Sore itu, matahari jingga penuh menyusuri pelosok kota. Di ibu kota yang tidak pernah mati, Eja merasakan bahwa cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Bukan hanya merasa, tapi memang kenyataannya seperti itu. Menatap langit hingga hangat menembus mata, namun tidak sampai ke hati.
Saat Aruna berjalan mendekatinya, Eja tersenyum cerah, seolah melupakan apa yang terjadi di hatinya.
"Udah lama nunggu?"
"Enggak juga."
"Tadi kamu bilang apa ke Juna pas dia nanya hubungan kita?"
Sebelum menjawab, Eja lebih dulu tersenyum sumir dan menelan ludah. Lagi-lagi ia harus menerima kenyataan pahit bahwa Aruna tidak ingin hubungan mereka diketahui banyak orang. Bukan tanpa alasan, katanya hanya saja takut ada yang tidak menyukai hubungan mereka. Tapi lagi-lagi Eja berdecih, alasan seperti itu tidak berlaku untuk mereka yang orang biasa saja.
"Aku bilang kita cuman temen. Itu kan yang selalu kamu suruh aku bilang?"
Lalu Eja tertawa, menatap kendaraan lalu lalang di hadapannya. Apa saja, asalkan tidak menatap Aruna dengan wajah bersalahnya. Kalau boleh jujur, Eja sudah cukup berbaiki diri demi Aruna. Apapun itu, bahkan menghilangi kebiasaan yang sering ia lakukan. Tapi sebaliknya, Aruna tidak bisa melakukan timbal balik. Mengakui bahwa Eja adalah kekasihnya saja ia ogah-ogahan.
"Kamu marah?"
"Mana pernah sih aku marah sama kamu. Aku enggak marah."
"Kamu nggak nyaman, ya?"
"Aku nyaman kok, selagi kamu nyaman juga sama itu."
Setelah berkata seperti itu, Aruna menyandarkan kepalanya di bahu Eja. Sesekali menghirup lamat-lamat wangi parfum Eja yang berpadu dengan bau petrikor. Sungguh, bahu Eja nyaman sekali untuk di jadi sanggahan. Aruna sering berkata seperti itu. Tapi menurut Eja, hanya bahunya saja, tidak hatinya.
"Ja... Bukannya aku nggak mau ngakuin kamu jadi pacarku. Aku cuman nggak mau kamu enggak nyaman nantinya.
"Iya aku tau. Aku juga enggak minta hubungan kita di publikasi, hanya aja kamu beneran tulus sama aku."
"Bukannya aku yang seharusnya ngomong gitu?"
"Kenapa harus kamu?"
"Enggak tau. Tapi aku ngerasa kamu yang bakal ninggalin aku."
Bahkan jika Aruna lebih mencintai orang lain, Eja akan tetap mencintai Aruna walau tidak berasama-sama lagi. Aruna itu bagaikan pahit yang candu. Sepahit apapun Aruna, seberapa Eja terluka karenanya, akan tetap Eja dekap jiwa dan raganya.
"Mana ada aku kayak gitu."
"Jangan tinggalin aku, ya?" Kata Aruna.
Sebelum menjawab, Eja lebih dulu mengusak surai perempuan itu. "Aku enggak akan tinggalin kamu, bahkan sekalipun kamu ninggalin aku, aku nggak akan pergi."
"Eja... Bisaan banget sih mulutnya!"
"Loh beneran."
"Apa buktinya--"
"ARUNAA!" Disebarang jalan, Monic berteriak meminggal nama Aruna dengan keras. Lantas, Aruna dengan segera menjauhkan posisinya kepada Eja, memberi jarak untuk keduanya. Aruna tersenyum canggung pada Eja sebagai intruksi untuk bersikap biasa-biasa saja. Sedangkan Eja ia hanya tersenyum dan mengangguk.
"Gue cariin lo! Malah berduaan sama Eja, pacaran ya lo?"
"Mulut lo! Mana ada! Orang gue yang nungguin lo disini, terus ketemu Eja, niatnya minta tolong dia pesenin ojek online buat gue karna nungguin lo lama banget."
Monic tidak menjawab, tapi dari raut wajahnya ia masih tidak percaya apa yang dikatakan Aruna barusan. Bahkan ia minta Eja untuk menjelaskan. "Enggak ada, gue nggak ada apa-apa sama dia."
"Kirain."
"Ngomong-ngomong lo nggak ikut kumpul sama anak-anak fakultas? Tadi gue liat anak-anak pada kumpul. Ada si Ode, Rehan, Juna, Sekar, sama botak-botak itu siapa namanya?"
"Ojak?"
"Nah iya."
"Enggak, lagi males aja gue."
Padahal alibi saja, ia rela menunda waktu bersama teman-temannya demi menemani Aruna. Bukan hanya sekali dua kali, terlalu sering Eja meluangkan waktunya hanya untuk Aruna. Tetapi Aruna, saat Eja sakit pada saat itu, ia bahkan tidak tahu sama sekali. Begitulah Eja yang terlalu mencintai terlalu lebih tanpa ada respon lebih juga.
"Oh gitu. Yaudah yuk buruan, Na. Kasian si Caca sedang mempertaruhkan hidup dan mati."
"Lebai banget lo, cuman sakit demam juga."
"Gue duluan ya, Ja."
Begitu katanya sebelum keduanya menancap gas dan meninggalkan Eja sendirian. Dan, Eja menyandarkan kembali dirinya di kursi halte, menatap langit yang perlahan menjadi gelap, lampu-lampu jalanan yang menyala satu persatu. Bahkan, Eja selalu berfikir harus seperti apa lagi agar dicintai tulus dengan Aruna. Kalau ditanya sakit hati atau tidak, pasti tentu saja sakit. Sering sekali, Aruna merespon lelaki-lelaki lain, dan berkata jika dirinya tidak punya pasangan dan berkata langsung dihadapan Eja. Kalau Eja, sama sekali tidak pernah. Karna ia tahu bagaimana rasanya disakiti berkali-kali.
Eja juga pernah dengar, ingin sekuat apapun dirinya berjuang mati-matian untuk perasaannya, jika Aruna tidak benar- benar mencintai juga percuma. Hanya buang-buang waktu yang ujungnya buat kecewa. Walau Eja sudah tahu dari awal, tetapi tidak ingin berhenti saat itu juga. Justru ingin lihat bukti sampai pada titik mana Aruna menyadari perjuangannya dan Eja yang benar-benar pupus lalu menyerah dengan sia-sia.
Namun, Eja tidak tahu pasti bagaimana rasa pada Aruna nantinya. Akankah akan menerima Eja sepenuh hati, atau malah akan pergi.
Bersambung...
Eja Prapandi
Hingga musim kemarau sampai musim hujan, perasaanku tidak akan ada matinya. Walau seribu kata dirimu berkata ini semua hanya kebohongan belaka.
Kutunjukan seberapa aku berpura-pura padamu, hingga aku lelah dengan sendirinya. Namun sayang, kamu masih tetap disampingku selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Ke Musim | Na Jaemin
General Fiction"Mencintaimu dengan sikap mu itu membuat ku sangat terluka. Namun, kamu layak mendapatkan cintaku."