Terkadang, mencintai dan dicintai tidak selalu bahagia. Ada kalanya, mereka harus rela merelakan apapun yang ia punya sebelumnya. Seperti Eja, ia sempat kehilangan sahabat lamanya hanya karena seorang Aruna. Entah apa yang terjadi, Durjan dan Eja mungkin sama-sama punya rasa pada Aruna kala itu. Bertengkar hebat di depan warung Pak Tamrin hingga sama-sama babak belur hanya demi menjadikan Aruna sebagai kekasih.
Namun, Eja saat itu besar kepala. Ia rela kehilangan Durjan untuk Aruna di hatinya. Durjan pun mengalah dan merasa tidak pantas untuk Aruna yang sama sekali tidak ada bandingannya, dan memilih untuk pergi meninggalkan kota Jakarta 2 tahun lalu. Dan tidak di duga, Eja kira hanya Aruna di sisinya sudah cukup dan merelakan Durjan pergi. Ternyata ia tidak merasa sebahagia itu. Kalau waktu bisa di putar, ia ingin Durja tergerak lagi kembali. Namun sisi lain juga, Eja tidak ingin kehilangan Aruna.
Setiba Eja di rumah, ia melihat Dika dengan Mama di ruang tengah. Pada awalnya Eja ingin mengabaikan mereka berdua, karena Eja tahu bahwa Dika ini tipe laki-laki yang biasa-biasa saja, nggak asik lah intinya, bicara pun seperlunya. Yang dibahas paling-paling juga masalah kerjaan.
Namun gerakan menaiki tangga berhenti begitu saat Eja mendengar Dika berkata yang belum pernah dikatakan sebelumnya. "Aku berniat buat serius sama Helen, Ma."
"Kamu yakin?"
"Aku yakin. Walau aku enggak pernah ada hubungan apapun sama dia. Tapi aku tau baik bagaimana dia. Lagi pula, aku tahu Helen juga butuh kepastian dari aku."
Lantas Mama tersenyum, mengusak surai putera sulungnya. Lalu di usapnya bahu Dika perlahan. Perasaan Mama campur aduk, antara bahagia dan sedih. Waktu ke waktu, putera-puteranya telah tumbuh dewasa, mulai memilih jalan hidupnya masing-masing. Pasti ada kalanya, mereka pergi meninggalkan rumah hangat ini saat sudah dapat rumah yang baru, meninggalkan Mama sampai waktunya habis. Dan bahagia, saat anaknya sudah tahu jalan terbaik untuk kedepannya.
Eja tidak tahu betul apa yang Mama katakan setelah itu, saat ponselnya kembali berdering di saku celana. Nama Aruna terpapar di layar ponsel.
"Halo, Na? Kenapa?"
"Ja lagi dimana? Dirumah, ya?"
"Iya, baru aja sampai. Ada apa emang?"
"Kalau kamu enggak keberatan, boleh jemput aku? Aku enggak bisa bareng Tari, katanya dia mau jemput Bunda-nya. Kalau kamu nggak keberatan, ya. Kalau enggak mau juga nggak pa-pa, aku bisa pakai ojek online."
Bahkan saat badan Eja gemetar lantaran belum makan dari pagi tadi, mengatakan tidak pada Aruna pun ia tetap tidak mampu. Katakan jika Eja lebih perduli pada Aruna daripada dirinya.
"Jangan lama-lama ya, Ja. Aku takut sendirian."
Tangga kembali ia turuni, masih dengan ransel yang bergantung di pundak. Melewati Mama dan Dika.
"Kok balik lagi, Ja?"
"Iya, Mah. Buku Eja ada yang ketingglan di perpus."
"Enggak bisa besok aja? Kamu belum makan, belum bersih-bersih juga, apa nggak cape?"
"Nggak bisa, Ma. Besok harus udah selesai tugasnya. Eja nggak pa-pa kok, lagian Eja juga udah makan tadi sedikit." Mama tidak membalas lagi saat Eja bersalim dengannya dan Dika. Namun, Dika yang geleng-geleng kepala. Ia adalah satu-satunya yang paham seberapa Eja mencintai Aruna. Walau pada dasarnya, Eja juga tidak pernah cerita pada Dika, dan Dika juga tidak pernah bertanya tentang hal apapun. Namun dari cara pandang Dika melihat Eja berjuangan untuk Aruna begitu hebat, ia tahu seberapa tulus adiknya mencintai gadis itu.
***
"Udah lama nunggu?"
"Enggak kok. Lagian kok kamu cepet banget?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Musim Ke Musim | Na Jaemin
General Fiction"Mencintaimu dengan sikap mu itu membuat ku sangat terluka. Namun, kamu layak mendapatkan cintaku."