi salah satu alasan seseorang untuk bersusah payah untuk dirinya. Ini wajar, setiap orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun bagi Juna hal yang dilakukan sang ibu untuknya terlalu banyak, ia merasa tak pantas.

Melihat beberapa luka pada tubuhnya dicermin kamar mandi, yang sesungguhnya bukan karena jatuh dari motor. Ia pukuli beberapa siswa di sekolahnya lantaran menolak disuruh.  Alhasil, ia mendapatkan luka-luka tersebut. 

Usai mandi, ibunya sudah berada di atas tempat tidur dengan kotak obat. Tanpa banyak bicara dan begitu telaten mengobati anak putra satu-satunya ini.  Juna pun tak banyak berujar, hingga sang ibu selesai dan menyelimuti putranya yang hendak tidur.  Ia segera memejamkan mata, berharap ibunya segera keluar dari kamar.  Jujur ia tak tahan, sikap manis dari ibunya yang bisa saja membuatnya merengek dan menangis.

Namun ia tak bisa menambah lagi beban ibunya yang harus repot-repot mendengar keluh kesahnya. 

Derai air mata mengalir di tengah suara isakan yang tertahan. Waktu seakan mengutuknya untuk berlaju, terpaku dengan hal-hal yang membuatnya membisu.

Dering telpon memecah kesunyian ruang kamarnya.  Tangannya bergerak perlahan meraih ponsel yang ia taruh di nakas. 

"udah tidur?"

Arjuna [JaeRen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang