6

87 47 35
                                    

Aku telah sampai di depan rumah. Kuhentikan mobil ku sebentar. Aku menghela nafas. Mencoba memahami dan menerima segala rangkaian peristiwa yang kulalui tadi di sekolah. Hujan semenjak pagi tadi masih belum mereda menghadirkan hawa dingin yang menusuk rusuk tulang. Kurapatkan jaketku yang kupakai sejak tadi.

"Apakah aku harus memberi tahu Yuna tentang kekuatan ku? Apakah rahasia yang kupendam selama ini harus berakhir seperti ini?" Aku menggumam sendiri di dalam mobil layaknya seperti orang gila.

Sebenarnya sudah dari lama aku ingin memberitahunya. Tapi niatku itu ku urungkan karna aku masih belum siap akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Kuratapi langit-langit mobil. "Jika kupikirkan seperti ini terus maka aku akan menghabiskan waktu dengan sia-sia seharian. Haha." Aku tertawa sendiri mencoba menghibur diri.

Aku melangkah keluar dari mobil dan dengan secepat kilat berlari menuju teras rumah untuk menghindari hujan. Aku benci basah! Kubuka pintu rumah lalu kututup kembali rapat-rapat. Sepi. Tidak ada satu orang pun disana. Tentu saja! Mereka sedang sibuk bekerja diluar sana.

Aku menaiki anak tangga menuju lantai dua lalu masuk kedalam kamarku. Kuletakkan tas di gantungan dekat pintu. Aku menghela nafas lagi. Disinilah aku. Di kamarku. Tidak ada yang spesial. Hanya berisi kasur, lemari, meja dan lain sebagainya selayaknya kamar seorang remaja seperti pada umumnya. Hanya saja semua itu terbuat dari kayu agar aku tidak merusak barang-barang milikku.

Setelah mengganti pakaian aku berbaring diatas kasur. Kubuka ponsel ku. Ada beberapa pesan dari Ibu yang mengatakan untuk jangan lupa makan siang dan beberapa basa-basi lainnya. Kuletakkan kembali ponsel ku karna tidak ada yang menarik disana. Aku berbaring menghadap langit-langit kamar. Tanpa kusadari beberapa menit kemudian. Aku tertidur.

Aku terbangun di sore harinya. Tepat pukul empat sore. Langit berwarna jingga keemasan dengan siluet-siluet biru di beberapa tempat. Mentari sedang berlayar ke pelabuhan terakhirnya di ufuk barat. Sinarnya sangat indah melintasi sela-sela jendela kamarku.

Aku menuruni anak tangga menuju lantai bawah, berharap Ayah dan Ibu sudah pulang dan menungguku dengan tersenyum di dapur sembari menyiapkan makan malam. Masih sepi. Hening. Kemana mereka? Bukankah seharusnya mereka sudah pulang di waktu-waktu seperti ini. Belum selesai pertanyaanku, telepon rumah berdering. Aku mengangkatnya.

"Halo?"

"Gil? Ah syukurlah, akhirnya Ibu bisa menghubungi mu."

"Aku tertidur setelah pulang sekolah. Lalu dimana kalian? Bukankah seharusnya kalian sudah pulang?"

"Kalian?" Ibu menghentikan kata-katanya. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. "Aku tidak tahu tentang Ayahmu. Tetapi satu hal yang kutahu pasti. Untuk saat ini aku tidak bisa pulang cepat Gil. Ada beberapa masalah di kantor. Maafkan Ibu. Sepertinya kau harus menikmati makan malam mu tanpa Ibu malam ini." Nada suaranya terdengar kecewa.

"Ah baiklah, ini bukan hal yang baru pertama kali untukku. Jadi bersantailah dan cepat selesaikan pekerjaanmu Bu." Aku mencoba menenangkan Ibu dengan kata-kata ku yang meyakinkan.

"Ah syukurlah kalau begitu. Dan untuk Ayahmu bisa kau tolong hubungi dia? Ia tidak mengabari Ibu daritadi."

"Baiklah. Akan kulakukan nanti."

"Baguslah. Ibu harus kembali Gil. Ibu sudah ditunggu di ruang rapat..." Dari balik sana kudengar seseorang memanggil nama Ibu.

GalganosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang