Dita dan Jojo

4 1 0
                                    

Di tengah acara renungan malam, di temani api unggun yang menghangatkan dan menerangi malam. Serta beberapa peserta yang hadir berwajah muram malam itu.

"Bayangkaan, saat kita pulang..." seru seorang pemandu acara.

"Ada bendera kuning yang tiba-tiba terpasang di depan pagar rumah kita!" Lanjutnya.

Lalu, Mulai terdengar rintihan kecil menahan isak tangis dari beberapa peserta. Bahkan beberapa yang lain ada yang sudah mulai menangis.

Lalu pemandu melanjutkan lagi
"lalu, kita bergegas masuk ke dalam rumah.."

Suasana hening sejenak.

"Tiba tiba kita menemukan tubuh orang tua kita terbujur kaku! Dan sudah di balut oleh kain kafan!"

Tangisan pesertapun pecah, banyak yang menjerit. Akupun sedikit berkaca-kaca, namun aku tahu ini hanya acara klise yang sering diadakan setahun sekali untuk kelas 12 yang mau menghadapi ujian masuk universitas.

"Bayangkan akan penyesalan kita, kita belum sempat membuat mereka tersenyum melihat kita tumbuh dewasa dengan baik, belum cukup berbuat baik, dan berbakti kepada mereka dengan sungguh-sungguh. Apakah kita sudah mencoba untuk tidak merepotkan orang tua? Sedikit saja membantunya dengan melakukan tugas remeh untuk membantu mengurangi beban mereka! Pikirkanlah kembali adik-adik!" Lanjutnya.

Akupun mulai menangis mendengar kalimat tersebut. Karena, aku masih ada rasa bahwa aku belum cukup baik untuk membuat ibu dan ayahku bahagia. Yang aku bisa lakukan hanyalah merepotkan mereka. Aku sedih. Karena penyesalan dan rasa bersalahku. Aku malu atas diriku sendiri. Terkadang aku masih menolak dan melawan permintaan tolong dari ibu dan ayahku. Ya, mereka memang sangat merepotkan. Namun terkadang saat mereka sedang tidur, aku memandangi wajah mereka dan berpikir, bagaimana jika mereka tidak bangun lagi? Bagaimana jika sebelum tidur tadi adalah kali terakhir aku berbicara dengan orang tuaku? Bagaimana jika pejaman mata orang tuaku ini akan berlangsung selamanya? Ah.. maka dari itu aku sedih atas diriku sendiri, mendengar kalimat yang terucap dari pemandu acara. Kali ini ia benar, dan tidak benar-benar klise.

Di tengah-tengah air mata membanjiri wajahku, aku memperhatikan peserta yang menangis di sekelilingku, disela-sela tangisan tersebut ada satu hal yang bisa mengalihkan perhatianku.
Ada seorang peserta, di baris sebelah jaraknya terpisah satu orang di belakangku, yang terlihat sangat tenang. Bahkan tersenyum sayu. Ternyata itu temanku, jojo.

"Lah? Orang laen nangis ini kok senyum. Aneh banget ni orang" gumamku dalam hati.

"Ni orang ga sayang sama orang tua gitu" lanjutku.

Di tengah aku fokus memperhatikan dia, tiba-tiba jojo melihat ke arahku, sambil tertawa. Aku langsung mengusap air mataku yang mengalir deras, serta membalasnya "oy" dengan senyuman sebisaku dan anggukan kecil yang biasa dipakai untuk bertegur sapa dengan orang lain.

"Anjeng bisa bisanya si jojo lagi gini liat gua sambil ketawa" pikirku, dengan sangat terheran heran.

Akhirnya aku kembali berfokus dengan renunganku, karena saat ini, aku hanya ingin bisa berubah menjadi orang yang lebih baik setelah pulang dari sini.

Esokpun tiba, sisa renungan semalam masih tertanam sangat dalam di benakku, bak akar pohon yang sangat tua. Menancap dengan kuat, mengakar dengan luas.
Aku melamun di tepi kolam renang, kembali memikirkan apa yang harus aku ubah saat aku kembali bertemu dengan orang tuaku.

"Duaar!" Terpecah lamunanku tiba tiba ada yang mengagetkanku dari belakang. Aku langsung melihat ke belakang

"Jiaah semalem lu nangis kejer yak hahaha, cengeng lo gitu doang" ternyata Jojo.

Dita dan Jojo.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang