Susilawati, atau yang dikenal dengan nama Susi itulah nama gadis tersebut. Seorang gadis remaja, keturunan ningrat kota Bandung pada masanya yang sangat senang sekali belajar, selalu bersemangat ketika sekolah perawan, dan berkumpul dengan kedua sahabat lain ras nya, Ning dan Elle. Di sekitaran jalan Braga lama, Susi selalu menyempatkan waktunya untuk berkumpul dengan mereka sambil sesekali bercanda ria, melepaskan penat setelah seharian bersekolah di sekolah khusus wanita di daerah Lengkong. Jauh memang. Tapi hanya disitulah sejak jaman kolonial menduduki tanah air, para pelancong berkumpul. Mungkin itulah salah satunya yang Susi kenang sebelum Nippon datang ke Indonesia dan mulai menjajah negeri ini dengan membabi buta.
.
.
.
.
.
.Ayah Susi, Kang Sunandar Kumara, adalah seorang tuan tanah di daerah Ciwidey yang lumayan terkenal karena kegigihan nya dalam berbisnis, bahkan sejak VOC muncul menginvasi perdagangan internasional, Kang Sunandar adalah orang pertama yang berhasil menjalin kerjasama baik dengan salah satu saudagar nya yang bernama Mr Hubert Van Der Dijk dari Den Haag. Itulah mengapa bisa di bilang jaman itu, kehidupan Susi aman aman saja meskipun banyak diantara para warga negara kita menderita karena sistem kerja paksa yang di sebut dengan Kerja Rodi. Bukan berarti disini Kang Sunandar adalah pengkhianat bangsa, tapi di balik keramahan nya kepada para saudagar kaya dari Netherlands itu, diam-diam dia melepaskan para korban kerja paksa dengan mengajak mereka bekerja di ladang kebun dan banyak tempat usaha miliknya di pinggiran kota Bandung. Kang Sunandar pintar memanipulasi para orang Belanda disana dengan omongannya selain mereka sendiri yang menemukan keuntungan karena usaha dari dia sebagai seorang pribumi yang sukses.
Contohnya saja, Kang Muslih, kakak Susi dia bisa bersekolah di sebuah sekolah khusus Belanda dan priyayi Indonesia dengan gratis, lanjut bekerja di sebuah kantor surat kabar terkenal dengan mudahnya, begitupun dengan nasib kakak perempuannya, Neng Eulis dan dirinya. Partner usaha ayahnya, Mr Hubert Van Der Dijk yang menjamin semua anak-anak kang Sunandar dengan cuma-cuma. Nah, dari sanalah Susi bisa mengenal sosok Eleanor Wilhelmina Van Der Dijk yang juga kelak menjadi sahabat seperjuangannya dalam melawan kekerasan yang dilakukan Nippon kepada para wanita disana. Walaupun pada akhirnya Susi lah yang berjuang sendirian.
Saat usia Susi masuk sepuluh tahun, ayahnya mengirimkan Susi untuk belajar di sekolah rakyat khusus wanita di daerah Lengkong atas rekomendasi Mr Van Der Dijk, kakek dari Elle. Mr Van Der Dijk membawa serta istri dan kedua anaknya untuk tinggal di Indonesia, sementara dia berdagang dan berbisnis disini. Salah satu anak Mr Van Der Dijk, bernama Marianette Bellatrix Van Der Dijk sudah berkeluarga membawa serta juga kedua anaknya, Elaine, dan Pieter, juga suaminya Chris untuk turut serta membangun hidup baru di Indonesia. Mungkin sudut pandang ini cukup menegaskan jika keluarga Mr Van Der Dijk tidak ada hubungannya dengan niat para pemerintah kolonial Belanda untuk menginvasi Indonesia atau semacamnya. Dia hanya ingin berbisnis, berdagang dengan damai disini. Itulah sebabnya Kang Sunandar, ayah Susi berani bekerja sama dengannya.
Hingga pada akhirnya, salah seorang saudagar kaya dari klan Tionghoa-Sunda bernama Koh Mutaslim Chang muncul, ikut bekerja sama juga dengan Kang Sunandar dan Mr Van Der Dijk saat keduanya sedang meninjau sebuah pabrik susu murni di daérah Cikole, Lembang. Kebetulan Koh Mutaslim sebutannya adalah seorang Tionghoa muslim yang sangat dermawan. Dia sering kali membeli banyak susu murni untuk kemudian di bagikan kepada tetangga sekitar rumahnya yang mempunyai bayi atau balita. Usaha restauran Chinese halal miliknya berkembang pesat sampai keluar negeri dengan mudahnya. Belum lagi usaha percetakan packaging untuk berbagai macam bungkusan makanan atau minuman yang di produksi oleh para pribumi dengan harga yang murah. Menurutnya, usaha dari dalam negeri perlu di lestarikan, tidak boleh kalah oleh usaha yang di bangun para pemerintah kolonial Belanda yang ada di Indonesia tercinta ini.
"Kita harus bisa mensupport bangsa ini agar maju, apapun alasannya. Saya harap anda tidak tersinggung, Mr Van Der Dijk." Kata Koh Mutaslim suatu hari.
Mr Van Der Dijk tertawa renyah sambil memakan sebuah pisang goreng yang di suguhkan oleh istri Kang Sunandar tersebut lantas pria asli Den Haag itu menjawabnya dengan santai.
"Nein*, tenang saja. Aku datang kesini hanya untuk berdagang, berbisnis dengan damainya bersama keluargaku. Di Belanda berbisnis terlalu banyak saingan Bung, apalagi usahaku disini hanya membuat makanan yang terbuat dari saripati susu seperti keju dan sebangsanya. Aku dukung apapun yang akan kalian lakukan, aku tidak seperti penjajah yang ada di luaran sana, Koh."
"Syukurlah kalau begitu, aku harap kerja sama ini akan terus berlangsung sampai anak cucu kita nanti."
"Harus itu. Kapan lagi ada orang béda bangsa bisa hidup berdampingan dengan cara yang sangat kompetitif begini kan?" Kali ini Kang Sunandar yang berbicara.
Ketiga pria itu tertawa lepas sambil menikmati sore yang damai, sesekali mengawasi ketiga putri mereka sedang bermain di halaman rumah Kang Sunandar.
"Lihat, ketiga putri kita sudah bersahabat erat, anakmu, Susi, juga anak koh, Ning, sangat menyambut baik kedatangan Elle cucuku. Aku pikir Elle akan merengek minta kembali ke Belanda lagi, tapi ternyata tidak. Gadis itu sangat senang tinggal disini dan berteman dengan anak-anak kalian. Aku bersyukur sekali. Elle berpikir jika ternyata memang Indonesia se-ramah itu. Walaupun sebenarnya Elle tidak tahu, kalau ayahnya adalah seorang tentara yang juga berniat menjajah negeri ini. Sudah ku perintahkan menantuku itu untuk segera pensiun dari karir tentaranya, tapi dia bersikukuh akan tetap menjadi tentara disini, padahal aku sendiri niat dari awal datang ke Hindia Belanda dengan damainya. Entah apa yang akan terjadi ketika aslinya mereka keluar dari kandang." Kata Mr Van Der Dijk panjang lebar sambil menghela nafasnya dalam.
"Yah siapa pula yang ingin peperangan macam ini terjadi kan?" Sela Koh Mutaslim.
"Iya. niemand weet*."
"Yang terpenting sekarang adalah berbuat baiklah kepada sesama, agar anak-anak kita tahu kalau tidak semuanya perang dunia itu buruk. Masih banyak orang-orang baik di sana. Mereka berhak hidup lebih baik dari kita. Walaupun sebenarnya ancaman bisa saja datang dari manapun tanpa aba-aba." Kali ini Kang Sunandar yang memberikan pendapatnya.
"Anda benar, aku sudah mendengar banyak dari berita di radio ataupun media cetak, kalau Nippon sudah mulai menduduki negara tetangga kita. Apakah dengan begitu kita juga harus bersiap menghadapi mereka?" Tanya Koh Mutaslim.
Kang Sunandar menghela nafasnya dalam. Memalingkan tatapannya ke arah Mr Van Der Dijk yang sedang menatap kosong.
"Tentu saja, kapanpun itu. Aku ingin memastikan keluargaku aman sebelum mereka datang. Bukan tidak mungkin kan para Nippon itu akan mampir juga kemari untuk mengganggu negara kita?"
"Bukan hanya mengganggu negaramu, Kang Sunandar, tapi juga membantai semua orang-orang Belanda yang ada di sini. Aku yakin itu. Dan jujur saja, ini menjadi ketakutan ku jika itu benar-benar terjadi."
Kang Sunandar menepuk pundak Mr Van Der Dijk, menenangkan pria paruh baya itu sebisa mungkin.
"Kalau itu terjadi kita kabur saja bersama. Mudah kan?"
"Kabur kemana? Bunker?" Tanya Mr Van Der Dijk.
"Bisa, atau mungkin bersembunyi di pabrik? Hehe."
Perlahan aura wajah Mr Van Der Dijk berubah menjadi cerah, pria Belanda itu tertawa lagi.
"Dasar gila! Mentang-mentang yang kita punya hanya sebuah pabrik disini jadi anda memutuskan untuk bersembunyi disana? Haha ide macam apa itu, Kang Sunandar."
Kang Sunandar menopang dagunya seolah-olah sedang berpikir keras.
"Hmm atau buat bunker dadakan, haha mana tau kan mereka tidak bisa menemukan kita."
Pembicaraan alot yang menyenangkan itu terus bergulir dengan nyamannya sebelum kehancuran yang sesungguhnya dimulai.
"Yang jelas, aku ingin menyelamatkan anak dan istriku dulu. Apapun yang terjadi mereka harus selamat."
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
SUZUME
Fiction Historique"Ini bukan tentang cinta sejati tapi juga tentang pengorbanan terhadap negara." ~ 1945 ~ "Aku sendirian, sejak lahir sendirian, tumbuh besar bermain dengan kedua sahabatku yang berbeda ras, setia sampai pada akhirnya aku melihat keduanya tewas dalam...