Happy reading
.
.
.
.Kadang saat kita sudah bisa
menghargai dan menerima
yang kita punya.Mau seperti apapun orang memandang rendah
apa yang kita punya,
gak akan bikin mental down.Kalaupun lo masih ngerasa down.
Itu berarti lo harus tanya lagi
ke diri lo sendiriApa beneran udah
menghargai dan menerima
atau belum?
.
.
.
.
.
.
.
.Yogyakarta, di hari kelam dengan langit yang sarat akan kelabu, ada langkah tenang menyusuri jalanan yang mulai sepi.
Ditemani terang lampu jalan yang berkelap-kelip di bawah naungan gerimis air. Sosok itu berjalan tenang, tak peduli akan bajunya yang perlahan mulai basah menyalurkan dinginnya udara.
Namanya Ary, lengkapnya Library Cakra Wiratama. Kalian cukup panggil dia Ary atau dengan panggilan impian nya;'Cakra'.
Ary adalah bungsu keluarga Wiratama, keluarga yang terkenal akan bisnis kesehatan, wisata, dan real estate di seluruh Asia. Ibunya menikah dengan kepala keluarga Wiratama, Marcel Candra Wiratama. Setelah sebelumnya bercerai dengan Arya Cakra Dirgantara, seorang pengacara yang dalam masa keemasan karirnya. Dari pernikahan itu, Ary yang awalnya hanya anak tunggal berusia 10 tahun, menjadi adik bungsu dari tiga bersaudara keluarga Wiratama.
Saat langkah kaki Ary berhenti di depan gerbang sebuah mansion, tiba tiba sebuah botol mineral melayang tepat mengenai kepala nya dengan cukup keras. Ary yang tidak siap dengan serangan tiba-tiba itu, langsung terjatuh ke genangan air di belakangnya.
"Hah! Si perpus ngapain balik kesini. Kirain gak bakal balik habis di bully di sekolah tadi," sinis Reza yang entah sejak kapan sudah berdiri di balkon atas pintu utama.
" Dia kan perpustakaan pribadi keluarga Wiratama Za, jadi wajar kalau dia balik kesini. Kebanyakan baca buku itu anak. Menghayati banget punya nama Library. Mungkin dia mau sekalian nama keluarganya diganti jadi Library " timpal Alvin, kakak kembar Reza. Berdiri santai dengan segelas air di tangannya.
" Reza, Alvin. Masuk ke dalam," perintah sebuah suara dingin dari dalam masion. Sosok itu keluar sebentar melihat apa dilakukan si kembar, melirik sekilas kearah Ary dan masuk begitu saja kedalam di ikuti Reza dan Alvin.
Di luar, Ary masih terduduk di atas genangan air mengumpat dengan suara tertahan.
"Dasar duo sialan. Kagak di sekolah kagak di rumah, hobi banget bully gue. Perasaan gue juga ngga pernah cari gara-gara sama mereka. Kayaknya gue perlu naburin garem di sekeliling rumah lagi biar mereka ngga masuk ke wilayah gue,"
Dengan perasaan dongkol Ary bangkit dan kembali berjalan. Langkahnya tidak menuju pintu utama, melainkan memutari setengah mansion keluarga Wiratama. Menuju gudang lama keluarga Wiratama, yang berhasil Ary bedah menjadi hunian sederhana dan tentunya nyaman untuk mengistirahatkan diri.
Setelah masuk kedalam rumahnya, suasana damai dari tempat itu meringankan sedikit kekesalan yang Ary rasakan. Tempat itu mungkin tidak semewah dan seluas mansion keluarga Wiratama, tapi cukup rapi dan bersih mengingat Ary yang sudah hidup di sini sejak lulus SMP, setahun yang lalu.
Begitu Ary merasakan dingin yang mulai menjalar ke punggungnya, ia bergegas mandi dan mengganti pakaiannya yang basah dengan t-shirt putih polos dan celana pendek hitam. Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, Ary mulai menyiapkan makan malamnya.
Semangkuk mie instan lengkap dengan sayuran, sebuah hidangan yang terbaik dimakan saat hujan pun tersaji beberapa menit kemudian. Ary bukan tipe orang yang terlalu sering makan mie, tapi untuk malam ini ia khususkan untuk memperbaiki moodnya yang dirusak oleh Reza dan Alvin tadi.Setelah selesai makan, Ary mencuci mangkuk makannya di kamar mandi dan mendudukkan diri ditepi kasur. Pandangannya mengedar ke sekelilingnya.
"Kayaknya gue harus ke mansion lagi buat ngambil persediaan minggu ini. Tapi males banget ketemu mereka," keluh Ary ke dirinya sendiri.
Mereka yang dimaksud Ary, ialah para anggota keluarga besar Wiratama. Ary tau kalau ada duo Reza Alvin berarti seluruh keluarga Wiratama sedang berkumpul. Dan sudah dipastikan kalau ia muncul di perkumpulan itu, mereka pasti akan merendahkan dirinya seperti biasa. Bukan berarti Ary akan peduli tentang itu, tapi tetap saja ia tak pernah bisa terbiasa mendengarnya.
"Hah, bodo amat. Perut gue lebih penting dari pada nyinyiran mereka yang ngga penting itu," Ary langsung beranjak dari tempatnya, menuju meja belajar untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Sekitar tiga jam kemudian, Ary merenggangkan ototnya setelah duduk lumayan lama. PR hari ini cukup sulit tapi setidaknya Ary sudah berusaha maksimal untuk menyelesaikannya. Saat melihat jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Ary berpikir kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk masuk kedalam mansion. Karena seingatnya di sekitar waktu inilah semua orang di mansion harus sudah tidur.
Dengan berbekal lampu dari ponselnya Ary memutuskan masuk melalui pintu belakang yang tidak memiliki penerangan sama sekali. Tentunya cahaya dari lampunya itu sudah sedikit ia redam dengan kaos yang dia pakai agar tidak menarik perhatian CCTV yang terpasang di dekatnya. Ia tidak ingin mengulang kesalahannya saat pertama kali melewati pintu itu untuk pertama kalinya dan justru menyalakan alarm keamanan karena cahaya ponselnya yang mengaktifkan kewaspadaan CCTV tersebut.
'Cici jangan nyalak ya, gue cuma numpang lewat,' cicit Ary seakan berbicara dengan CCTV yang ada di depannya.
Setelah berhasil masuk, Ary langsung menuju dapur penyimpanan bahan makanan. Di sana ia mengambil sebungkus beras berukuran sedang, beberapa bumbu seperti bawang, garam, merica bubuk, saus dan beberapa sayuran yang bisa di simpan cukup lama seperti wortel, kentang, dan buncis.
Selesai mengemas semua itu, Ary yang merasa haus memutuskan untuk mengambil air minum di kulkas.
"Siapa disana," sebuah suara dingin yang datang dari belakang mengejutkan Ary yang sedang minum hingga tersedak.
"Uhuk! uhuk!" Ary terus terbatuk cukup keras hingga menarik perhatian orang-orang di ruang keluarga.
" Wow Ary kamu kok ada di sini," adik ipar ayah tiri Ary, sebut saja namanya Fiona, pura-pura terkejut saat memeriksa asal suara batuk itu. Awalnya ia pikir keponakannya yang dingin sedang ceroboh sampai tersedak oleh sesuatu. Tapi tak disangka justru Ary yang sedang berada di dapur bersama keponakannya. Ary yang masih sedikit tersengal tidak terlalu mendengar apa yang Fiona katakan.
"Heh kamu kalau di ajak ngomong sama yang lebih tua harusnya di jawab bukannya diam saja, dasar tidak punya sopan santun"
"Maaf ya nenek sihir, hidung gue yang syantik membahana ini lebih penting dari pada dengerin lo. Udah tau lagi keselek gini malah di suruh jawab pertanyaan unfaedah gitu. Tante ngga nambah kan min kacamatanya," batin Ary yang kesal ke tante rempong berkacamata jelmaan nenek sihir yang sialnya adalah tantenya sendiri. Matanya sedikit berkaca-kaca menahan rasa sakit.
Sebelum Fiona kembali bicara, sosok yang tadinya mengejutkan Ary menyela,
"Tante sebaiknya balik ke ruang keluarga, dia biar aku yang urus," ucap suara yang tadinya mengejutkan Ary. Dia adalah Dava Candra Wiratama, kakak pertama Ary.
Fiona yang masih ingin bicara lebih banyak, menggerutu pelan sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu menuruti perkataan Dava.
Sementara itu, Ary yang sudah merasa baikan, kini menatap balik netra yang dari tadi intens memperhatikannya. Karena sedikit takut dengan Dava yang notabene dingin itu, Ary memutuskan untuk memutar badan pergi dari dapur.
"Jangan lupa bawa makananmu itu tikus kecil," tegur Dava yang membuat tubuh Ary kaku saat hendak melangkah. Dia lantas mengambil bahan makanannya tadi dan perlahan pergi meninggalkan Dava sendiri di dapur.
Dava yang kini cuma sendiri hanya tersenyum miring melihat ke dinding tempat Ary menghilang,
"Benar-benar seperti tikus," gumamnya entah kepada siapa.
.
.
.
.
.
.
.
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
King of Story (Slow Update)
Historical FictionDeskripsi ada di chapter pertama. Di sini ngga muat ternyata (。ノω\。) Silahkan baca kalau penasaran. Ide cerita ini HanA dapat dari beberapa cerita lain yang sudah pernah HanA baca. Jadi tolong maklumi+jangan anggap HanA plagiat. Terinspirasi dari be...