Cʜᴀᴘᴛᴇʀ Oɴᴇ

859 104 11
                                    

Di sebuah perpustakaan terlihat seorang remaja tengah menulis pada bukunya. Mata tajam menatap pada kertas di hadapannya.

Dengan rambut yang hanya mencapai leher dan dalam keadaan menunduk, membuat rambutnya maju sedikit menghalangi pandangannya ke sekitar.

Buku-buku berserakan di sekitarnya. Berbagai judul buku tergeletak di sampingnya, diiringi dengan beberapa lembar kertas berserakan pada halaman buku.

Remaja tersebut menghela napas, mendongak ke atas menatap rak buku yang berada pada lantai tiga dan empat.

Tidak, sebenarnya dia tidak benar-benar serius menatap pada buku-buku di atas sana.

Pandangannya mengarah kepada hiasan bintang putih di atas rak buku tersebut. Dia merasa bahwa bintang itu baru saja bergerak. Tapi bagaimana dan apa sebabnya, remaja itu tidak mengetahuinya. Jendela pada lantai di atas sana semuanya tertutup rapat dan hanya jendela pada lantai satu yang terbuka.

Tapi apakah remaja itu takut? Tentu saja tidak, selama hal itu tidak mengganggunya dia akan membiarkannya. Dia bukanlah sukarelawan ataupun karakter utama dalam sebuah novel yang akan mencari jawaban jika dihadapkan dengan sesuatu yang misterius.

Dia sudah lama melewati masa-masa secondary illness atau middle school second-year syndrome. Hal itu sudah lama berlalu.

Selama itu menguntungkannya maka dia akan mengambilnya, namun dari sekilas yang dilihatnya bintang putih yang tergerak oleh sesuatu itu tidak akan menguntungkannya.

... Setidaknya untuk saat ini.

Mengusap dahinya, remaja tersebut menatap pada buku di depannya dengan kebencian. Gara-gara ini semua dirinya tidak bisa menghabiskan hari Sabtunya untuk membaca novel yang dinanti-nantinya.

Kenapa tidak hari Minggu?

Remaja itu terlalu malas untuk keluar rumah pada hari Minggu yang diprediksi suhunya akan bertambah naik. Hanya untuk itu dia rela datang pada hari Sabtu untuk menuntaskan semua tugasnya kemudian membaca novelnya.

Yah sebenarnya ini bukan hanya tugas dirinya saja, melainkan teman-teman sekelompoknya juga.

Kacamata yang bertengger pada hidungnya dia lepas. Dirinya benar-benar tidak ingin mengerjakan pekerjaan kelompok ini sendiri. Tapi apa boleh buat nasi sudah jadi bubur, dan dia juga sudah menerima uang yang diberikan.

Alih-alih melanjutkan tugasnya, tangan remaja tersebut meraih pada salah satu tumpukan buku yang ia sisihkan jauh dari buku buku lain yang berserakan di meja.

Remaja itu terdiam. Buku ditangannya menampilkan halaman pertama pada buku tersebut sebuah kalimat yang menurutnya unik.

"A true ‘suicide’ is the perfect act of self-destruction. It’s when a man destroys every last trace of himself and becomes nothing ... "

"Huh.. itu lucu, aku tidak pernah menaruh buku ini di sini."

Remaja itu terseyum menatap lamat-lamat pada kalimat yang terdapat pada buku, namun matanya tidak memancarkan kebahagiaan sama sekali.

Dirinya bahkan tidak ingat kapan ia membeli novel dengan kata-kata yang seindah ini. Murni.. kata-kata murni manusia tentang pelarian pada kematian.

Remaja tersebut menutup buku tersebut. Memasukkannya pada tasnya kemudian memakai kacamata kembali sambil memegang sebuah pulpen dan mulai menulis kembali pada bukunya.

Tanpa dirinya ketahui, buku yang diletakkan pas tasnya mulai menghilang menjadi partikel-partikel cahaya, dan hanya menyisakan tas kosong tanpa buku.

Di tengah perpustakaan yang sunyi hanya terdapat suara dari goresan pulpen yang terdengar.

Tʜᴏᴜ Wʜᴏ ғᴀʟʟ Hᴇʀᴇ  𝚃𝚌𝚏 𝚇 𝚁𝚎𝚊𝚍𝚎𝚛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang