Semua itu di mulai gara gara temanku membatalkan janjinya besok pagi untuk melakukan misa bersama. Aku mendekam di kamar tanpa berniat keluar rumah menyambut saudaraku yang datang membawa camilan kering. Padahal aku selalu suka dengan kue kastangel buatan tanteku.
Cuaca malam dingin karna sore hujan. Masalahnya bukan karna aku ingin misa di gereja, tapi karena aku punya sindrom, jika sudah merencanakan sesuatu, jika tiba tiba batal, mood-ku langsung jatuh dan tidak berniat melakukan apa-apa. Aku berusaha bangkit sejengkal dari kasur, untuk berhenti menggulir instastory orang yang mulai sibuk melemparkan ucapan selamat natal.
Aku sendiri merasa natal malam ini cukup menyebalkan gara gara teman satuku itu.
Dari luar mama tiba tiba mengetuk pintu kamar kemudian berjalan masuk.
"Kamu jadi mau keluar apa nggak? Ngapain sih cemberut mulu? Itu Stella bawain teman cowoknya. Katanya mau kenalan sama kamu!"
Mama mendesis waktu tidak mendengar jawabanku. Ia mencubitku akhirnya.
"Aduh, males. Ngapain sih ah. Aku bilang daritadi nggak mood kan?"
"Ya udah kalau nggak mood keluar aja, beliin dua botol cola ke supermart!"
Aku mendelik sebal, tapi mama nggak peduli. Dia malah menyodorkan uang lima puluh ribuan. Menurut mama, mood-ku itu nggak penting. Mama juga anggap itu nggak rasional. Jadi mending dia nggak ikut campur alih-alih menyuruhku untuk memindahkan fokus. Percuma sih, nggak ngaruh. Aku masih sama kesalnya kayak tadi.
Tapi aku tetap menerima uang sambil dalam hati berpikir akan kuhabiskan uang ini dengan kemarahanku nanti.
Aku mengambil jaket, berharap bisa memaksakan senyum nanti waktu keluar kamar. Si Stella dan Belia pasti mau pamer pacar baru. Seperti ritual kebanggaannya setiap ke rumah. Mamanya adalah kakak dari ibu mereka. Sementara kakak laki lakiku ada di Korea Selatan. Kerja bagian dokter hewan spesialis untuk seorang artis yang bahkan aku nggak tahu siapa.
Ketika aku keluar kamar, beberapa tamu di ruang tengah agak terdiam. Aku menatap mereka, tanpa senyum membiarkan mama mendumel kepada tanteku karena sifat jelekku. Terserah, Stella dan Belia juga cuma menyeringai. Mereka senang melihatku menderita. Dibilang nggak normal, mungkin aku memang iya.
"Mau makan malamnya kapan? Sekarang? Tuh Milia udah mau keluar. Soda favorit kamu nanti dibelikan sama dia, Stel," kata mama sengaja memancingku. Aku terus meloyor ke luar. Terdengar Stella sok ceria mengucapkan terima kasih.
Kalau sudah berkeluarga nanti, aku nggak akan izinkan dia injak rumahku barang satu inci pun.
Ketika keluar rumah hendak memakai sandal, di depan pagar, tepatnya di pagar yang terbuka, berdiri seorang cowok tinggi memakai hoodie warna merah tua. Aku menutup pintu rumah sambil menyipitkan mata ke arahnya. Cowok itu malah tersenyum.
"Siapa kamu? Ngapain berdiri di depan situ?" tanyaku dingin.
"Stella belum pernah ngasih tunjuk gue ya ke lo? Foto gitu?"
Jadi ini? Cowok yang mau kenalan sama aku? Astaga. Aku menahan napas sebal, membuang wajah tanpa menjawab cowok itu. Rambutnya agak gondrong, aneh. Poninya menutup sedikit matanya, rambutnya dikuncir setengah.
Paling anak bocah SMP yang mau iseng, pikirku. Mendingan buruan pergi dari rumah lalu berkunjung ke rumah Caca sebelum dia tidur. Caca tetangga di blok sebelah, kamarnya di loteng dan punya lahan BBQ yang luas. Lumayan buat tempat pelarian.
"Tunggu," cowok itu menahan tanganku waktu melewatinya. Aku menoleh, mungkin mengerutkan alis ke arahnya.
"Mau ke mana?"
![](https://img.wattpad.com/cover/295870327-288-k380123.jpg)
YOU ARE READING
Empty Christmas
Short StoryKadang, sebuah ucapan adalah kehangatan untuk beberapa orang. Hanya saja, tahun ini, bagi Milia, natal yang menunjukkan sisinya adalah sebuah kekosongan. ©NiceMcQueen2021 dedicated to the beautiful and empty Christmas this year❄️