Chapter 1: Haikal

5 0 0
                                    


Sayang sekali aku menyambut pagi lagi dalam keadaan hidup.

Aku termenung menatap dekstop laptopku. Belum ada apapun yang kulakukan. Sinar matahari jam 7 pagi menyeruak dari jendela di sampingku. Panas. Aku bangkit untuk menarik gorden jendela, lalu kembali ke kursi dalam suasana kamar yang remang-remang.

Ini Rabu pagi dan aku, pria berusia 22 tahun, tidak melakukan apapun. Memalukan? Yah, kurasa. Aku seorang mahasiswa semester akhir yang hanya harus berhadapan dengan skripsi. Kebanyakan mahasiswa tidak menyukai skripsi. Aku juga, tetapi taraf ketidak sukaanku lebih tinggi. Aku sangat, sangat, dan sangat muak dengan skripsi ini.

Aku membenci sebagian besar hal yang ada dalam hidupku ini. Menjadi mahasiswa Teknik Industri di salah satu universitas paling populer di Indonesia adalah salah satunya. Walau bilang membencinya, aku tak bisa membantah kepintaranku sendiri dalam menghadapi ujian masuk dan menjalani kuliah sampai tahap akhir ini.

Ah, aku sangat kesal.

Aku tidak ingin, tetapi aku tak punya pilihan.

Selama aku hidup, aku tak akan punya pilihan.

Sayup-sayup suara dari lantai bawah membuat mataku melirik pintu kamarku yang tertutup. Ayah dan Ibu bertengkar lagi kah? Apalagi masalahnya? Ibu salah membeli kopi saat belanja kemarin dan Ayah baru sadar hari ini? Ayah berniat membantu adiknya yang kena tipu lagi dan Ibu melarangnya? Atau mereka berdua saling menyalahkan satu sama lain karena tak becus mendidikku yang tak kunjung menyelesaikan skripsi selama setahun ini?

Agak penasaran, aku membuka sedikit pintu kamar dan mendengar suara mereka lebih jelas dari celahnya.

Suara Ayah sehari-hari memang terdengar keras, tetapi kini terdengar lebih keras karena marah. "Raihan nggak mengumpulkan PR nya lagi kemarin. Harusnya kamu periksa grup WA kelasnya! Sudah tahu anak itu begitu!"

Ibu menimpali. "Saya periksa HP-nya pas pulang kerja. Deadline tugasnya itu sebelum saya pulang kerja, tapi saya sama Raihan sudah kerjakan tugasnya bareng-bareng dan kumpulin tadi malam. Kamu sendiri sibuk, jadi harus mengerti kesibukan saya juga."

"Kamu ini ibunya! Harusnya kamu lebih perhatikan anakmu!"

"Kamu itu jadi ayah karena kamu itu laki-laki, bukan perempuan! Ayah itu juga sama-sama harus memerhatikan anaknya. Sibuk sih sibuk, tapi bukan berarti kamu itu cuma di luar dan tidak mau tahu masalah di rumah!"

"Jangan durhaka kamu sama aku, suamimu ini! Kamu tidak ingat siapa yang paling banyak masuk neraka, kata Rasulullah? Wanita, gara-gara tidak mendengarkan kata-kata suaminya!"

Mulai. Salah satu kata-kata pamungkas atas nama agama yang senang diungkit-ungkit ayahku. Ibuku bergeming. Beliau memang sering kalah berdebat dengan ayahku, dan beliau juga taat beragama sama dengan ayahku.

Aku jadi ingat. Dulu ayahku hanyalah manusia Islam KTP. Hanya sholat Maghrib setiap hari, marah kalau diajak sholat di masjid walau hanya untuk sholat Tarawih. Jangankan itu, diajak sholat jamaah selain Maghrib susahnya minta ampun sampai menyulut kemarahannya. Pernah beliau tidak berpuasa beberapa hari saat Ramadhan karena pekerjaan di luar kota, dan tidak pernah diganti hingga sekarang. Ironisnya, beliau cukup dermawan pada orang-orang membutuhkan. Setiap tahun, beliau menyumbang setidaknya sepuluh ekor kambing di hari raya Idul Adha.

Ibuku sejak dulu taat agama. Sholat lima waktu tak pernah tinggal, juga rajin sholat sunnah seperti Dhuha, Tahajud, dan Witir. Beliau rajin mengaji, pakaian beliau selalu rapi dan tertutup. Beliau juga dermawan. Sering beliau membagikan sembako pada beberapa temannya yang kekurangan setiap bulan, juga bersedekah tiap datang ke masjid. Dulu, beliau sering membujuk Ayah untuk rajin sholat, yang berakibat pertengkaran kecil. Beliau akhirnya menyerah dan memintaku untuk ikut mendoakan Ayah agar rajin sholat, dan akhirnya doa itu terkabul. Sudah lima tahun terakhir ini, Ayah jadi rajin beribadah.

Akan tetapi, ironisnya, hati mereka menjadi lebih keras dibanding dulu.

Tidak terdengar perdebatan lagi, berarti lagi-lagi Ibu memilih mengalah. Kurasa mereka akan segera berangkat kerja. Rumah ini akan tenang sampai malam—

"Raihan, Ayah pergi kerja dulu ya!"

Aku selalu tertegun ketika mendengar Ayah berbicara dengan hangat pada adikku. Tak perlu melihat pun, aku sudah merasakan sakitnya. Ayah mengungkit kekurangan Raihan saat bertengkar dengan Ibu di depan Raihan sendiri, tetapi selalu menegur Raihan dengan ceria. Aku tak pernah diajak bicara dengan hangat seperti itu. Dulu, saat aku masih sangat menyayanginya dan haus akan perhatiannya, aku selalu mengajak beliau mengobrol dengan gembira, tetapi beliau selalu membalas dengan nada dingin, atau sindiran, atau kemarahan.

Berapa tahun aku melakukan itu ... dan menerima balasan itu?

Akhir-akhir ini, aku tak lagi mengajak beliau berbincang.

Tidak terdengar jawaban dari Raihan. Seperti biasa, Raihan jarang sekali membalas ucapan Ayah. Satu rumah sama-sama tahu Ayah sangat menakutkan. Anak itu, Raihan, dia menyimpan ketakutan itu bertahun-tahun sehingga tidak mau dekat-dekat dengan Ayah.

Seharusnya aku melakukan itu dari dulu juga.

"Raihan, Ibu berangkat dulu, ya!" Beberapa saat kemudian, gantian Ibu yang bicara. Di saat yang sama, terdengar suara mesin mobil dinyalakan. Sepertinya Ayah akan mengeluarkan mobilnya dari garasi.

Berbeda dengan bisunya terhadap Ayah, Raihan melempar pertanyaan pada Ibu dengan ceria, "Bu, nanti kita kerjakan PR bersama-sama, ya?"

"Iya, Nak." Terdengar suara langkah sepatu hak tingginya yang khas. Tak melihat pun aku tahu, Ibu pergi ke garasi untuk mengeluarkan mobilnya sendiri sesaat Ayah pergi meninggalkan rumah.

Ibu memang orang yang ramah pada kami, anak-anaknya. Sering menemani kami, tempat kami meminta bantuan, dan juga tempat berbagi cerita. Keluh-kesah beliau hanya diceritakan padaku, sih, karena adikku yang autis itu pasti tidak bisa memahaminya.

Akan tetapi, aku tak sepenuhnya menyukai Ibu.

Ada banyak alasan mengapa. Contohnya saat ini. Ayah maupun Ibu, tidak ada satupun yang berpamitan padaku. Apa mereka lupa kalau mereka punya dua anak? Apakah mereka mengabaikan anak sulung yang wajahnya mereka lihat lebih dahulu dibanding anak bungsu mereka, hah?

Oke, baiklah. Mungkin mereka tak bisa sepenuhnya disalahkan karena aku tidak keluar kamar. Pertengkaran mereka yang sering terjadi tiap pagi dari dulu membuatku selalu bersembunyi sampai mereka pergi kerja. Aku takut melihat ketidakakuran mereka. Aku juga benci diriku yang tidak bisa melakukan apa-apa terhadap itu.

Dadaku terasa sesak. Aku sudah biasa tidak diperhatikan karena aku anak sulung, karena aku adalah kakak dari adik yang autis, karena aku adalah anak yang normal yang hidup berdampingan dengan adik yang memiliki gangguan untuk berkomunikasi. Sebagai kakak laki-laki yang normal, aku harus memahami orang tuaku yang melimpahkan perhatian pada adikku. Sebagai anak satu-satunya yang normal, aku juga harus memahami bahwa orang tuaku berharap lebih padaku. Sebagai anak laki-laki yang normal, aku juga harus memahami bahwa orang tuaku mendidikku menjadi manusia yang kuat kepribadiannya. Harusnya aku memahami semua itu. Harusnya aku terbiasa, tetapi ....

Seharusnya, aku tidak menangis seperti ini.

Sangat memalukan sebagai anak sulung laki-laki yang menjadi harapan satu-satunya orang tuaku.

Pandanganku buram akan air mata. Hati ini masih saja sakit. Kulirik laci mejaku yang terkunci. Aku menyentuh kuncinya. Tanganku gemetar untuk memutarnya, tetapi otakku yang kupikir sudah rusak ini mencegah nuraniku agar tidak melakukannya.

Apakah otakku memang masih cukup waras untuk mencegah hatiku yang carut marut ini ....

.... agar tidak menenggak sebotol penuh obat tidur yang berdiam di laci ini?


Bersambung

Sesaat yang AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang