Pada Akhirnya

13 1 0
                                    

"Banyak yang bilang, dunia tuh berputar. Well, bener sih, bumi emang berputar pada porosnya dengan kemiringan 23,50° terhadap matahari tentunya. Tiap putaran membutuhkan 24 jam, atau lebih tepatnya 23 jam 56 menit dan 4 detik dengan kecepatan 1.670 km/jam dan semakin melambat"

" 'Loh, melambat? kenapa?' Pertanyaan yang bagus. Salah satu penyebabnya adalah sang bulan yang semakin lama semakin menjauh dari bumi. Perlahan meninggalkan bumi ini sendirian, diruang hampa tanpa suara"

Aku menulis itu dibuku kecil, lebih tepatnya sebuah notebook bersampul hitam milikku. Sambil berjalan, menikmati malam dengan rokok ditangan yang telah kunyalakan.

Tak lama, ku dengar gemuruh dari langit gelap malam. Namun aku tak peduli, suasanya terlalu nyaman, udaranya terlalu sejuk untuk buru-buru pulang. Dan nasib baik, malam itu turun hujan.

Aku masih bisa mengingat aroma hujan dikala itu, begitu segar. Aku berteduh disebuah pondok kecil, menghisap rokok dan mendengarkan dengan seksama suara rintik air yang menenangkan.


Meski begitu, semua ini terasa aneh dan sepi, kosong dan tak berarti. Hingga tertutupi oleh langkah kaki diatas tanah yang basah, datanglah dirimu, seorang wanita yang juga berteduh dikala itu.

"Harusnya aku bawa payung" Keluhmu tak jauh dariku

"Sama, haha" Balasku

"Terjebak juga? Padahal tadi terang ya kan?"

"Yaa begitulah. Hujan memang ga selalu bisa ditebak"

Masih ingat mengapa aku menganggap hujan itu adalah nasib baik?

"Oh, bajumu basah..." Ujarku menyadari tetesan air dari lenganmu

"Wah iya... aduh"

"It's okay. Pake ini aja, aku kebetulan pake kemeja"

Aku memberikan jaketku padamu, setidaknya supaya dirimu merasa lebih hangat dikala hujan deras mengguyur serta hawa dingin menyelimuti. Kau menerimanya dengan senang hati, nyaris kukira kamu tidak akan menerima itu.

"Suka nulis?" Tanyamu setelah melirik notebook digenggamanku

"Oh, ini? ya, begitulah. Menguntai kalimat itu menarik" Balasku

"Boleh kulihat?"

"Oh, silahkan.. Tidak ada privasi disana, hanya, hasil pikiran"

Dirimu membaca notebook milikku, melihat tiap kertas demi kertas, dan halaman demi halaman. Banyak kata yang telah kau baca, banyak kalimat yang telah kau mengerti, dan banyak cerita yang telah kau ketahui.

Seperti cerita sang bumi yang mulai kehilangan rembulan, agak menyedihkan bukan? perlahan, namun pasti... harus saling melepaskan. Rupanya daya tarik mereka berdua tidak cukup untuk membuat mereka tetap bersama hingga matahari melahap mereka.

"Dalem banget tulisan-tulisannya. Aku suka." Pujimu membuatku berbunga-bunga

"Ambil yang kamu mau, tarik aja" Balasku

"Boleh? Kalau begitu, aku akan mengambil cerita tentang bulan dan bumi aja deh"

"Hmm, kenapa itu jadi pilihanmu?" Tanyaku penasaran

Kau terdiam sejenak, begitupun aku. Kita saling diam selama beberapa menit, namun meskipun itu adalah keheningan, kita seolah-olah memahami masing-masing.

"Kurasa, bulan dan bumi itu seperti manusia dengan manusia lain. Dimana suatu saat dan suatu waktu, akan ada sebuah pemisah. Semuanya akan terpisah, semuanya akan terlepas, bukannya begitu?"

"Kamu benar, setiap pertemuan akan menemui perpisahan"

"Yup! Perlahan namun pasti, perpisahan itu akan datang"

Kita saling memahami satu sama lain.

Perlahan, rintik hujan mulai memudar, kini suara gemuruh tak seramai tadi, air tak lagi banyak berjatuhan. Dan kau, ikut menghilang ditengah hujan yang memudar, ditengah malam yang dingin, meninggalkanku kembali sendirian dikehampaan tanpa indahnya suaramu.

Stories to tellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang