BAGIAN 2

129 11 0
                                    

"Berhenti!"
Dua puluh orang penunggang kuda berpakaian serba hitam dengan punggung berlambang tengkorak tersentak kaget, saat tiba di luar batas kota Kawunganten terdengar bentakan keras menggelegar. Di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki berbaju serba putih dengan kepala memakai caping bambu. Tali kekang kuda mereka langsung ditarik, dan berhenti.
"Siapa kau?! Berani benar menghentikan kami?!" bentak penunggang kuda yang berada paling depan.
"Kalian sendiri siapa?" laki-laki bercaping bambu malah balik bertanya sambil bertolak pinggang. Wajahnya sebagian tertutup kain hitam, yakni pada bagian hidung sampai mulut.
"Huh! Rupanya kau tidak pernah melihat tingginya gunung di depanmu. Namaku Sentot Prawira, pemimpin perjalanan ini. Kami datang dari Padepokan Umbul Perkasa!" sahut laki-laki tegap yang duduk di atas punggung kuda dengan gagah.
Wajah di balik kain hitam itu tampak berubah kejam. Ada amarah membakar hatinya. Dan ini membuat geraham bergemeletukan.
"Jadi kalian murid-murid Padepokan Umbul Perkasa yang kesohor itu? Pantas, orang-orang begitu menaruh hormat pada kalian. Aku pun harus menghormati pada kalian!" kata laki-laki itu.
Apa yang dilakukan orang bercaping kemudian memang benar-benar seperti orang yang sedang menghaturkan sembah. Tubuhnya membungkuk. Sedangkan tangannya memegangi perutnya. Karena dalam keadaan membungkuk, tentu tak seorang pun yang tahu kalau laki-laki berbaju putih ini sedang mengambil sesuatu dari balik bajunya.
"Hiaaa...!" Disertai teriakan keras, laki-laki bercaping itu menegakkan tubuhnya seraya mengibaskan tangannya ke depan. Seketika, tiga leret sinar biru, merah, dan kuning melesat menebas kaki-kaki kuda di depannya. Sedemikian cepat gerakannya, sehingga sulit diikuti oleh mata.
"Hieeekh...!"
Bruk! Bruk! Bruk!
Disertai ringkikan panjang sepuluh kaki kuda pada bagian depan terbabat putus oleh senjata di tangan orang bercaping itu. Sebelum para murid Padepokan Umbul Perkasa sempat melihat bagaimana dan senjata apa yang dipergunakan laki-laki bercaping, senjata itu telah masuk kembali ke dalam warangka.
"Bangsat! Kau telah memotong kaki tunggangan kami! Apa kesalahan yang telah kami lakukan kepadamu?" tanya Sentot Prawira yang nyaris terpelanting dari atas punggung kudanya, namun cepat melenting dan mendarat ringan di tanah.
"Hik hik hik...! Kesalahan kalian, mengapa harus berguru pada Umbul Perkasa? Perlu kalian ketahui, guru kalian memiliki dosa-dosa kepadaku sebanyak buih ombak di lautan. Kalian harus menanggung semua kesalahan Umbul Perkasa dulu!" dengus laki-laki bercaping.
"Kau manusia gila! Guru kami orang yang sangat baik kepada siapa saja. Mustahil dia mempunyai dosa padamu!" bantah Sentot Prawira tidak senang. Sementara itu, sembilan belas orang murid Padepokan Umbul Perkasa telah mengepung laki-laki yang wajahnya di balut kain hitam itu dari seluruh penjuru.
"Nanti jika telah kucukur semua koreng di badan gurumu, baru tahu siapa Umbul Perkasa!" dengus laki-laki bercaping itu geram.
Sentot Prawira jelas semakin berang saja mendengar ucapan laki-laki bercaping bambu ini. Apalagi penghinaan itu menyangkut diri guru mereka yang selama ini sangat dihormati. Tanpa banyak bicara lagi, segera diberinya isyarat pada adik-adik seperguruannya untuk menyerang laki-laki bertopeng kain itu.
"Heyaaa...!" Disertai teriakan keras, lima orang murid segera menerjang ke depan. Tentu saja serangan mereka ini cukup berbahaya, karena terarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Apalagi mengingat serangan tersebut datang secara bersamaan dan sangat cepat!
"Ciaaat!"
Tiba-tiba saja dengan gerakan cukup gesit namun terlihat aneh, orang bercaping telah melenting ke udara. Sehingga, serangan para murid padepokan itu saling menghantam sesamanya.
Kelima murid itu jatuh tunggang langgang. Masing-masing tangan mereka yang saling membentur hingga membengkak. Sambil menggeram marah, serentak mereka berdiri. Kemudian secara bersamaan pula melakukan serangan kembali.
Melihat kenekatan lawan-lawannya, laki-laki bercaping bambu ini segera memutar tubuhnya yang begitu cepat. Sehingga dalam waktu sekejap saja, dia telah lenyap dari pandangan. Ketika para pengeroyok terkesiap, laki-laki itu segera berkelebat cepat dengan tangan terjulur.
Tuk! Tuk!
"Heh...?!" Sentot Prawira terkejut bukan main. Lima orang saudara seperguruannya tahu-tahu berdiri tegak dengan badan kaku terkena totokan.
"Orang gila! Buka penutup wajahmu. Aku akan mengadu nyawa denganmu!" teriak Sentot Prawira.
Sebelum Sentot Prawira sempat bergerak, empat belas orang saudara seperguruannya yang lain telah menyerbu ke depan. Laki-laki bercaping bambu segera melompat mundur. Secepat kilat, dilepaskannya caping itu kemudian dilemparkan ke arah lawan-lawannya. Sentot Prawira makin tersentak kaget, ketika tahu-tahu sebuah caping bambu telah melesat membelah udara, menimbulkan suara mendesing menyakitkan telinga. Lalu....
Cras! Crasss!
"Aaa...!"
Caping bambu langsung merobek bagian perut serta dada para murid Padepokan Umbul Perkasa. Seketika, terdengar jeritan-jeritan menyayat hati. Darah menyembur dari luka-luka yang cukup mengerikan.
Sementara caping bambu itu terus melayang-layang mencari sasaran. Kembali terdengar suara jerit kematian di sana-sini yang disertai berpelantingannya tubuh-tubuh terluka. Tetapi sebagai pimpinan perjalanan, kiranya Sentot Prawira tidak tinggal diam. Melihat saudara-saudara bergelimpangan roboh, laki-laki berbadan gemuk ini langsung mencabut senjatanya. Begitu melompat pedang bermata ganda ini langsung dikibaskan ke arah caping bambu yang meluncur deras ke arah kawan-kawannya.
Ternyata laki-laki yang menutupi sebagian wajahnya ini mempunyai tenaga dalam sempurna. Terbukti dengan sedikit menggerakkan tangannya saja, caping yang melayang-layang di udara melesat ke samping. Dan kali ini bukan menebas perut ataupun leher, tapi menotok urat gerak lawannya.
Tuk! Tuk!
"Aagkh...!" Beberapa pemuda berpakaian hitam dengan gambar tengkorak di punggung ini langsung kaku dan tidak dapat berbuat apa-apa. Melihat kenyataan ini, Sentot Prawira berusaha membebaskan kawannya. Namun, ternyata usahanya sia-sia saja. Bahkan caping itu telah melesat balik ke arah pemiliknya, lalu hinggap di kepala.
"Akan segera kau lihat, semuanya akan kujadikan patung yang tidak berarti sama sekali! Hiyaaa...!" Diiringi teriakan merobek angkasa, laki-laki berpakaian putih itu melompat ke arah Sentot Prawira.
Sementara itu, Sentot Prawira segera mengibaskan pedangnya ke dua arah sekaligus. Maka seketika cahaya putih yang keluar dari pancaran pedang melesat ke arah laki-laki bercaping. Secepat kilat, laki-laki bercaping berguling-guling menyelamatkan diri. Karena Sentot Prawira tampaknya memang bermaksud membunuhnya. Maka seketika capingnya kembali dilemparkan ke arah Sentot Prawira.
Caping bambu itu meluruk, siap menghantam kepala. Namun, Sentot Prawira dengan gesit menangkisnya. Terjadi benturan sangat keras, antara pedang dengan caping bambu. Sentot Prawira mengeluh tertahan. Badannya terhuyung-huyung. Sedangkan tangannya seperti kesemutan.
Hebatnya, caping bambu sama sekali tidak hancur atau terbelah. Pertanda laki-laki berkedok kain hitam ini telah mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi caping bambunya yang telah melesat dan kembali bertengger di kepalanya. Sentot Prawira yang sempat merasakan kehebatan lawannya segera bersiap-siap melakukan serangan kembali. Tetapi sebelum sempat bertindak, laki-laki bercaping bambu itu telah terlebih dahulu menyerangnya.
"Hiyaaa...!"
Melihat kaki lawannya meluncur cepat ke bagian dada, Sentot Prawira segera menghantamkan pedangnya ke kaki. Namun secara tidak terduga, laki-laki berbaju putih itu menarik balik kakinya. Dan secepat kilat tangannya menotok pergelangan Sentot Prawira, dan disusul totokan pada bagian dada.
"Aaakh...!"
Sentot Prawira kontan menjerit keras. Selain tidak dapat menggerakkan tubuhnya, ternyata dari ujung rambut sampai bagian kakinya seperti ditusuk ribuan batang jarum.
Begitu mendarat, laki-laki berbaju putih dan bercaping bambu ini tampak bertolak pinggang sambil tersenyum dingin.
"Bagiku, kalian adalah kucing kurap yang tidak berarti sama sekali. Apalagi dengan adanya Pedang Kilat Buana di tanganku!" dengus laki-laki bercaping.
Mendengar orang itu menyebut Pedang Kilat Buana, sadarlah Sentot Prawira kalau laki-laki bercaping bambu inilah yang telah membunuh Empu Wasila. Memang, sebenarnya Sentot Prawira dan murid-murid Padepokan Umbul Perkasa lainnya, ditugasi oleh guru mereka untuk mencari pembunuh Empu Wasila. Ketua Padepokan Umbul Perkasa sebenarnya juga punya hubungan baik dengan empu pembuat pedang yang dikenal sebagai Pedang Kilat Buana.
Begitu mendengar Empu Wasila tewas terbunuh dan Pedang Kilat Buana hilang, Umbul Perkasa segera mengutus beberapa muridnya. Namun setelah sekian lama, tak seorang murid pun yang kembali, walau hanya sekadar bertanya saja. Maka, Ketua Padepokan Umbul Perkasa kembali mengutus murid-murid yang dipimpin Sentot Prawira. Sampai akhirnya, mereka bentrok dengan laki-laki bercaping bambu itu.
"Hm.... Jadi kau yang telah mencuri pedang itu. Sungguh orang-orang rimba persilatan tidak mungkin sudi mengampuni jiwamu!" dengus Sentot Prawira.
"Hahaha...! Aku tidak pernah minta ampun siapa pun. Dan semua orang tidak akan pernah tahu, siapa yang telah mencuri Pedang Kilat Buana atau membunuh Empu Wasila!" sahut laki-laki bercaping bambu tersebut.
Kemudian tanpa menghiraukan ucapan Sentot Prawira, laki-laki bercaping itu menghampiri beberapa ekor kuda yang terkapar. Diambilnya beberapa gelung tali. Setelah itu, dibuatnya beberapa simpul tali.
"Aku merasa bangga pada kalian. Tali-tali ini akan menjerat leher kalian satu demi satu!" dengus laki-laki bercaping, setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Keparat kau! Lebih baik bunuh saja kami!" teriak Sentot Prawira mulai kalap.
"Pada akhirnya, permintaanmu itu memang kupenuhi. Tetapi sebelum itu, kalian harus merasakan siksaan yang akan kulakukan!"
"Kau bajingan busuk! Apa salah kami?" teriak salah seorang saudara seperguruan Sentot Prawira.
Kesalahan kalian baru nanti diketahui setelah berada di alam kubur!" sahut laki-laki bercaping bambu seenaknya.
Laki-laki bercaping lantas menghampiri sebatang pohon yang banyak cabangnya. Bagian tali-tali itu diikatkan pada cabang pohon. Sedangkan bagian lainnya untuk menjerat leher para murid Padepokan Umbul Perkasa. Satu demi satu, para murid itu menerima perlakukan yang teramat mengerikan. Mereka digantung. Ada yang dijerat lehernya, ada pula yang diikat kaki ke atas dan kepala di bawah.
"Hahaha...! Sekarang, kepada siapa kalian meminta tolong?" desis laki-laki berbaju putih ini dingin.
Laki-laki ini segera mengambil sebuah pisau. Dihampirinya Sentot Prawira yang kepalanya tergantung menghadap ke tanah.
"Kurang ajar kau! Kalau mau bunuh, jangan siksa kami dengan cara begini rupa!" teriak pemuda itu. "Akh...!" Sebuah tendangan keras menghantam kepala Sentot Prawira, sehingga membuatnya menjerit kesakitan.
"Pertama-tama akan kugores urat lehermu. Kemudian, matamu kucungkil. Sebelum kau melihat kegelapan di alam kubur, maka menjelang kematianmu kau sudah tidak dapat melihat apa-apa!" ancam laki-laki bercaping. Sebelum Sentot Prawira sempat berkata apa-apa, pisau di tangan orang bercaping telah berkelebat.
Crok! Crok!
"Wuaagkh...!"
Sentot Prawira kembali menjerit. Tubuhnya menggeliat. Pada saat itulah pisau yang telah berlumuran darah menghujam dan menyayat-nyayat tubuhnya. Darah mengucur deras dari luka-luka di tubuhnya. Tidak lama kemudian laki-laki itu tewas.
Perhatian laki-laki bercaping bambu ini segera beralih pada korban lainnya. Apa yang terjadi pada Sentot Prawira terjadi juga pada saudara-saudaranya yang lain. Sampai akhirnya tidak seorang pun yang tersisa. Dan pemandangan di situ tidak ubahnya seperti tukang jagal saja.

***

Beberapa hari kemudian seluruh tokoh rimba persilatan dikejutkan oleh pembantaian yang terjadi. Namun hingga sampai saat ini, mereka memang tidak dapat berbuat banyak. Karena, mereka harus mengikuti upacara pembakaran jenazah Empu Wasila.
Pagi-pagi sekali Bukit Buana yang biasanya dalam keadaan sunyi, tampak ramai dipenuhi orang-orang penting dari rimba persilatan. Di antara mereka yang hadir, terlihat Dewa Pengemis dan anggota kaum pengemis berjumlah tidak kurang dari lima belas orang. Kemudian terlihat pula murid-murid Padepokan Umbul Perkasa. Jumlah mereka lebih banyak dibanding yang lain-lainnya. Umbul Perkasa sendiri tidak berada di antara murid-muridnya. Dia memang turun langsung mempersiapkan upacara.
Dalam upacara itu hadir pula Dewi Pemabuk dan Raja Pencopet. Selain mereka, masih ada lagi beberapa orang sesepuh desa terdekat mewakili rakyatnya. Tidak kurang dari sepemakan sirih lamanya, jenazah Empu Wasila yang terbungkus kain putih telah digotong keluar dan kemudian diletakkan di atas tumpukan kayu bakar. Seorang pendeta segera memberkati acara pembakaran mayat. Sampai akhirnya, api dinyalakan oleh seorang pemuda tampan berbaju putih.
Sekejap api segera membesar. Semakin lama api bertambah besar dan melahap apa saja yang terdapat di atasnya. Selain suara bergemeretaknya kayu bakar dan tulang-belulang yang mulai hancur, tidak terdengar suara apa-apa lagi. Bau daging terbakar mulai menyengat hidung. Namun tidak seorang pun yang menghiraukan semua itu.
Setiap wajah tampak tertunduk. Beberapa saat setelah itu, api pun padam. Seorang pemuda berbaju putih segera mengambil guci. Abu jenazah Empu Wasila dikumpulkan, lalu dimasukkan ke dalam guci. Setelah itu pemuda berbaju putih berdiri tegak, tidak jauh dari tempat pembakaran mayat tadi. Pandangan matanya menyapu pada semua yang hadir di Bukit Buana.
"Kepada sesepuh dunia persilatan segolongan, dan juga pada saudara-saudara sekalian yang ikut menghadiri upacara ini. Aku, Pendekar Belalang, mewakili almarhum guruku Empu Wasila mengucapkan terima kasih atas kehadirannya. Kematian guruku tentu membekas di hati kalian semua. Yang menyakitkan, dia dibunuh hanya karena pembunuh biadab itu menginginkan Pedang Kilat Buana. Sebuah pedang keramat yang betapa berbahayanya bila sampai jatuh ke tangan orang salah...!"
"Benar!" sahut salah seorang hadirin. Dia tidak lain adalah Umbul Perkasa.
"Menurut Tri Gata Bayu, hari ini pembunuh Empu Wasila juga telah ditentukan. Kami jadi ingin melihat, siapa orangnya yang telah begitu tega membunuh orang yang sama-sama kita hormati!"
Suasana berubah menjadi hening. Dewi Pemabuk tampak gelisah. Sementara, laki-laki tua yang berada di sebelahnya telah mengeluarkan keringat dingin.
"Kami ingin tahu, siapa orangnya. Dia harus digantung secepatnya di tempat ini juga!" sahut yang hadir, hampir bersamaan.
"Tenang, Saudara-saudara!" ujar Umbul Perkasa. "Empu Wasila adalah orang tua yang paling dekat dengan diriku! Mustahil aku berdiam diri melihat kematian orang yang telah kuanggap sebagai saudaraku sendiri! Pendekar Belalang pasti segera mengatakan pada kita, siapa orangnya!" Perlahan Umbul Perkasa menoleh pada Pendekar Belalang, yang kemudian menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak melihat langsung siapa yang telah membunuh guruku. Seseorang yang sangat kupercaya mengatakan padaku bahwa pembunuh dan pencuri Pedang Kilat Buana adalah seorang laki-laki tua berambut putih berjenggot hitam. Begitu berhati-hatinya dia sehingga tidak mau menyebut namanya!" jelas Pendekar Belalang, yang bernama asli Tri Gata Bayu.
Semua yang hadir di situ menjadi sangat terkejut. Terkecuali Dewa Pengemis. Karena orang dengan ciri-ciri yang seperti disebutkan Pendekar Belalang, itu berarti menuding pada Raja Pencopet! Perhatian semua orang yang hadir di Bukit Buana sekarang terpusat pada Raja Pencopet yang berdiri di sebelah Dewi Pemabuk.
"Cepat katakan yang sebenarnya jika tidak ingin mampus digantung, Tukang Copet!" bisik Dewi Pemabuk dengan suara perlahan.
"Aku tidak melakukan apa-apa? Bagaimana orang-orang ini bisa menggantungku?!" tukas Raja Pencopet.
"Kau tolol sekali. Mungkin ada orang yang memfitnahmu. Atau, memang nasibmu lagi sial. Cepat bicara!" perintah gadis bernama Ariyani ini tidak sabar lagi.
Sementara itu, Dewa Pengemis telah melompat ke tengah-tengah lapangan luas. Dia tampak bicara sebentar pada Pendekar Belalang, setelah itu berpaling pada Raja Pencopet.
"Raja Pencopet! Seperti yang pernah kukatakan padamu, kau harus mencari pembunuh Empu Wasila. Kau telah menyangkal tidak membunuh ahli pembuat senjata itu. Dan sekarang, ternyata kau tidak dapat menangkapnya. Karena, memang kau lah pembunuh Empu Wasila!" tegas Dewa Pengemis.
"Ucapanmu tidak beralasan," bantah Raja Pencopet. Selanjutnya matanya menatap nyalang pada Pendekar Belalang. "Tri Gata Bayu! Aku ingin bicara dengan orang yang telah mengatakan padamu, bahwa akulah orangnya yang telah membunuh Empu Wasila!"
Tri Gata Bayu menggelengkan kepalanya. "Hari ini, dia tidak bisa datang kemari karena ada keperluan penting di Kartasura!" kilah Pendekar Belalang.
"Kalau begitu, aku tidak bisa percaya padamu! Boleh jadi memang ada orang lain yang sengaja memfitnahku!" bantah Raja Pencopet.
"Yang bicara padaku adalah saudaraku sendiri. Aku tahu hatinya. Mustahil dia berdusta!" tandas Pendekar Belalang.
"Saudara Umbul Perkasa! Kami tidak sabar menunggu keputusanmu. Kau orang yang paling berpengaruh di daerah timur ini, dan menjadi penentu setiap hukuman. Apa keputusanmu?!" selak Dewa Pengemis.

***

201. Pendekar Rajawali Sakti : Pedang Kilat BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang