Chapter 2: Haikal

1 0 0
                                    


Namaku Haikal, Haikal Pratama Restu. Umur 22 menjelang 23 tahun, anak dari bernama Hari Setiawan Santoso dan Melina Widianingsih. Ayahku seorang pengacara kriminal yang sering menerima klien saking populernya sehingga kadang beliau tidak ingat rumahnya saking sibuknya. Ibuku seorang manajer finansial sebuah mall populer di Depok, tak jauh dari rumah, dan mirip-mirip sibuknya dengan Ayah. Keluarga berkecukupan menjurus ke kaya banget berkat ambisi masing-masing alih-alih warisan jabatan dari keluarga.

Aku memiliki satu adik, Muhammad Raihan Prasetyo, yang setahun lebih muda dariku. Ayah ibuku diberkahi dua anak lelaki tanpa ada cacat fisik, akan tetapi, kedua anaknya bermasalah dalam hal lain.

Raihan didiagnosis autis.

Agar tidak menjadi bahan bercandaan atau terkesan menjijikan, biar aku menjelaskan artinya autis dengan kalimat yang cukup mudah dipahami. Autis adalah gangguan perkembangan pada seseorang yang menyebabkan terhambatnya kemampuan untuk berkomunikasi dan bersosialisasi pada orang lain. Mari ambil contoh dari Raihan saja. Sejak kecil, Raihan sulit mengobrol, menulis, membaca, dan memahami bahasa tubuh di saat anak-anak lain sudah bisa melakukannya. Katakanlah kalau aku melambaikan tanganku, dia tak akan mengerti maksudku untuk menyapanya. Karena kesulitannya itu, dia sulit membaur dengan orang lain karena tak bisa saling memahami. Raihan yang kurang responsif dan sensitif membaca keadaan .... itulah kenapa dia dianggap aneh di lingkungan normal. Anak itu bertahan hidup dari TK sampai SMA yang "biasa" dengan tanpa sadar dia ditindas sekaligus dimanfaatkan untuk menindas orang lain. Dua keberuntungan yang membuat dia tidak dituntut adalah nama ayah kami dan kebetulan anak-anak nakal menyuruhnya menindas anak-anak baik dari keluarga yang tak memiliki pengaruh.

Keluarga Raihan, yaitu Ayah, Ibu, dan aku tidak ada yang meminta maaf pada anak-anak baik itu, meski aku merasa sangat bersalah. Namun, Ayah dan Ibu akhirnya sadar sekolah "biasa" tidak akan membuat Raihan "normal" sehingga dia dimasukkan ke universitas khusus anak-anak berkebutuhan khusus.

Cukup tentang Raihan. Kenapa aku menyebut diriku sendiri juga bermasalah?

Karena eksistensi Raihan membuatku yang "normal" ini dituntut banyak hal.

Selalu mengalah, menerima apapun perbedaan perlakukan yang diberikan pada Raihan dan aku, turuti apapun mau Raihan tanpa emosi negatif, membiarkan Raihan sekalipun dia berbuat salah, tetap tersenyum meski Raihan menyakitiku, mengerjakan apa yang tak bisa dilakukan oleh Raihan, juga menanggung beban untuk membanggakan keluarga sebagai anak yang "normal". Terlebih, aku adalah anak sulung laki-laki. Sungguh lengkap rasanya.

Apakah perasaanku diremehkan karena hanya penjelasan singkat ini? Aku sudah memakhluminya, karena tak banyak yang cukup beruntung untuk terombang-ambing dalam penderitaan yang sama persis denganku.

Ada banyak kenangan buruk. Saking bertumpuknya dan aku berkeinginan untuk tidak mengingatnya, banyak kenangan yang kabur di kepalaku tiap kali aku ingin menceritakannya. Akan tetapi, aku masih bisa menceritakan satu per satu dengan cukup jelas.

Dan masih banyak orang yang meremehkan penderitaanku.

"Lo anak orang kaya malah ngeluh soal ginian? Gue lebih parah!"

"Lo kurang iman, kali! Nggak tau terima kasih banget, sih, sama orang tua! Mau dicap anak durhaka lo?"

Itu adalah kata-kata yang umumnya kuterima dari kala remaja. Bahkan ketika aku bilang bahwa aku pernah hampir ditusuk pisau oleh adikku sendiri yang sedang hilang kontrol emosi, mereka menertawakanku.

"Lo ada-ada aja. Mana mungkin ada orang yang mau ngebunuh saudaranya sendiri?"

Namun, yang paling menyakitkan ada kata-kata ini:

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sesaat yang AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang