HAI GUYS!
WELCOME TO PART 1 IN STORY' SAHARA MALADEWA🐥
-
-
-
KASIH VOTE-NYA DOONG!! Biar tambah semangat🔥🔥
-
-
-
1 VOTE= 1 SEMANGAT💪 + SUPPORT + DUKUNGAN
-
-
-
BAGI YANG INGIN BERKENALAN BISA MAMPIR DI AKUN INSTAGRAM AKU 🐥@nailahasna.t._
-
-
-
HAPPY READING!!
-
-
-
ENJOYY
Kamis, 16 Desember 2021
@nailahasna.t._
Jodoh, usia, hidup dan mati itu sudah tercatat di skenario takdir. Tidak ada yang bisa menolak, apalagi mengelak. Jika sudah waktunya, sudah pasti akan terjadi, begitulah rencana Tuhan. Jika Tuhan sudah berkehendak seseorang akan berpulang, dalam keadaan apapun orang itu pasti akan terjadi. Bahkan dalam kondisi sehat sekalipun.
Dihari itu, Tuhan telah memanggil seseorang ke dalam dekapannya. Seseorang yang sangat penting bagi orang sekitarnya.
Awan gelap sudah berkumpul sedari tadi sudah siap menumpahkan segala beban yang dipikulnya ke atas tanah. Ibarat kata orang, Awan mendung yang berlama pertanda berduka.
Ya, di hari itu sedang ada yang berduka.
Sebuah gundukan tanah yang baru ditimbun mengeluarkan aroma yang khas. Sejumlah kelopak bunga segar pun telah memenuhi permukaan tanah tersebut.
Seorang gadis sedang duduk di sebelah gundukan tanah bersama seorang wanita yang tampak sudah berumur, dan seorang laki-laki berbadan tegap berdiri di belakang mereka. Kondisi wajah mereka sama, sama-sama sembab. Sehabis menangisi kepergian orang yang sudah tenang di tempat peristirahatan terakhirnya dibawah sana.
Gadis itu Sahara, bersama Ibu dan Kakak laki-lakinya.
Sedangkan penghuni kuburan itu adalah Ayahnya. Beliau meninggal dunia kemarin sore dan baru dimakamkan tadi pagi sekitar pukul 8 pagi. Dan ketika itu, ia baru saja pulang dari toko buku membeli peralatan tulis bersama kakak laki-lakinya, kak Sergan.
"Kak, kok rumah kita ramai sih?" Sahara bertanya pada kakaknya saat baru saja turun dari mobil. Sergan juga ikut terkejut, keterkejutannya ditambah ketika melihat bendera kuning terpasang di kedua sisi tiang rumahnya. Siapa yang meninggal?
Sergan mulai merasa ada yang tidak beres saat mendengar suara bacaan Yasin yang terdengar sayup sayup dari luar. Laki-laki yang terpaut 5 tahun dari Sahara itu pun tanpa pikir panjang segera masuk ke dalam rumah, disusul oleh Sahara. Dan betapa terkejutnya mereka saat melihat sesosok yang kini sedang terbaring di tengah-tengah ruangan dengan kain panjang yang menutupi seluruh tubuhnya kecuali kepala.
Badan kaku, bibir pucat dan lobang hidung yang telah ditutupi oleh segumpal kapas.
Yang terbaring itu adalah Ayah mereka.
Otot-otot kaki terasa lemas, jantung berdegup kencang tak karuan. Bibir terasa kelu dan kaku, tak mampu mengeluarkan barang sepatah kata pun. Pikiran kacau saat melihat sesosok yang sedang terbaring itu dengan jasad tanpa nyawa.
"Papa."
Sahara berusaha menghampiri tubuh tersebut dengan sekuat tenaga, lalu duduk di sebelah Papanya. Air mata yang tertahan perlahan merembes keluar.
"PAPA!" Sahara berteriak memanggil Ayahnya, mengguncang-guncang tubuh kaku itu, berharap sang ayah akan terbangun mendengar panggilannya meskipun hal itu mustahil.
Sergan yang sedari tadi diam berusaha mencerna apa yang sedang terjadi, kini ia ikut duduk di samping adiknya. Menatap jasad tanpa nyawa itu. TIDAK. Ayahnya tidak mungkin pergi. Ia sangat mengenal sosok ayahnya. Baginya beliau adalah laki-laki hebat yang pernah ada. Tidak sekalipun pernah ia melihat Ayahnya mengeluh apalagi menangis dan bagaiman bisa ayahnya pergi begitu saja? Bahkan ketika belum sempat berpamitan.
"Papa jangan pergi, jangan tinggalin Sara." Lirih gadis itu di samping telinga Ayahnya. Bahunya berguncang hebat, bahkan air matanya sudah membasahi kain yang menutupi tubuh Ayahnya, "Please Pa, Sara butuh Papa."
Sergan yang juga ikut terpukul atas kepergian ayahnya segera membawa adiknya kedalam dekapannya, setidaknya ia bisa menyalurkan energi yang ia punya.
"Semoga Papa tenang."Sudah seminggu semenjak Ayahnya pergi, rumah yang semula ramai kini berubah menjadi rumah kosong yang tak berpenghuni. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Tak ada lagi suara tawa yang terdengar, tak ada lagi lelucon dan candaan. Semuanya masih dalam keadaan duka.
Sergan yang semula sering menghabiskan waktunya di rumah untuk sekedar mengobrol dengan sang Ayah, kini tidak lagi. Kini Sergan berubah, sering pulang malam dan tampak tak bersemangat. Jika ia di rumah sudah pasti akan mengunci diri di dalam kamarnya dan akan keluar jika ada hal-hal yang penting, misalnya ke kamar kecil, makan dan pergi ke kampus.
Sama halnya dengan Sahara, gadis itu tampak lebih pendiam dari sebelumnya namun tidak sampai mengurung diri seperti Sergan. Karena saat ini, ia harus menjaga Ibunya yang sedang sakit dan kini sedang dirawat di rumah sakit.
Semenjak kepergian suaminya, Tasha, Ibunda lebih sering drop dan mengalami demam tinggi disertai muntah yang berkepanjangan. Imunnya menurun drastis dan semua penyakit yang semula hampir sembuh kini muncul kembali.Sehari setelah pemakaman Afgar, Ayah Sahara. Tasha mengalami demam tinggi dan muntah, dan esoknya muntah darah hingga dua hari kedepannya. Melihat kondisi Ibunya yang sangat parah, Sergan dan Sahara segera membawanya ke rumah sakit. Dan setelahnya, Tasha koma.
Sahara tidak tau musibah apalagi yang menimpanya melihat Ibunya koma, yang ia takutkan saat ini adalah, Ibunya juga akan menyusul Ayahnya? Sahara menggeleng cepat. Enggak. Ibunya harus sehat kembali.
Pintu bernuansa putih itu terbuka, masuklah Sergan dengan balutan kaos berlapis kemeja. Laki-laki itu berdiri di samping Sahara yang dari awal hingga akhir hanya memperhatikan Ibunya, mewanti-wanti jika ada perubahan dari kondisi Ibunya.
"Ra." Panggil Sergan, tangannya menyentuh puncak kepala Sahara, yang membuat gadis itu menoleh, "Tadi pagi gue di telepon pihak sekolah, nanyain kapan lo bisa masuk, karena Minggu kemarin Lo gak ngikuti kegiatan MOS."
Sahara terdiam, kapan? Ia pun tidak tahu kapan ia akan masuk sekolah karena ia masih ingin menjaga Ibunya yang masih tak sadarkan diri. Ia ingin berada di sisi Ibunya ketika Ibunya itu membuka mata, ia ingin menjadi orang yang pertama yang dilihat Ibunya ketika terbangun nanti.
Sahara memang baru masuk SMA di tahun ini, namun tidak sempat mengikuti kegiatan pertama yang diadakan oleh sekolah, karena Ayahnya meninggal kemarin.
"Gue ngerti, lo masih mau ngejaga Mamah. Lagi pula pihak sekolah ngasih dispensasi sampai dua Minggu ke depan. Setelah itu Lo harus masuk."
Gadis itu mengangguk mengerti, "Tapi kapan Mamah bakal sadar Kak? Gue takut Mamah bakal pergi juga nyusul Papa." Lirih gadis itu, kepalanya menunduk.
Sergan tertegun mendengar ucapan adiknya ia segera menarik Sahara kedalam pelukannya. Ini memang tidak mudah, terlebih bagai Sahara.
"Ini memang gak mudah, kita cuma bisa berdo'a semoga Mamah bisa terbangun dan sembuh. Jangan berpikir yang enggak-enggak." Ucap Sergan lembut seraya mengelus kepala sang adik.
"Kak."
"Hm?"
"Tetap di samping gue ya Kak, jangan tinggalin gue. Karena saat ini cuma Kakak yang masih stay di sini."
Sergan menatap manik mata coklat terang milik adiknya, menangkap pipi Sahara dengan kedua tangannya, "Hei, dengerin gue ya. Kalaupun besok gue gak ada di samping lo, tapi sayang gue tetap sama dan selalu menyertai kemana pun lo pergi."
Sahara menggeleng, "Enggak, Lo gak boleh pergi. Lo harus janji." Sahara mengangkat jari kelingkingnya, namun Sergan menggenggam tangan itu. Ia tersenyum.
"Gue gak bisa janji."
Sahara terdiam, "Terus kalau Lo gak ada, siapa yang jagain gue sama Mamah?"
"Jika sekalipun gue pergi, percayalah, akan datang seseorang yang mampu ngejaga lo lebih dari gue dan Papa. Dia akan menjaga Lo lebih dari nyawanya sendiri."
Sahara menatap sinis Kakaknya,"Apaan sih Kak, lo ngomongnya ngelantur terus. Lagian siapa yang bakal datang?"
"Someone special to you. He will come tomorrow. On time. Believe me."
Gadis itu terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAHARA MALADEWA
Romance3 bulan. Gue kehilangan orang yang gue sayang. -Szalbyan Sahara D.- 3 bulan. Gue merasa nyaman dan di butuhkan. -Maladewa Sagarmantha- ****** HAII GUYSS!! SE...