BAGIAN 1

206 10 0
                                    

"Hajar...!"
"Bunuh Pendekar Belalang!"
Suara-suara teriakan penuh hawa amarah terdengar keras, tertuju pada seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap terbungkus pakaian ketat serba putih.
Dia dikelilingi oleh laki-laki berpakaian serba hitam dengan lambang bergambar tengkorak di punggung. Dengan senjata terhunus, para pengepung siap melenyapkan laki-laki berpakaian serba putih yang dipanggil Pendekar Belalang.
"Kalian jangan bertindak tolol! Jangan membabi-buta. Percayalah! Apa yang kalian inginkan tidak ada padaku. Apakah jawabanku kurang jelas?" kilah Pendekar Belalang.
"Lidah tidak bertulang, Pendekar Belalang. Siapa percaya bualanmu?" sahut seorang laki-laki berusia setengah baya kepala botak, namun jenggotnya begitu lebat.
"Baiklah! Agaknya kalian sukar diajak bicara baik-baik. Kalau itu yang kalian inginkan, aku akan membuka jalan darah demi menyelamatkan selembar nyawaku!" jawab Pendekar Belalang.
"Pendekar Belalang! Aku Sura Medal. Dan aku adalah manusia yang suka memegang janji. Jika kau serahkan senjata itu padaku, maka kau akan kubiarkan pergi!" bujuk laki-laki botak yang berjenggot panjang.
"Huh...! Sudah kukatakan, warangkanya saja aku tidak punya. Apalagi senjatanya!" bantah Pendekar Belalang.
"Omong kosong! Bunuh dia...!" teriak laki-laki berjenggot panjang bernama Sura Medal.
Perintah itu ternyata sangat berpengaruh bagi sepuluh orang laki-laki berbaju hitam lainnya. Serentak mereka menerjang Pendekar Belalang dengan berbagai jenis senjata di tangan.
"Hiyaaa...!" Disertai teriakan-teriakan keras, mereka segera menghujani Pendekar Belalang dengan babatan maupun tusukan senjata.
Namun agaknya laki-laki berpakaian putih itu tak bisa dianggap sembarangan. Dengan loncatan-loncatan tubuhnya yang seperti belalang, semua serangan berhasil dihindari. Setelah berhasil menghalau serangan-serangan, kini giliran Pendekar Belalang yang melakukan serangan balik. Akibatnya tentu sangat berbahaya bagi orang-orang berpakaian serba hitam ini. Mereka berpelantingan terkena hantaman Pendekar Belalang.
"Mampus kalian semuanya! Hiyaaa...!" teriak pemuda berbaju putih itu. Dengan gerakan-gerakan sangat aneh lagi kacau, Pendekar Belalang menerjang ke arah para pengeroyok. Kedua tangannya meluncur deras ke depan menghantam ke dada lawan-lawannya yang terdekat.
Des! Des!
"Aaa...!"
Dua orang berpakaian serba hitam dengan gambar tengkorak di punggung langsung terpelanting roboh. Tenggorokan mereka berlubang, terkena ujung jari Pendekar Belalang. Sedangkan bagian dada mereka amblas.
Melihat kenyataan ini laki-laki botak berjenggot panjang yang jadi pimpinan menjadi sangat marah. Senjatanya yang berupa tombak pendek dengan mata dari baja lengkung seperti bulan sabit. Seketika senjata itu dikibaskan ke bagian perut Pendekar Belalang.
Namun pemuda itu segera melenting ke udara seraya berjumpalitan. Ketika tubuhnya meluncur deras ke bawah, kedua tangannya menghantam punggung Sura Medal.
"Herkh...!" Laki-laki botak itu jatuh tunggang langgang. Tulang punggungnya patah. Dan lebih mengerikan lagi, Pendekar Belalang yang telah mendarat telah meluncur dengan kaki terjulur ke arahnya.
Sementara, pimpinan orang-orang berpakaian hitam itu yang masih jatuh telungkup, tidak sempat lagi menghindari. Dan....
Krak!
"Huaagkh...!" Disertai teriakan kesakitan, Sura Medal meregang nyawa. Dari hidung, mulut serta bagian telinganya, meneteskan darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya terdiam untuk selama-lamanya.
"Huh! Untuk orang-orang yang tidak tahu urusan yang sebenarnya, memang tidak ada yang lebih baik selain kematian!" dengus Pendekar Belalang.
Melihat pimpinannya tewas, sisa orang-orang berpakaian serba hitam tak ada yang berani menyerang lagi. Perlahan-lahan, mereka mundur teratur, lalu berbalik melarikan diri.
Sementara Pendekar Belalang menghela napas lega. Kemudian perjalanannya yang sempat tertunda dilanjutkan.

***

Senja baru saja jatuh di ufuk barat. Matahari tak lagi menampakkan kegarangannya, setelah sejak tadi pagi menunaikan tugasnya menyinari mayapada ini. Sinar merah jelaga di kaki bukit sebelah barat, tak menyurutkan langkah-langkah orang yang hendak berkunjung ke kota Kawunganten. Kota ini memang tampak selalu ramai, karena memang bisa disinggahi dari empat penjuru.
Banyak kaum pedagang singgah di sini bila ingin melanjutkan ke kotaraja. Maka tak heran kalau di kota ini banyak pula kedai makan, serta rumah penginapan. Bahkan kaum persilatan biasanya singgah barang satu atau dua malam bila sedang bepergian jauh.
Sementara itu di sudut kota, tampak sebuah kedai besar yang ramai oleh pengunjungnya. Rupanya pelayan kedai yang terdiri dari gadis-gadis cantik merupakan daya tarik tersendiri bagi para tamu.
Saat ini di dalam warung, tepatnya di sudut belakang tampak seorang gadis berbaju merah tengah menikmati tuak keras yang tersedia di atas meja. Ada sepuluh bumbung tuak dan semuanya sudah kosong. Mata gadis itu sendiri telah berwarna merah dan agak sayu, pertanda sudah mulai mabuk. Apa yang dilakukan gadis berikat kepala kain merah ini memang hampir tidak masuk akal.
Sebab, laki-laki dewasa saja bila telah menghabiskan satu bumbung tuak keras, pasti akan mabuk. Jangankan lagi sampai sepuluh bumbung. Pemilik kedai sendiri tampak tercengang, melihat cara gadis baju merah minum tuak yang kelihatannya seperti minum air putih saja!
"Hei..., anak-anak manis! Tolong disediakan lima bumbung lagi. Mungkin sebentar lagi aku kedatangan tamu. Dan semua tamuku orang gila. Hihihi...!" ujar gadis itu disertai tawa.
Pelayan langsung menghidangkan apa yang dipesan gadis berbaju merah ini. Begitu pesannya datang segera disambarnya. Lalu....
Gluk! Gluk...!
"Hihihi...! Semakin banyak minum, badanku semakin ringan. Aku seperti terbang melayang-layang di angkasa biru! Hihihi...!" kata gadis baju merah itu tertawa sendiri.
Tentu saja ulah gadis ini menjadi pusat perhatian para pengunjung kedai. Namun sikapnya terlihat acuh saja. Baru saja gadis ini menghabiskan satu bumbung tuak, muncul orang laki-laki tua berambut putih berjenggot hitam. Segera dihampirinya meja gadis berbaju merah. Kemudian tanpa bicara apa-apa, diambilnya sebumbung tuak yang terletak di atas meja.
Gluk! Gluk! Gluk!
"Enaaak..., Hahaha...! Enak. Hmm.... Benar-benar nikmat...!" kata laki-laki tua itu sambil menyeka mulutnya yang basah oleh cairan tuak.
"Enak ya? Apalagi kalau tuak itu hasil mencopet milik orang lain. Kau memang tua bangka kurang ajar, Raja Pencopet!" dengus gadis berbaju merah itu sewot.
Namun lucunya gadis itu terus tertawa-tawa sambil meneguk tuaknya. Dan yang diejek pun ternyata tidak marah. Malah, ikut tertawa pula seperti orang gila.
"Kau sudah mabuk, Dewi Pemabuk. Kalau aku membantumu supaya mabuk juga, kurasa tidak ada salahnya. Jadi, kita sama-sama mabuk!" celoteh Raja Pencopet disertai tawa.
"Huh! Kau tidak pantas menjadi seorang pemabuk. Wajahmu kulihat hanya menjanjikan rasa putus asa. Tampangmu tidak meyakinkan. Kau hanya pantas menjadi Raja Copet! Hihihi"
"Jangan begitu, Dewi Pemabuk. Nanti ku kemplang kepalamu!" dengus Raja Pencopet.
"Coba kalau kau mampu! Aku jadi ingin lihat, apakah semakin tua kau tidak semakin pikun?" ejek gadis baju merah yang ternyata berjuluk Dewi Pemabuk.
"Lihatlah! Heaaa...!"
Disertai desisan lirih, Raja Pencopet melompat ke depan. Tangannya terjulur meliuk-liuk bagaikan ular. Di lain saat tangannya telah menarik lepas ikat kepala gadis.
Namun diawali liukan yang serampangan, Dewi Pemabuk menggerakkan salah satu bumbung tuak yang masih penuh. Isinya tertuang di mulut Dewi Pemabuk, sedangkan ujung bumbung mengancam kepala Raja Pencopet. Kalau Dewi mau, tentu kepala Raja Pencopet sudah berantakan terhantam bumbung tuak.
"Bagaimana? Apakah kau masih ingin mencoba?" leceh Dewi Pemabuk.
"Hahaha...! Kita masih tetap seimbang. Kita tidak perlu pamer kehebatan. Sebaiknya, kita duduk-duduk saja. Mungkin kita akan kedatangan tamu," ujar Raja Pencopet.
"Itukah tamu yang kau maksudkan?" tanya Dewi Pemabuk sambil melirik dengan sudut matanya.
Di depan pintu ternyata telah berdiri seorang laki-laki tua berbaju hitam penuh tambal-tambalan. Wajahnya kusam berselimut debu. Sorot matanya terlihat letih. Tangannya memegang sebuah tongkat hitam berkilat. Bibirnya yang tertutup kumis serta jenggot, hampir tanpa senyum sama sekali.
"Mau pesan apa, Kisanak?" tanya seorang gadis pelayan kedai pada laki-laki tua berpakaian hitam penuh tambalan.
"Aku ingin berpesan padamu, agar kedua gembel yang sedang mabuk itu diusir dari kedai ini!" jawab laki-laki tua berpakaian tambalan, begitu mengejutkan.
Gadis itu terkesiap. Disadari, siapa laki-laki berpakaian tambal-tambalan ini. Laki-laki tua yang tidak lain Dewa Pengemis ini adalah pelanggan kedai ini. Di pihak lain dia juga menyadari siapa kakek dan gadis yang sedang menikmati tuaknya. Mereka semua pelanggan di kedai ini dan juga sama-sama mempunyai kepandaian tinggi.
"Aku tidak berani melakukannya, Kisanak!" tolak gadis pelayan dengan suara bergetar.
Perlahan laki-laki tua berikat kepala hitam ini memandang tajam pada gadis pelayan itu. Matanya tampak bengis. Ini cukup mengejutkan bagi gadis itu karena pada hari-hari sebelumnya Dewa Pengemis tidak pernah bersikap seperti itu.
"Kau bilang tidak bisa mengusir kedua kucing kurap itu? Biar kutunjukkan bagaimana caranya!" dengus Dewa Pengemis.
Sekarang perhatian laki-laki tua berbaju serba hitam itu tertuju pada Raja Pencopet dan Dewi Pemabuk. Lalu tanpa kelihatan sama sekali, kakinya menjejak lantai di bawah meja. Apa yang dilakukan Dewa Pengemis sangat pelan. Namun keanehan di meja Dewi Pemabuk segera terjadi. Bumbung-bumbung tuak di atas saja tiba-tiba terangkat tinggi-tinggi. Kemudian satu demi satu bumbung-bumbung itu melayang meninggalkan meja.
"Weit! Gila betul! Bumbung-bumbung milikmu dibawa pergi oleh tuyul, Dewi! Rupanya tuyul itu tidak punya uang untuk mabuk, sehingga melarikan tuak milikmu!" leceh Raja Pencopet disertai senyum.
"Ini pemandangan indah. Ada bumbung terbang. Aih! Sungguh hebat!" desis Dewi Pemabuk, bernada meremehkan. Wanita ini menggeleng-gelengkan kepalanya. Hebatnya, bumbung-bumbung yang mengambang di udara ikut bergoyang ke kiri dan kanan. Jelas, Dewi Pemabuk mengerahkan tenaga dalamnya saat menggelengkan kepalanya tadi.
"Wah, semakin hebat saja! Bumbung-bumbung itu bisa menari-nari. Rupanya tuyul suka menari, Dewi," kata Raja Pencopet.
Laki-laki tua ini tiba-tiba menggerakkan kakinya. Seketika angin kencang melesat dari telapak kaki Raja Pencopet. Dan secepat kilat gelombang angin itu menghantam delapan bumbung tuak yang mengambang di udara.
Baik bumbung-bumbung yang masih berisi maupun yang sudah kosong hancur berantakan terkena hantaman yang tidak terlihat tadi. Laki-laki tua berpakaian tambal-tambalan tadi tampak tercekat. Sedangkan Dewi Pemabuk hanya tersenyum. Tapi, tatapan matanya berubah dingin.
"Tuyul biasanya berkepala gundul. Namun tuyul yang kulihat sekali ini tuyul kurang ajar dan sudah ubanan lagi! Apa keinginannya sehingga mengganggu ketenangan orang lain?!" dengus Dewi Pemabuk.
Ucapan Dewi Pemabuk membuat merah wajah Dewa Pengemis.
"Mulutmu kelewat tajam, Ariyani. Kau pikir sedang bicara dengan siapa?" sahut kakek berbaju hitam.
"Hihihi...! Jika yang tua bangka tidak tahu peradatan, mengapa yang lebih muda harus bersikap hormat?" balas Dewi Pemabuk yang bernama asli Ariyani tidak kalah sengit.
"Dewa Pengemis! Kau tidak biasanya mengganggu kesenangan orang lain. Mengapa sekarang suka usilan?" tegur Raja Pencopet.
"Hm.... Sebenarnya aku bukan membenci gadis pemabukan. Hm.... Kalau kau mau tahu, sebetulnya aku sebal melihat tampangmu!"
"Karena aku pencopet?"
"Ya...!" jawab Dewa Pengemis singkat.
"Apa urusanmu? Pekerjaanmu sendiri lebih hina. Menadahkan tangan itu adalah pekerjaan yang sangat memalukan, dan dicemooh orang. Aku sendiri tidak pernah usil dengan urusan orang lain!"
"Jangan berbohong padaku. Aku tahu, apa yang telah kau lakukan. Dan kuharap, kau mengerti apa maksudku?"
Baik Raja Pencopet maupun Dewi Pemabuk sama-sama tercengang mendengar kata-kata Dewa Pengemis yang tidak ketahuan ujung pangkalnya.
"Kau bicara seperti orang gila. Merepet seperti kampret! Orang yang betul-betul gila sekalipun pasti tidak tahu arah ucapanmu!" cibir Raja Pencopet.
"Rupanya kau tetap berpura-pura tidak mengerti sebelum aku membuka kedokmu!" desis Dewa Pengemis. "Kau tentu kenal Empu Wasila bukan?"
"Tentu saja aku kenal. Orang tua terhormat itu telah menciptakan beratus-ratus jenis senjata yang sangat ampuh. Lalu, kenapa?" tanya Raja Pencopet.
Dewa Pengemis tidak langsung menjawab. Melainkan berdiri tegak dari atas bangku yang didudukinya. Matanya menatap tajam ke arah Raja Pencopet, seakan ingin melihat isi hatinya.
"Seseorang telah melihatmu datang ke rumahnya, sebelum dia ditemukan tewas terbunuh!" jelas Dewa Pengemis.
"Aku tidak percaya Empu Wasila tewas. Siapa yang telah begitu tega membunuhnya?" desis Raja Pencopet tegang.
"Aku datang mewakili orang segolongan untuk bertanya padamu! Empu Wasila adalah orang yang paling berarti bagi semua golongan. Dia sahabatku. Itu sebabnya aku harus tahu, apa betul kau telah ke rumahnya semalam?"
"Sudah hampir satu purnama ini aku tidak ke rumahnya. Bagaimana bayanganku sampai ke sana? Atau kau hanya mengada-ada, Dewa Pengemis?" tukas Raja Pencopet.
"Kurang ajar! Aku tidak sembarangan bicara. Dua hari lagi pembakaran mayatnya segera dilakukan. Satu hal yang harus dilakukan untuk menyatakan apakah kau bersalah atau tidak, kau harus mencari pembunuh Empu Wasila. Dan perlu kau ketahui juga, Raja Pencopet. Pedang Kilat Buana milik Empu Wasila hilang!"
"Gila! Pedang hilang, Empu Wasila tewas, mengapa jadi aku yang dibebani dalam mencari pembunuhnya?"
"Tentu saja. Sebab, jika pembunuhnya tidak didapatkan, maka kau akan digantung tokoh-tokoh dunia persilatan!" sahut Dewa Pengemis
"Menurutmu bagaimana, Dewi Pemabuk? Apakah ini adil?" tanya Raja Pencopet.
"Menurutku jelas tidak adil! Tua gembel itu dapat kabar dari siapa?" tanya Dewi Pemabuk.
"Aku mana tahu. Tanya saja sendiri padanya?" tukas Raja Pencopet seenaknya.
"Semua golongan di rimba persilatan ini mempunyai mata-mata. Aku tentu saja mengetahui kehadiranmu di rumah Empu Wasila dari mata-mata yang tidak pernah berpihak pada siapa pun!" Kiranya Dewa Pengemis mendengar ucapan Dewi Pemabuk tadi. Sehingga disahutinya dengan suara keras.
"Raja Pencopet! Tampaknya tugasmu akan menjadi sangat berat. Ah, kasihan sekali. Tetapi terus terang, jika kau tidak berhasil menemukan orang yang telah mencuri Pedang Kilat Buana dan pembunuh Empu pandai besi, aku tidak akan membiarkan kau digantung oleh orang-orang dunia persilatan! Hahaha...!"
"Aku menyanggupi permintaanmu dalam mencari pembunuh Empu Wasila! Sekarang pergilah kau, Dombleh!" ujar Raja Pencopet.
"Baik. Kau harus datang ke Bukit Buana pekan yang akan datang!" ujar Dewa Pengemis sambil melangkah pergi.

***

201. Pendekar Rajawali Sakti : Pedang Kilat BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang