Prolog.

9 4 4
                                    

Suara petir yang menggelegar dan derasnya guyuran air hujan menjadi tema mencekam di sabtu malam. Meski begitu, masih ada sepasang kekasih yang menghabiskan malam dengan bermesraan di kafe, tepat selepas menikmati makanan, laki-laki bernama Nathan mulai membuka suara sambil salah satu tangan membelai lembut tangan pacarnya. "Eliana," lirih orang itu, membuat si empu nama yang selesai meneguk minuman langsung memandangnya.

"Iya, Sayang. Ada apa?"

"Ada hal yang ingin aku katakan padamu."

Eliana memandang intens wajah Nathan dengan jantung berdebar dan rasa penasaran. Pasalnya, raut muka pacarnya terlihat sangat tegang juga serius, hingga dirinya berpikir jika kekasihnya itu ingin segera melamarnya. Namun, ternyata itu salah, sebab kalimat yang keluar dari mulut Nathan berbeda dari pikiran Eliana.

"Aku mau kita putus," jelas lelaki yang memiliki rambut belah samping dan wajah tampan.

Jantung Eliana seakan berhenti berdetak, sebelum kembali berdegup pelan serta diikuti raut muka sedih dan bola mata melebar. "Gak lucu ih becanda kamu," sahut Eliana yang merasa jika kekasihnya hanya bergurau. Namun, Nathan menarik mundur tangannya sambil tetap melihat wajah Eliana tanpa berkedip. "Aku serius, Sayang. Kita harus berpisah dan tak mungkin lagi bersama," papar lelaki itu sembari mengulas senyum masam serta mata berkaca-kaca.

"Kenapa, Nathan! Kenapa!" cecar Eliana yang tiba-tiba berdiri dari tempat duduk dan menangis. "Bukankah hubungan kita selama ini baik-baik saja?!"

Nathan bungkam sekaligus memalingkan pandangan, muncul rasa pilu di hati ketika melihat kekasihnya berurai air mata. Namun, dia harus kuat, sebab ini adalah pilihan terbaik baginya juga untuk Eliana. Usai menenangkan suasana hatinya yang kacau, Nathan bangun dari kursi serta berpamitan pada pacarnya sebelum melangkah pergi. "Maaf, tapi ini adalah jalan terbaik untuk kita."

"Nathan!" racau Eliana memanggil nama pacarnya seraya menangis, "Nathan, jangan pergi!" Tentu saja kejadian ini mengundang perhatian dari orang-orang yang berada di kafe, tetapi gadis itu mengabaikan hal tersebut karena sedang dirundung kesedihan. Ia lalu terduduk lemas dengan kedua tangan menutup wajah, hanya air mata dan suara isak tangis yang menggambarkan kesedihan hatinya.

Beberapa Jam Kemudian.

Eliana yang masih berurai air mata memacu mobilnya di jalan raya dengan kecepatan penuh, bahkan mengabaikan rambu lalu-lintas dan beberapa kali menerobos lampu merah. Ia yang tengah galau parah terus saja menginjak pedal gas serta tidak mengurangi kecepatan sama sekali, sampai perempuan itu terkejut tatkala mendengar suara klakson dari sebuah truk yang datang dari sisi lain persimpangan jalan raya. Eliana segera membanting setir guna menghindari kecelakaan, naas, karena jalanan licin akibat air hujan, mobilnya tergelincir hingga berguling tiga kali di aspal. Kondisi mobil tersebut rusak parah, sama persis dengan keadaan pengemudi mobil yang mengalami luka parah, tapi, Eliana masih sadar meski pandangan matanya perlahan buyar sebelum redup sepenuhnya.

"Tolong ...," rintih gadis itu sebelum matanya terpejam.

Orang-orang segera berdatangan guna memberikan pertolongan pertama, sekaligus menelepon rumah sakit demi menyelamatkan korban. Sedangkan si supir truk keluar dari truk karena dihadang oleh beberapa warga dan takut diamuk massa.

****

Enam Bulan Berlalu.

Seorang suster sedang memeriksa kondisi pasien yang telah terbaring koma selama enam bulan, hingga tiba-tiba raut muka suster tersebut berubah saat melihat jari-jemari si pasien bergerak, diikuti kelopak mata yang secara perlahan ikut terbuka. Dia segera membuang rasa terkejutnya, kemudian berjalan cepat keluar ruangan untuk memanggil dokter. Tak berselang lama dokter serta suster tadi masuk ke ruangan, pria itu segera memeriksa tubuh dari pasien, diikuti berkata kepada suster. "Sus, tolong hubungi keluarga pasien tentang hal ini."

"Iya, Dok," sahut si suster, disusul melangkah pergi dari ruangan. Ingin segera menyampaikan kabar bahagia kepada keluarga pasien.

Di sisi lain, Eliana menatap bingung pria yang berpakaian serba putih dan tengah memeriksanya. Pandangan matanya masih belum terlalu jelas, tetapi tahu bahwa orang di depannya adalah dokter, pasalnya masih mengingat jika semalam dirinya mengalami kecelakaan hingga pingsan, sama sekali tidak mengetahui kalau sudah enam bulan terbaring di rumah sakit. Satu jam kemudian, pintu ruangan terbuka dan menampilkan seorang pria bersama wanita berdiri kaku dengan tubuh bergetar tatkala melihat perempuan yang tengah menatapnya. Mimik wajah kedua orang itu memperlihatkan gabungan perasaan sedih juga bahagia, disertai bola mata berkaca-kaca seolah tidak kuat lagi membendung air mata. Secara perlahan, mereka mendekat sembari menyebut pelan nama perempuan itu. "Eliana ...." Lalu, memeluknya dengan hangat sambil menumpahkan air mata.

"Kakak, kakak ipar," lirih Eliana pada kakak laki-lakinya bersama sang istri. Ia memandangi dua orang itu hingga muncul rasa bersalah dalam hati. "Maafkan aku, Kak," sambungnya karena telah membuat khawatir serta sedih kedua orang tersebut.

Namun, kakak kandung dari Eliana beserta istrinya hanya menggelengkan kepala dan tidak menjawab, memilih membelai lembut wajah dan kepala adiknya. Baru sesudah itu, dengan suara serak ia berbicara. "Kakak senang kamu akhirnya sadar." Diikuti anggukan kepala dari kakak ipar Eliana.

Nama kakak dari Eliana adalah Pandu Alatas, seorang pria berusia tiga puluh empat tahun dan telah menikah selama sepuluh tahun. Sedangkan istrinya, bernama Emilia Kumala Sari, seorang perempuan berumur tiga puluh satu tahun serta memiliki wajah cantik yang telah melahirkan satu orang anak laki-laki.

Eliana mengerutkan kening ketika merasa agak aneh dengan ucapan kakaknya, berpikir jika ada hal yang sedang disembunyikan. "Ada apa, Kak?" tanyanya yang tidak mampu menahan rasa penasaran.

Pandu menatap iba adiknya, sebelum berpaling ke dokter untuk meminta ijin mengatakan sebenarnya. "Dok," pintanya, yang dibalas anggukan kepala oleh pria yang mengenakan kacamata. Setelah itu, kembali memandang Eliana sambil tersenyum masam. "Kamu ... sudah enam bulan koma." Diakhiri dengan suara tangis dan aliran air mata.

Eliana sangat kaget akan penuturan kakaknya, ekspresi mukanya menegang dan mata membola sempurna, sedikit tak percaya kalau selama enam bulan dirinya terbaring koma di rumah sakit. Namun, pada akhirnya perempuan itu hanya menghela napas sambil berusaha menenangkan isak tangis kakaknya. Hal serupa pun dilakukan oleh Emilia, yang menyentuh bahu sang suami agar berhenti menangis serta tegar, apalagi sekarang Eliana sudah sadar dan akan kembali sehat seperti sedia kala.

Kedua tangan suami Emilia bergerak menghapus air mata, disusul memandang lekat-lekat adiknya sambil bertanya tentang hal yang terjadi hingga menyebabkan kecelakaan. Eliana pun menjelaskan secara jujur hal yang terjadi padanya sebelum kecelakaan, yang langsung membuat Pandu naik pitam. "Biadab!" umpat laki-laki itu, kemudian hendak pergi mencari Nathan, akan tetapi, upayanya dicegah oleh adik dan istrinya.

"Sayang, tenanglah. Semua sudah terjadi dan berlalu, mari kita lupakan masa lalu serta melangkah maju," papar Emilia yang disambung kalimat oleh Eliana. "Benar, Kak. Lagipula aku tidak ingin berurusan lagi dengan orang itu."

Pandu menoleh ke belakang, melihat dua wanita yang sangat berarti di hidupnya, lalu, mengembuskan napas panjang sebelum bibirnya mengulas senyum masam. "Baiklah jika itu mau kalian." Pasalnya, sama sekali tidak dapat menolak keinginan mereka.

*****

Kelas A1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang