Entah apa yang sedang terjadi dengan hidupku, kini semua hal yang kulakukan terasa tidak baik, dan juga tidak wajar. Diusia yang sudah mulai dewasa ini justru malah membuatku takut, dan selalu merasa tidak tenang. Banyak teman yang seusia denganku sudah satu persatu mendapatkan tujuan hidupnya. Soal pendidikan, soal pekerjaan, bahkan soal pernikahan sudah mereka rasakan manisnya dengan tenang. Sedangkan aku masih mengambang, masih terombang-ambing di dalam rumitnya hati dan pikiran sendiri. Aku terus-menerus dilanda kebingungan dari setiap tindakan yang akan, atau sudah kulakukan. Apakah ini benar? Apakah ini sudah sesuai? Apakah ini semua akan baik-baik saja?
"Lo mah enak ya, Sa. Selalu dapet kerjaan yang perusahaannya udah bagus semua.", kata salah satu temanku yang justru tidak tahu betapa aku ingin memiliki pendidikan yang tinggi sepertinya, betapa aku ingin pergi ke luar negeri seperti yang selama ini dia lakukan, betapa aku ingin bekerja sambil kuliah yang sesuai minatnya seperti yang selama ini sudah dia jalani. Dan dia juga tidak tahu kalau aku selalu menangis, dan akhirnya menyerah dari pekerjaan yang faktanya selalu membuatku merasa takut, merasa tertekan, dan merasa frustasi setiap harinya.
"Nggak usah nikah buru-buru, nikmatin aja dulu masa muda lo!", kata temanku yang lain yang sudah memiliki suami, bahkan sudah menjadi ibu dari dua orang anak yang lucu-lucu. Padahal, aku ingin merasakan kehidupan pernikahan yang indah seperti yang sudah dia rasakan. Memiliki pasangan yang bisa diajak berbagi dalam berbagai macam masalah yang ada, memiliki anak yang bisa jadi penghibur hati itu bukankah suatu anugerah yang tidak tertandingi?
Aku ingin memiliki kehidupan yang layak seperti yang lain. Pekerjaan yang selaras dengan mimpi, percintaan yang sesuai dengan ekspektasi, dan serta kehidupan yang selalu beriringan dengan kebahagiaan. Tapi, bagaimana caranya? Mengapa itu semua terasa mudah bagi orang lain, lalu malah terasa sangat sulit untukku? Sebenarnya, apa yang salah?
"Kurang bersyukur.", yang aku lihat dari laman sosial media terkait masalah yang hampir menyerupai dengan masalah yang sedang aku alami.
Katanya, hal itu terjadi akibat kita kurang mensyukuri, dan menghargai apa yang ada di depan mata kita. Dengan kita selalu melihat kebahagiaan, dan kesuksesan orang lain, disitulah timbul rasa tidak bersyukur dari dalam diri kita secara tidak sadar karena ada iri hati yang akhirnya membuat kita selalu membandingi apa yang orang lain punya, sedangkan kita tidak punya. Itu yang meyebabkan kita selalu merasa resah, dan gelisah. Khawatir tidak bisa sebahagia orang lain. Dan ya, hatiku pun cukup tercubit saat mendengarnya. Aku terlalu fokus dengan pencapaian orang lain, tapi aku kurang berusaha lebih keras lagi terhadap pencapaianku sendiri.
"Capek gue, kuliah sambil kerja gini. Tesis gue gak kelar-kelar, banyak banget yang harus dirombak. Gue stress, Sa. Gue tidur sehari cuma dua jam doang, coba deh lo bayangin! Nangis terus gue setiap hari, gue gak sanggup. Rasanya gue mau kayak lo aja bisa cuma fokus sama kerjaan, nggak perlu mikirin tesis segala. Apalagi gara-gara pandemi, gue jadi susah buat ketemu sama keluarga gue. Gue kangen banget sama mereka, Sa. Gue mau peluk mereka..." Ungkap temanku yang sudah hampir lima tahun hidup di negeri ginseng karena sedang mengambil kuliah gelar profesornya sambil bekerja itu secara tiba-tiba kepadaku melalui telepon.
Aku sangat terkejut, ternyata dia juga punya masalah tersendiri, yang memang belum pernah terungkap sedikitpun sebelumnya. Aku benar-benar tidak menyangka, ternyata selama ini hidupnya tidak se-enak yang aku bayangkan. Aku jadi merasa malu, karena aku sangat amat mudah menyerah hanya karena satu masalah yang terjadi di pekerjaanku sebelumnya. Padahal, aku masih bisa berkumpul dengan keluarga lengkapku, aku masih bisa berkeluh kesah secara langsung dengan kedua orangtuaku. Ya Tuhan... ternyata aku yang selemah itu.
"Kesel banget gue Sa, sama ibu mertua gue. Terlalu pilih kasih, gak adil banget sama cucu-cucunya. Kan kasian anak gue, diperlakuin nggak adil gitu sama neneknya sendiri. Padahal gue nggak pernah bantah, gue selalu ngebantuin urusan dia juga. Tapi kenapa bisa dia bersikap gitu,ke anak-anak gue? Udah gitu, ipar gue juga rese banget orangnya. Ikut campur urusan gue sama suami gue terus. Suami gue juga, gak bisa tegas sama orangtuanya, apalagi sama kakaknya. Kesabaran gue udah abis, Sa." Ucap temanku yang sudah menikah dan memiliki dua anak itu di kemudian hari, saat berkunjung ke rumahku. Aku sangat terkejut untuk kedua kalinya saat mendengar curahan hati temanku ini.
Aku merasa tertampar, betapa bodoh dan naifnya aku karena selama ini berpikir bahwa hidup mereka selalu baik, dan terlihat enak. Ternyata faktanya, ada beberapa hal yang menyedihkan dari mereka, namun memang tidak terdengar atau terlihat sampai keluar saja.
Benar, aku hanya kurang bersyukur. Dan tidak menghargai hal-hal lain yang sudah terjadi, dan sudah aku miliki selama ini. Yang justru tanpa diduga terasa lebih ringan jika dibandingkan dengan permasalahan mereka... Ah, tidak. Aku tidak boleh membandingkan apapun lagi. Terlebih soal kehidupanku dengan kehidupan orang lain. Karena, semua hal pasti ada baik dan ada buruknya. Semua memiliki sisi positif, dan sisi negatifnya juga. Itu hanya tergantung diri kita sendiri, bagaimana ingin menyikapinya di saat ini, ataupun di kedepannya nanti. Ya, proses kehidupan seseorang tidak semuanya sama, dan tidak semuanya berjalan dengan lancar. Tapi semua bisa dihadapi jika kita selalu percaya kepada semesta, dan penciptanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IRI
Short StoryAku terus-menerus dilanda kebingungan dari setiap tindakan yang akan, atau sudah kulakukan. Apakah ini benar? Apakah ini sudah sesuai? Apakah ini semua akan baik-baik saja?