Terkadang kau hanya mencari berbagai alasan untuk tetap hidup, aku terus mengatakan bahwa semua hal yang aku hadapi itu adalah hal yang baik baik saja.
Tidak.
Aku tidak baik baik saja.
Aku tidak baik baik saja ketika ibuku berkata bahwa aku tidak boleh berpakaian sesuai dengan keinginanku, bahwa aku harus menutup bagian yang jelek dari tubuhku, bahwa aku tidak boleh mengenakan make up, berdandan, dan bangga memiliki tubuh ini.
tidak, aku tidak baik baik saja ketika ayahku berkata bahwa aku telah gagal mendapatkan semua impian yang kuinginkan, bahwa semua yang aku dapatkan sebenarnya bukanlah karena usahaku, namun, hanya karena aku beruntung.
tidak, aku tidak baik baik saja ketika kakakku berkata bahwa aku adalah titik masalah dimana orang orang mengejek dan memperlakukanku tidak adil, bahwa selama ini aku hidup terlalu enak sehingga aku selalu membesar besarkan masalah.
Tidak, dengarkan, aku sedang tidak baik baik saja... aku tidak baik baik saja, ketika aku bercerita namun pacarku justru berkata bahwa aku memiliki keluarga yang sempurna, hidup yang sempurna, bahwa keluargaku lebih kaya dan lebih hebat dibandingkan dirinya.
sungguh, aku sedang tidak baik baik saja, ketika aku bersikap angkuh, kuat dan sombong.
mereka, aku benci ketika mereka bersikap empatik terhadap masalah orang orang yang tidak mereka kenal, namun berkata bahwa aku terlalu berlebihan ketika aku bercerita kepada mereka.
mereka, aku sangat marah ketika mereka merasa kasihan kepada orang orang yang mati diluar sana karena merasakan hal hal buruk semasa hidupnya, tetapi berkata bahwa akulah seseorang yang memiliki kepribadian yang buruk, sehingga semua hal yang terjadi dihidupku adalah salahku.
aku benci, aku benci diriku sendiri yang bahkan tidak bisa berpura pura tuli akan semua bisikan yang mereka katakan kepadaku, tentangku, dan dibelakangku.
aku benci kepada diriku yang menyukai kegelapan, yang suka akan hal yang membuatku tersakiti, yang mencintai musik musik pengantar tidur, ketika aku benar benar hancur, dan ketika aku kehilangan segalanya.
aku benci diriku yang menyukai kebohongan yang dikatakan oleh orang orang disekelilingku tentang betapa hebatnya diriku.
aku benci diriku yang menginginkan perhatian dari banyak orang, yang menginginkan orang orang untuk mencintaiku.
karena aku tahu, seberapa kosongnya diriku.
tahu seberapa kosongnya jiwaku.
betapa kosongnya hatiku.
aku tahu betul sekali tentang hal itu, namun, apa yang bisa kulakukan?,
ayahku bilang aku tidak butuh psikolog, aku hanya butuh mendekatkan diriku dengan tuhan.
lalu, tuhan mana yang sebenarnya selama ini aku sembah?, bukankah selama ini aku tidak pernah meninggalkan ibadahku?, bukankah selama ini aku selalu menjauhi hal hal yang dilarang oleh tuhanku?. lalu, hal apalagi yang harus kulakukan?.
apakah aku seberdosa itu hingga harus melalui semua ini?.
jikalau pun aku membunuh diriku, tuhanku akan menghukumku di neraka.
jadi, sekarang apa yang harus kulakukan?.
kalau tuhan tidak ingin kita melakukan hal hal buruk, kenapa kita diciptakan dengan perasaan ini? perasaan begitu mencekik ini?.
ya, aku memiliki beberapa orang yang memang peduli denganku, yang membuatku bahagia, dan yang selalu ada disisiku.
namun, aku benar benar minta maaf, amarah ini sudah terlalu besar, sedih ini sudah begitu dalam, dan bahagiaku sudah susah untuk digapai.
___________________________________________________________________
"Sunny, kau sudah pulang?" ucap seorang wanita paruh baya, ketika gadis yang ia panggil itu tengah membuka kunci kamar apartemen yang saat ini ia bagi dengan sahabatnya. Gadis itu pun menoleh kearah Bu Jiah yang merupakan tetangganya dan Nana, Sunny tersenyum dan mengangkat barang yang ia tenteng ditangan kirinya, sebuah kotak berisi kue stroberi kesukaan sahabatnya,
"hari ini Nana ulang tahun!, aku ingin memberikannya kejutan, apakah Bu Jiah ingin ikut?" tanya Sunny dengan senyum lebarnya, excited dengan pemikiran bagaimana terkejutnya Nana ketika ia pulang dan melihat kue yang ia beli. Bu Jiah pun mengangguk antusias "Benar juga, namun sepertinya tadi sore aku sudah melihatnya pulang" ujar Bu Jiah dengan senyum khasnya, Sunny membesarkan matanya, "Yah, kalau begitu gimana dong ini, Bu?" kata Sunny yang dibalas dengan kekehan dari Bu Jiah, "kita nyalain lilinnya aja sekarang, nanti kamu yang bukain pintu ibu yang bantu bawain kuenya" ujar Bu Jiah, yang disetujui oleh Sunny,
Gadis itu pun menyalakan lilin yang sudah ia pasang dengan apik diatas kue stroberi yang disukai oleh Nana, kemudian setelah aba – aba yang ditunjukan oleh Sunny, mereka pun memasuki kamar apartemen Nana dan Sunny, "Nana, apakah kau sudah pulang?" ujar Sunny, mencoba untuk menahan tawa dan senyum sumringahnya Ketika ia melihat sepatu Nana memang sudah tertata di rak sepatu mereka.
Anehnya, tidak ada balasan apapun dari Nana. Setahu Sunny walaupun Nana memiliki waktu luang atau pulang lebih cepat, sangat mustahil bagi gadis itu terlelap dibawah jam 10 malam, sedangkan ini saja masih jam 7.
"Nanaa~, where are you?" ucap Sunny lagi, gadis itu pun menaruh tas kerjanya di sofa dan beranjak membuka pintu kamar mereka, "Nana! Happy..." kalimat Sunny terpotong lantaran tidak menemukan Nana dikamar mereka, hal tersebut membuat Sunny terdiam lantaran kebingungan akan keberadaan sang sahabat, kemudian barulah telinganya menyadari suara hilir air keran dari pintu kamar mandi yang sedikit terbuka di pojok ruangan,
Sunny pun mendekati pintu tersebut dengan langah yang berat karena perasaan cemas yang tiba – tiba menghampirinya. Tangannya pun dengan lemas membuka pintu tersebut dan sontak hal pertama yang ia lihat pun langsung membuatnya terdiam,
"AAAAAH!!!" Teriakan Bu Jiah sontak mengisi ruangan apartemen yang seketika terasa mencekam, Wanita paruh baya itu pun menjatuhkan kue stroberi yang sedari tadi beliau pegang.
Sedangkan mata Sunny tidak dapat berpaling dari cairan berwarna merah yang mengelilingi tubuh sahabatnya tersebut, yang kini tengah terduduk dilantai dengan sebilah pisau di tangan kirinya.
Nana, Apa yang telah kau alami sehingga hal ini bisa terjadi? Kenapa? Kenapa aku tidak bisa mencegahmu? dan mengapa aku tidak tahu apapun?
Terdapat hampir 100 hari yang aku lalui dengan berbagai kabar buruk, namun, kali ini aku tidak yakin dapat mengatasinya.
Sebuah petir seakan menyambarku. Kelalaianku akan perasaan yang selama ini dirasakan oleh sahabatku, ketidak mampuanku akan menjaganya, dan kesalahanku karena jarang ada untuknya. Semua itu seperti ditamparkan kemukaku di hari tersebut,
Hari yang seharusnya kau rayakan akan kedatanganmu ke dunia, justru kini menjadi hari dimana kau memutuskan untuk berhenti berada di dunia.
Nana... kenapa kau pergi begitu cepat?.
YOU ARE READING
Hiraeth : The Lost Place We Called Home
Roman pour AdolescentsHiraeth (n.) a homesickness for a home to which you cannot return, a home which never was; a nostalgia, the yearning, the grief for the lost places of your past. Copyright ongoing~ 1/5/2022 Hope you all like it!!