Tak Ada Niat Baik yang Sia-Sia

8 2 0
                                    

Pagi ini Kota Malang dingin seperti biasa. Walau tengah memasuki waktu duha sejak dua jam lalu, suasananya masih seperti ba'da subuh. Mungkin karena tadi malam ada guyuran hujan yang panjang hingga subuh menjelang. Rosyidatul Masfufah, mahasiswi salah satu kampus Islam di Kota Hujan telah siap memberikan surprise kepada Dinar, sahabatnya sejak awal kuliah. Tepat Jum'at kemarin, Dinar telah melaksanakan seminar proposal.

Tok Tok Tok

Assalamualaikum

Rosyida mengetuk pintu kos Dinar sembari mengucapkan salam.

Satu menit, dua menit, tiga menit, ketukan dan salam ketiga telah diucapkan. Namun sepertinya tak ada tanda-tanda kehidupan. Tiba di menit keempat, pintu kos Dinar terbuka. Dengan wajah tersenyum namun mata yang berair, ia mempersilakan Rosyida masuk.

"Kamu kenapa, Din? Kok matanya sembab gitu? Ada masalah apa? Bukannya kemarin kamu baru selesai seminar proposal?"

Rosyida memborbardir sahabatnya dengan berbagai pertanyaan. Siti Atikah Dinar Hasan atau yang akrab dipanggil Dinar merupakan mahasiswi semester 8 jurusan Hukum Keluarga Islam (HKI) yang baru sehari melaksanakan seminar proposalnya. Dinar tampak sedih dan suntuk, apakah kemarin revisian sangat banyak? Batin Rosyida.

Bukannya menjawab pertanyaan Rosyida, Dinar justru menangis tersedu-sedu dan malah membuat Rosyida semakin bingung. Setelah agak tenang, Dinar akhirnya membuka percakapan.

"Kamu masih ingat dengan Zaki Sastra Arab dan Wirda Sastra Inggris?"

"Kalau Wirda pasti ingat, aku pernah sekelas sama dia, dan wait.. kalau ga salah si Wirda dan Zaki teman kelompok KKN-mu semua, 'kan?" Rosyida bertanya balik.

"Iya, betul." Jawab Dinar.

"Iya ingat, kenapa kok tiba-tiba ngomongin Wirda dan Zaki?"

"Sekitar seminggu yang lalu, aku minta tolong Wirda untuk nyampein sesuatu ke Zaki, dan Zaki menolaknya," jawab Dinar.

"Sesuatu apaan, Din?"

"Aku berniat mengajak Zaki taaruf. Aku meminta tolong Wirda untuk menyampaikan isi hatiku. Zaki tak langsung menjawab. Ia baru menyatakan ketidaksediannya tadi malam. Katanya merasa tidak kufu denganku." Dinar menjawab dengan tegar walau matanya masih berkaca-kaca.

"Aku tidak paham, standar kufu yang dimaksud Zaki itu seperti apa." Dinar melanjutkan. "Zaki bilang ia belum mapan. Padahal aku tahu sendiri dia kuliah nyambi jadi freelancer dan guru les privat. Omzet olshop-ku juga lumayan. Abah sudah menyediakan rumah untukku dan suamiku kelak. Lalu apa lagi yang ditakutkan?"

"Kamu yakin Zaki hanya bilang belum mapan saja?" selidik Rosyida.

"Iya Ros."

"Aduh, kenapa suasananya jadi sendu gini yah. Padahal aku rencananya mau ngerayain seminarmu loh. Ini hadiah dariku." Rosyida memberikan bingkisan cantik kepada Dinar.

"Maaf dan terima kasih Ros, kamu kok jadi repot gini."

"Biasa ae, Din. Btw kok tiba-tiba sih kamu suka sama Zaki?"

"Sejak di KKN aku udah suka sama Zaki. Tekadku sudah bulat. Aku juga minta tolong istikharah dengan Ustazah pondokku dahulu, dan hasilnya baik. Tapi kalau dia gak mau, aku ya ga bisa maksa. Aku perempuan dan sadar betul dengan posisiku."

Rosyida flashback dengan masa-masa KKN sekitar setahun lalu. Walau tidak satu kelompok, saat KKN, Dinar kerap curhat padanya. Beberapa kali ia menceritakan tentang sosok Abdullah Zaki, mahasiswa Sastra Arab yang juga alumni Pondok Pesantren Sidogiri. Zaki rajin tahajud, juga ikhlas menjadi muazin hampir di setiap waktu salat. Walapun bukan ketua kelompok, tetapi dedikasinya melebihi ketua kelompok. Pantas saja Dinar yang sangat menjaga pergaulan bisa kepincut padanya.

"Zaki 'kan salah satu pengurus Hai'ah Tahfidz Al-Qur'an (HTQ). Gimana kalau dicoba sekali lagi, Din? Kebetulan pamanku kan Ustaz di sana. Biar sekalian jadi mediator kalian berdua." Rosyida mencoba memberi jalan keluar pada sahabatnya.

"Emang bisa, Ros?"

"Iya bisa. Paman Imam kadang jadi mediator taaruf anak-anak HTQ. Gak ada salahnya ikhtiar sekali lagi. Namanya juga usaha. Biar Allah yang tentukan hasil akhirnya."

"Siap Ros. Jazakillah khoyron ahsanal jaza'. Kamu memang sahabat terbaikku. Terima kasih selalu ada ketika aku butuh." Dinar berterima kasih sembari memeluk Rosyida dengan hangat. Ada perasaan lega dan secercah harapan yang membuatnya bangkit kembali.

"Sama-sama, Beb. Udah ah pelukannya, kamu mandi dulu dan salat duha. Habis itu kita cari sarapan bareng di Buk Jagung seperti biasa."

"Yuhuu...". Dinar pun bergegas ke kamar mandi.

Hikayat DuhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang