1

32 1 0
                                    

Hujan beserta angin kencang membasahi tanah pulau Yashiro. Suara berisik langit terus terdengar, seakan akan meminta perhatian. Sambaran petir terus menerus menampakkan diri, membuat makhluk hidup di muka Bumi terpaksa bersembunyi. Angin yang tak ada henti henti nya bertiup membuat dedaunan dan ilalang terhempas tak karuan.

Waktu yang salah, wahai langit. Aku sedang sibuk mengurusi samurai berandal ini. Sedari tadi, aku sudah merasakan kehadiran yang tak diundang. Hawa membunuh yang begitu terasa di sekujur tubuhku membuatku berbalik dan menemukan sekelompok samurai berandal. Ah, pasti utusan musuh lagi. Mau tak mau, aku pun menuruti keinginan mereka. Duel bersamaku.

Kembali ke situasi sekarang, dimana aku sedang menggenggam katana ku dan menyodorkannya kearah musuh. Darah segar terus mengalir di tangan sebelah kiri ku. Kurasa luka nya cukup dalam. Namun di situasi seperti ini, masa bodoh dengan rasa sakit. Empat samurai berandal itu sudah ku tumbangkan, tersisa satu lagi dan bisa disimpulkan dia lah ketua nya.

"Heh, Tuan mu sungguh pengecut. Kenapa dia tidak datang langsung ke depanku dan mengakhiri hidupku dengan kedua tangannya sendiri? Lucu, dan kamu, dasar boneka suruhan." Puas dengan menghina, aku pun meluncurkan energi pyro ke bilah katana ku. Kemudian, aku loncat dari tempat berdiri ku hingga kearah leher lawan. Sayatan cepat langsung mendarat tepat di leher lawan.

Selesai sudah, gumamku. Aku menggeletakkan katana ku dan berlutut sambil meraba luka di tangan kiri ku. Reaksi sakit pun akhirnya aku rasakan. Aku meringis kesakitan. Sesegera mungkin aku harus mencari tempat berteduh. Aku kembali berdiri, memaksa kuat kedua kaki ku. Ku ambil katana ku dan ku simpan di sarung yang biasa aku bawa untuk menyimpan katana ku. Merasa sudah beres, aku pun mulai berjalan menelusuri jalan setapak yang entah akan membawaku kemana.

Selang beberapa menit, akhirnya ku temukan gubuk – gubuk tua. Beberapa dari gubuk – gubuk itu, banyak yang sudah rata dengan tanah. Apa yang terjadi? gumamku. Aku terus berjalan hingga menemukan gubuk yang di dalam nya ada perapian. Aku mengangkat sebelah alisku. Heran dengan apa yang kulihat sekarang. Gubuk ini pasti berpenghuni. Namun, dimana penghuni nya?

Ah, masa bodoh. Aku pun masuk ke gubuk itu dan duduk di tumpukan dedaunan yang dekat dengan perapian. Ku lihat di sebelah kiri ku, tergeletak beberapa perban. Tak tahu menahu, aku langsung menyambar perban itu. Ku tutup luka di tangan kiri ku dengan perban itu. Ya, walupun darah nya masih keluar yang penting luka nya sudah tertutup dengan sesuatu yang layak agar terhindar dari infeksi. Membayangkan luka ku yang terinfeksi saja aku sudah ngeri. Bagaimana kalau aku terpaksa memutuskan tanganku? Hih, jangan sampai.

Rasa lelah perlahan – lahan menyelimutiku. Aku berbaring di tumpukkan daun itu dan berusaha menyamankan diriku. Tak lama, pandanganku buram, mataku berulang kali berkedip, hingga pada akhirnya aku tertidur pulas.

***

Suara. Ada suara. Suara orang bernyanyi. Lagu ini, lagu khas Inazuma. Orang, ada orang. Aku membuka mataku, kemudian langsung menggapai katana di balik punggungku. Ku sodorkan katana ku kearah suara tersebut. Orang yang menimbulkan suara tadi menjatuhkan apel nya dan mengangkat kedua tangannya.

Aku mengedipkan mata berulang kali, memastikan pandangan dan pikiran ku sudah netral. Orang yang ku sodor dengan katana ini ternyata seorang lelaki rupawan dengan rambut putih dan sehelai rambut merah. Kulitnya putih bersih, namun agak pucat. Matanya merah seperti rubi. Tangan kanan nya di perban, berarti perban tadi adalah miliknya, begitu juga gubuk ini.

Aku menjauhkan katana ku dari arahnya. "Eh, oh, anu, maaf. Aku sungguh minta maaf. Aku pikir kau musuh." Ujarku sembari membungkukkan badan ku berulang kali dalam posisi duduk. Dia tersenyum, lalu menggeleng. "Jangan khawatir. Aku sama sekali tidak keberatan dengan kehadiranmu." Ujarnya lembut. Kemudian, dia mengambil sebuah botol kecil dan perban yang tergeletak di sebelah kiri ku tadi.

"Bisa lihatkan tangan kirimu?" Pinta nya. Aku pun menyerongkan sedikit badanku sehingga luka di tangan kiri ku terlihat. Kemudian, dia melepas perban yang aku pakai tadi. Setelah itu, dia membuka botol kecil yang dia genggam tadi. "Ini akan sedikit perih, jadi, sabar dulu, ya?" Ujarnya. Aku membalas dengan anggukan kecil. Perlahan – lahan, dia menumpahkan cairan yang ada di botol kecil itu. Betul sekali, rasa nya amat sangat perih. Aku berusaha menahan suara ringisanku dan membuang muka kearah kananku.

Tak lama, rasa perih itu hilang. Lelaki itu pun melilitkan perban baru di luka ku, sembari berkata, "Baik, sudah beres. Maaf jika tadi sedikit agak kasar." Kasar? Yang benar saja. "Santai saja, kau mengobatinya dengan baik dan hati – hati. Sungguh, terima kasih. Maaf aku mengacau gubuk mu dan menggunakan perban tanpa seizinmu." Balasku. Dia buru – buru menggeleng. "Tentu tidak, aku sama sekali tidak keberatan. Aku malah senang melihatmu tidur pulas. Sepertinya perjalanan mu melelahkan, ya?" Tanya nya sembari menyodorkan semangkuk sup hangat. Aku ragu – ragu untuk menerimanya, namun, tatapannya seakan – akan meminta agar aku menerimanya. Mau tak mau, aku pun menerima sup itu dari tangannya.

"Ya, bisa dibilang begitu." Jawabku sambil terkekeh. "Ku mohon, anggap saja seperti rumah sendiri. Aku jarang ditemani seseorang. Jadi, kuharap kamu mau menemaniku sebagai balas budi." Ujarnya tiba – tiba. Aku kembali terkekeh, namun, tak lama menjadi tawa. Dia menatapku heran. "Kamu benar – benar lelaki sederhana. Sepertinya perjalanan ku untuk kedepannya akan menyenangkan. Aku (y/n) Kuronaga. Seorang pengembara." Ujarku sembari menyodorkan tangan kananku meminta untuk bersalaman.

"Kaedehara Kazuha. Seorang pengembara yang mengembara di dampingi angin. Salam kenal dan mohon bantuannya, sobat." Ujarnya sembari menjabat tangan kananku.

Jangan Salahkan SemestaWhere stories live. Discover now