Bising suara rel dan roda kereta tak seberisik ruang kepala gadis yang tengah menghadap jendela. Seolah tak cukup riuh, ia kembali memasang headphone di kedua telinga. Membenahi hijab yang sedikit berantakan, ia menatap si bungsu yang berubah pendiam setelah beberapa waktu belakangan.
"Kadang kita butuh pergi, untuk meredakan sakit hati."
Bungsu yang merasa diajak bicara pun menoleh sebelum menjawab, "Kakak salah. Justru kita butuh tinggal di tempat yang sama biar gak kehilangan kenangan lama."
Melihat adiknya yang kembali sendu, gadis itu menepuk kepalanya lembut.
"Setidaknya kita masih punya rumah untuk pulang."
"Nggak. Tujuan kita yang sekarang bukan untuk pulang. Kakak gak usah pura-pura lupa kalau 'rumah' itu udah lama berantakan."
Menghela napas, pemilik bulu mata lentik itu tak bisa menyangkal dari pernyataan sang adik. Hanya saja, ia tak punya alasan untuk sekedar menolak sebuah tawaran.
Tawaran.
Haha, rasanya seperti menelan pil pahit saat ia mengingat bahwa kedatangannya di Kota Jogjakarta hanya sekedar 'tawaran' semata.
Memejamkan mata, gadis itu tak berniat untuk membalas lagi. Ia hanya berharap, semoga setelah sekian lama tidak dijadikan ranah, rumah itu masih mau menyambut ia dan adiknya dengan ramah.
Itu saja.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Feelings
Teen FictionRazes tidak pernah meminta untuk dipertemukan dengan gadis berhijab pemilik mata dingin sepertinya. Begitupun dengan Aleia yang tak pernah berharap untuk dikenali manusia. Sebab, manusia adalah sumber luka. Namun, siapa yang akan mengira bahwa tabra...