[8]

747 80 0
                                    

Percakapan itu terjadi di parkiran yang ramai keluar masuk mobil tapi bukan tempat manusia berkumpul. Semua yang datang langsung keluar dari mobil, meninggalkan Dara, Radi, dan satpam yang beberapa kali keluar masuk.

Dara menangis sambil menunduk sementara Radi mengusap punggung perempuan itu. Dulu sekali, Radi juga pernah seperti ini, menemani Dara menangis. Membantunya kembali tenang. Mana dia tau kalau suatu hari dia akan jadi penyebab tangisan perempuan itu.

"Gue nggak bisa nikmatin weekend gue, gue nggak bisa ngerjain kerjaan gue, Radi. Gue cuma mau normal aja. Tapi lu dateng. Ganggu gue. Bahkan sebelum lu sok-sokan komunikasiin sama gue jumat kemarin, gue masih oke aja. You make things worse."

Komunikasi ini buntu. Ada banyak kemarahan, kekesalan, emosi, dan kenangan yang buruk dan luar biasa buruk. Percakapan ini cuma seperti adegan melempar batu, arahnya tidak jelas, dan solusinya tidak ada. Apapun yang dikatakan satu sama lain, tetap akan diresapi dengan bias masing-masing. Nggak ada titik terang.

Tapi mereka mencoba.

Mereka mencoba berkomunikasi. Mendengar dan setidaknya mengetahui, apa yang dirasakan dan dipikirkan satu sama lain. Walau belum bisa benar-benar mengerti.

"Lu.. sekarang.. dateng.. mau ngapain lagi Rad?"

Radi mau mulai lagi. Kali ini serius. Dia sedikit nggak yakin, tapi dia harus meyakinkan diri. Dia sudah jahat dan begitu linglung lima tahun lalu, tapi sekarang dia nggak bisa. Dia harus mengambil keputusan dengan jelas dan yakin. Tapi bahkan dia nggak bisa bilang itu. Dia tau Dara nggak butuh itu.

Lantas apa?

"Lu maunya sekarang gue gimana, Dar? Lu mau gue ilang aja.. kayak lima tahun kemarin?"

Dara mau semua yang dia nggak bisa dapatkan lima tahun lalu. Mau gimanapun yang terjadi, Dara nggak bisa bohong: dia mau Radi. Ini yang Dara pikirkan sejak dia pertama kali ketemu Radi. Dia awalnya merasa nggak mungkin dan juga.. marah sama diri sendiri.. gimana bisa dia masih pengen Radi bahkan setelah semua kekecewaan yang dia alami? Tapi masalahnya, dia jelas-jelas mencium Radi malam itu. Ketika mereka sama-sama mabuk. Pikiran tidak sadarnya bahkan mengarahkannya menuju Radi.

Pertanyaannya hanya satu: apakah Radi masih sama ragunya dengan lima tahun lalu?

Kalau iya

Dara nggak tau dia harus apa kalau iya.

Tapi, sekali lagi.. cuma sekali lagi ini.. kalau memang dia ternyata akan sekali lagi buang-buang waktunya buat Radi.. dia cuma mau dia yakin kalau Radi memang bukan orang yang tepat. Dia cuma ingin.. yakin.. kalau tidak memilih Radi untuk sisa hidupnya.. adalah keputusan yang tepat.

Dan meski berjudi dengan semua yang ia punya, Dara berkata, "gue mau kita. Beneran. Bukan coba-coba kayak dulu itu. Lu naro semua hati lu buat gue, semua diri lu buat gue. Supaya kalau kali ini gagal lagi, lu juga bisa ngerasain apa yang gue lepas, Radi."

And this might be become their worst heartbreak.

Tapi sama dengan Dara, Radi tau kalau dia mau meletakkan semuanya di meja judi. Menggantungkan nasib dan takdirnya. Menggantungkan takut dan nggak maunya. Dan bukan cuma mencoba dengan setengah langkah, tapi sungguh-sungguh.

"Lu bisa?"

Ketika angguk Radi berikan, satu dari sejuta kepingan hatinya tau: ada ragu di sudut sana.

--

Radi dan Dara mau bilang mereka mencoba sekali lagi. Tapi 'mencoba' adalah kata yang rapuh, dan kali terakhir mereka menggunakannya: mereka tau itu nggak berakhir bagus. 

Jadi, sebutannya adalah: hubungan.

It's official. Radi & Dara as a couple.

Orang pertama dan orang satu-satunya yang Dara ceritakan adalah Thalia. Bukan dia nggak mau bilang dengan teman-temannya, tentu Dara mau tapi ada rasa takut.. seolah dia berjalan di jembatan rapuh yang bisa hancur kapan saja. Dia nggak berani dengan itu semua.

Kalau, kalau misalnya info ini harus tersebar, dia mau Radi yang menceritakan itu semua. Bukan dia. Jika ada hal yang terjadi, dia mau Radi menanggung damage yang lebih besar. Karena kali terakhir, dia menanggung sendirian. Mungkin terlihat egois, tapi ini respon trauma yang Dara punya. 

Tapi semua terjadi begitu cepat dan penuh emosi. Hari-hari ketika mereka menghabiskan waktu dengan banyak, terlalu banyak. Menonton banyak film, terlalu banyak. Menghabiskan semua waktu yang mereka punya, seolah selain bekerja hidup mereka hanya ada untuk satu sama lain saja. Seolah hari esok nggak akan ada, dan seolah jatuh cinta adalah kewajiban utama.

Banyak rasa takut, luar biasa banyak rasa ragu. Tapi dalam setiap itu, Radi datang dan siap dihubungi. Foto pertama mereka di internet juga diunggah oleh Radi yang kemudian langsung disusul dengan hujan pesan ke ponsel Dara dan Radi. Menanyakan mereka, bahkan untuk Dara ada sedikit komentar dari temannya yang 'kecewa' karena tidak diberitahukan langsung.

"Kayak Thalia ye semua orang tiba-tiba nikaah aja." Itu Laura.

Dara tertawa saja, jatuh cinta terlalu manis, dan dia punya banyak tenaga untuk bahagia.

--

Tapi hal-hal kayak gitu mana bisa sih bertahan terlalu lama?

The honeymoon phase bertahan selama tiga bulan. Sampai hal yang selalu dan selalu Radi prioritaskan kembali: pekerjaannya.

Dara nggak mau Radi memilih. Dia tau dia akan kalah. Tapi dia menutup matanya, membiarkan dirinya berjalan nggak tau kemana, percaya dengan arahan Radi. Semoga kali ini, mereka sampai ke tempat indah. Tapi satu keping ragu Radi membesar. Satu keping ragu Radi selalu jadi hal sama yang berulang.

Hari ketika pekerjaan Radi loadnya naik dengan signifikan, Dara juga sama sibuknya. Tapi Dara selalu menyempatkan waktu, sementara pesannya bisa tidak dibalas belasan jam oleh lelaki itu. Dara mencoba mengerti tapi kepalanya pusing. Ini baru tiga bulan. Seberapa lama ia harus bertahan? Apakah ini akan jadi dua tahun sia-sia lagi?

Radi mencoba semaksimal mungkin untuk hadir. Dia mencoba membalas pesan Dara, terkadang dia datang tengah malam cuma untuk tidur di ruang tamu Dara lalu pergi bekerja lagi sebelum Dara bangun. Ia selalu berusaha hadir untuk Dara tapi tiap bekerja, belasan jam berlalu bagi Radi. Dia selalu berpikir akan menjawab pesan Dara atau mengabari Dara "setelah satu tugas ini" tapi ternyata tugas itu berakhir belasan jam kemudian.

Pekerjaanya selalu punya magnet untuk Radi. Sama dengan organisasi yang dulu menyibukkannya. Kesibukan selalu membuat Radi merasa hidup. Meski sebelum-sebelumnya putus karena hubungan yang rasanya hambar dan miskomunikasi, Radi sadar kesibukan kerjanya berpengaruh besar. Sangat besar. Seolah ada gravitasi yang menariknya untuk terus bekerja, menyibukkan diri.

Malam itu setelah mereka janji makan malam dan baru bisa direalisasikan sabtu pukul sembilan malam, nyaris sepuluh, Dara masih terlihat sama cerianya. Dara sangat terbuka dengan kesibukan Radi, waktu tau Radi masih ada pekerjaan dan tidak yakin bisa makan di luar, Dara yang pertama memberikan ide untuk makan di rumah. Makanan yang dibeli itu Dara hangatkan dengan microwave, dan mereka minum soda seolah itu miras. 

Radi menatap Dara tanpa putus. Menatap betapa cantiknya, betapa hidupnya, betapa luar biasa pacarnya itu. Setelah semua yang terjadi, setelah semua yang ia lakukan, Dara masih sama cerianya dengan anak kecil di lapangan, sama cerahnya dengan matahari pukul dua belas, dan sama hangatnya dengan pelukan yang ia rindukan.

Dara selalu Dara.

Tapi selama malam itu, ketika Dara tertidur di pahanya sembari menonton film dari layanan online, Radi mempertanyakan: apakah dia mampu memberikan yang Dara butuh?

Radi selalu punya jawabannya.

Rabu, 22 Desember 2021. 14:32.

Reuni PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang