chapter 2 - Merah

14 5 1
                                    

Hancur, satu kata yang tepat bagi apa yang tengah terjadi saat ini. Bencana alam di mana-mana, banyak orang yang mati karena kemarahan alam. Suara tangis penuh rasa sakit dan penyesalan terdengar begitu pilu. Tidak hanya satu, bahkan mungkin jutaan atau bahkan milyaran manusia di dunia ini menangis.

Kehilangan anggota keluarga atau mungkin kehilangan sebuah harapan bahwa mereka bisa hidup. Semuanya hancur, tidak tersisa apa pun selain rasa kehilangan dan kepedihan yang dalam. Menatap penuh rasa ketidakpercayaan atas apa yang tengah terjadi di seluruh dunia.

Mereka mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi? Apa ini hanya sebuah bencana alam biasa? Atau mungkin ini adalah sebuah hal kecil sebelum kiamat terjadi? Mengerikan, itulah satu kata yang terucap dipikirkan mereka. Berlarian mencari anggota keluarga yang mungkin masih hidup dibalik bencana yang terjadi saat ini.

Reruntuhan bangunan terdapat di mana-mana membuat langkah mereka terhambat. Berusaha sebaik mungkin untuk mencari walau dalam hati dan pikiran yang ada hanyalah sebuah rasa takut jika hanya mereka yang masih hidup.

"Kau senang?" ucap seorang pria dengan jubah hitam di tubuhnya, menatap datar pada semua kekacauan yang ada di bawah sana.

Dia tidak sendiri, ada sosok lain yang juga berdiri di sebelahnya dengan wujud seorang pria dengan jubah hitam yang sama. Menatap penuh ketenangan pada apa yang baru saja dia lakukan, "Masih belum."

"Jangan bilang kau akan terus mencarinya!"

Pria itu menoleh, menunjukkan iris berbeda warna miliknya, "Apa kau tahu kekuatan jantung itu!?"

"Ya aku tahu, tapi ini terlalu berlebihan. Aku pikir kau hanya berusaha balas dendam pada manusia itu, tapi sayangnya kau melukai mereka semua karena kejadian di masa lalu!?"

Pria bola mata berbeda itu mencengkeram kuat leher pria di sebelahnya itu, menatap marah pada sosok yang berani-beraninya berpikir bahwa dia mengetahui semua hal tentangnya.

"Katakan sekali lagi jika kau ingin mati!"

Setelahnya cengkraman itu dia lepas, memilih pergi meninggalkan sosok pria yang berusaha menarik napas sebanyak yang dia bisa. Terbatuk beberapa kali, merasa dadanya sedikit sesak sebelum melirik ke arah atas, "Aku pikir kau yang akan mati."

Dia bangkit, menatap ke satu titik yang mana membuatnya tersenyum. Hanya senyuman miring, namun bisa menjelaskan banyak hal tanpa orang bisa ketahui. Manik biru gelap itu mulai bersinar, menatap penuh pada cahaya merah kecil yang mungkin hanya bisa dia lihat.

"Ah.. sayang sekali dia melewatkan kesempatan emas ini," gumamnya, merasa bahwa pria tadi benar-benar kehilangan sesuatu yang penting.

"Takdir yang mengagumkan," ucapnya lagi sebelum menghilang bagai debu.

Cahaya merah itu mulai memudar, terlihat puing-puing bangunan yang menutupi sang pemilik cahaya merah itu. Berusaha bergerak namun yang dia dapatkan hanyalah rasa sakit tanpa bisa dia bendung. Berteriak keras karena tubuhnya terhimpit di antara puing-puing bangunan sekolahnya.

Maniknya berkedip, berusaha memfokuskan pandangannya pada semua objek di dekatnya. Melihat dengan baik berharap bisa menemukan keempat temannya yang entah ada di mana. Hingga sebuah siluet seseorang membuatnya terpaku, berusaha mencari tahu siapa pemilik siluet itu.

"Yeonjun hyung?" ucapnya karena sosok itu terlihat sama seperti Yeonjun namun lebih tinggi walau dia tidak yakin dengan benar.

"Apa itu kau hyung?" tanyanya lagi, namun tidak ada jawaban yang bisa dia dapatkan. Yang ada hanyalah sebuah tanda tanya besar akan siapa sosok itu.

Karena tempat yang gelap membuatnya tidak bisa mengetahui siapa orang itu, namun entah kenapa perasaannya mengatakan sesuatu yang buruk. Mencoba untuk tenang walau akhirnya dia ketakutan setengah mati.

Betapa bodohnya dia, andai saja dia bisa bergerak mungkin dia sudah kabur saat ini. Tapi yang bisa dia lakukan hanyalah terdiam dengan pemikiran menduga-duga atas hal yang tidak pasti.

"Hyung..!! Kalian di mana?" suara teriakan membuatnya terkejut, menatap ke arah asal suara saat melihat sosok pria yang tidak asing baginya berlarian di tengah puing-puing bangunan itu.

"Kai! Tolong aku!" Dia berteriak, menatap ke arah sosok bersurai pirang yang langsung berlari ke arahnya.

"Kau yang pertama," ucap orang asing itu sebelum menghilang begitu saja.

Ah.. benar dia lupa, kembali menoleh ke arah sosok asing tadi yang sudah tidak ada di sana. Berusaha mengingat akan apa yang baru saja dia dengar dari sosok itu sebelum dirinya tersadar saat Kai memanggilnya berulang kali.

"Hyung..!"

"Ah.. maafkan aku."

Kai mengangguk, menatap khawatir pada sosok hyung yang tertimpa puing-puing bangunan itu, "Apa tubuh hyung tidak terluka?"

"Kau tenang saja, kau hanya perlu menarik tubuhku untuk keluar," jawabnya mencoba mengeluarkan salah satu tangannya, walau sebenarnya dia cukup kesulitan saat ini.

"Tunggu sebentar," ucapnya masih berusaha namun yang ada hanyalah sebuah rasa sakit dengan rasa perih yang begitu mengerikan.

"Hyung jangan bergerak! Aku akan cari sesuatu untuk mengeluarkanmu." Kai panik, berlari menjauh tanpa peduli pada hyung-nya yang terluka saat ini.

"Huh.. Kai," ucapnya pelan dengan manik yang mulai tertutup rapat.

Tidak jauh di sana sosok itu tersenyum, mulai mengangkat puing-puing yang menimpa sang pemilik cahaya merah. Setelahnya dia pergi, mungkin dia memang tidak akan bisa sepemikiran dengan pria berbola mata beda warna tadi.

"Aku sangat menantikan takdir kalian," ucapnya sebelum pergi dari dunia manusia itu.

"Hyung!" Kai berteriak menatap tubuh Yeonjun yang terluka parah, ada darah di sekitar kepalanya.

Berusaha untuk tidak panik, walau pada akhirnya dia panik karena nasib para hyung-nya benar-benar buruk saat ini.

"Kai...."

Kai menoleh, menatap ke arah Soobin yang terlihat berjalan pincang dengan pakaian yang kotor. "Kau baik-baik saja?" ucap pria bersurai hitam yang mendekatinya secara perlahan.

"Seharusnya aku yang bertanya pada hyung? Kenapa dengan kaki hyung?" Kai menyahut, menatap nanar pada kaki kiri milik Soobin yang terluka dengan darah yang mengalir dari celana seragamnya.

"Hanya tertimpa sedikit," jawab Soobin mencoba berusaha tenang, walau sebenarnya Kai tahu akan rasa sakit yang Soobin tahan sejak tadi.

"Hyung duduklah lebih dulu, aku akan membawa Yeonjun hyung ke tempat yang aman."

Sebagai seorang adik dia harus bisa menjadi kuat di saat para hyung-nya terluka, seperti sekarang dan dia merasa bersyukur atas dirinya yang bertubuh besar. Menatap ke arah Yeonjun sebelum bergerak untuk mengangkat pria itu, membiarkan Soobin duduk terdiam di antara genangan darah yang dia ketahui milik Yeonjun dan dirinya.

"Apa yang harus aku lakukan," gumamnya dengan telapak tangannya yang terbuka lebar, menatap pada benda berbentuk dadu yang dia dapatkan tadi.

TBC

Aku kembali, semalam aku dapet ide buat lanjutin cerita ini dan langsung aku tulis deh. Tapi aku kaget karena selesai dalam waktu satu jam, tapi setelahnya aku langsung tidur. He.. He.., aku ngantuk dan berpikir buat update paginya. Dan pagi ini aku up, jangan lupa klik bintang di bawah supaya aku semangat up. Sampai jumpa lagi..

Star Destiny'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang