Banyak orang berkata, memiliki paras cantik dan menawan membuat separuh masalah dalam hidupmu teratasi dengan mudah atau setidaknya cepat beres. Namun, berbeda dengan Amira, penampilan fisik membuat dia rugi. Karena banyak hal dalam kariernya jadi susah tercapai.
Terkadang ada beberapa klien meminta hal aneh-aneh di luar pekerjaan apabila ingin proyek yang Amira kerjakan berhasil. Atau yang paling sial, manajer divisinya secara terang-terangan menunjukan rasa sukanya, menjadikan Amira memiliki banyak musuh karena dianakemaskan. Belum lagi masalah ponsel, benda itu seolah tidak pernah berhenti berdering karena notifikasi pesan instan atau pesan di sosial media. Pusing.
Memang benar tahun ini umurnya 25 tahun. Keluarganya juga sudah menanyakan masalah pasangan dan mengharapkan pernikahan. Namun, Amira belum menginginkannya sekarang. Tujuan utamanya adalah membangun karier dan mengumpulkan uang sebanyak-banyak demi pensiun dini.
"Mbak Amira."
Sebuah panggilan mengalihkan Amira dari kode pemrograman di komputernya. Seorang OB menenteng sebuah plastik dengan nama restoran berisikan kotak makan di sana.
Apalagi ini, Tuhan? Amira mengeluh. Matanya melirik sekilas meja kerjanya sudah ada dua kotak makanan dengan nama restoran yang berbeda-beda.
"Ini, Mbak, ada kiriman makan siang lagi yang ... ketiga."
Amira meringis. Kepalanya mengangguk saja sambil menerima makanannya. Tak lama ponselnya berbunyi dan notifikasi teman lamanya yang mengatakan baru saja mengirimkan makan siang.
Pada akhirnya, Amira menerima kiriman makanan tersebut. Tidak mungkin dia marah-marah dan senewen sendiri dengan seluruh perhatian teman dan kolega kerjanya. Walaupun dalam hati dia berharap tidak perlu dipedulikan.
Baru saja Amira ingin fokus pada pekerjaannya, sekali lagi ada seseorang yang memanggilnya. Dengan kesal dia mendongakan kepala. Tahu-tahu saja manajer divisinya, Eka, berdiri di samping kubikelnya. Keningnya berkerut memperhatikan tiga kotak makanan di mejanya.
"Dianterin makan siang lagi sama temen-temen kamu?" todong Eka yang Amira balas dengan anggukan malas-malasan. "Saya mau ngajak makan siang, makanan yang temen-temen kamu kasih mending kasih OB atau anak-anak aja."
"Makan siang sama Bapak?" Amira malah balik bertanya. "Ngapain, Pak?"
"Habis makan siang kan ketemu klien di luar, jadi sekalian aja."
Amira tahu ini hanya akal-akalan Eka saja. Dan sudah berkali-kali pula dia tidak bisa menolak. Siang ini, rasa kesalnya sudah sampai di ubun-ubun. Dipaksanya otak untuk berpikir cepat mencari alasan untuk kabur.
Pada akhirnya, Amira memilih membereskan barang-barangnya di meja, lalu memasukkannya ke dalam tas. Kemudian memberikan sebuah kebohongan asal yang muncul dalam benaknya, "Saya sudah ada janji makan siang, Pak. Kita bertemu di kantor saja, saya datang sepuluh menit sebelum jam makan siang berakhir."
"Kamu makan siang sama siapa? Daripada sendirian, mending sama saya aja, Amira. Nggak enak makan sendirian."
Sayangnya, Eka masih memaksa. Amira tetap bertahan. Kepalanya menggeleng dan mulutnya asal sebut, "Pacar. Kekasih saya menyempatkan diri untuk temani saya makan siang, jadi ... saya mau samperin dia. Permisi, Pak."
Bergegas Amira berjalan cepat menjauh. Kemudian, menghilang di balik lift. Di tengah-tengah kepadatan ruangan kecil itu, dia kembali berpikir apa yang harus dia lakukan untuk mendukung alasan pacar palsunya itu.
Hingga bunyi ting lift terdengar bersamaan itu pula sebuah ide muncul dalam kepalanya. Dia akan mencari foto kencan di internet selama makan siang nanti. Mengunggahnya di sosial medianya. Menciptakan bahwa dia memang memiliki pacar agar semua orang berhenti mengganggu ketenangan yang dia inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buy Me a Boyfriend (Hipwee.com)
ChickLitDi umur 25 tahunnya, Amira memilih karier ketimbang romansa. Demi menyingkirkan cowok-cowok yang mendekatinya, Amira nekat membeli pacar demi konten semata. Berhasilkah pacar konten membuat hidup Amira tenang? Atau justru semakin bergejolak?